.fb_like_box { -moz-border-radius:5px 5px 5px 5px; border-radius:10px; background:#f5f5f5; border:1px dotted #ddd; margin-bottom:10px; padding:10px; width:500px; height:20px; }

Entri Populer

Sabtu, 17 Desember 2011

Missing You


Missing you

            “gimana anak saya dok???”sentak Soraya ketika dr. Fajrina keluar dari ruang rawat inap VVIP. dr. Fajrina menghela nafas panjang.
            “seperti yang sudah saya katakan sebelumnya, kalau Jeremy mengalami trauma yang cukup serius.”jawabnya. “Saya bisa katakan keadaannya sangat kritis, dia bisa tiba-tiba histeris dan akan ada kemungkinan buruk lainnya, banyak-banyaklah berdoa karena keadaan fisiknya yang lemah membuatnya sulit bertahan.”
            “boleh saya masuk...?”tanya Soraya sembari menghapus air matanya.
            “enggak...aku gak pernah bisa bohongi diri aku kalau semua ini karna suami kamu yang bejad itu, dan hal ini karna kecerobohan kamu. jadi aku putusin buat gak biarin kamu ketemu dengan anakku.” Jelas Adam Khaliq mantan suami Soraya 9 Tahun yang lalu.
            “tapi Adam...Jem juga anak aku...aku yang lahirin dia.”
            “so far aku selalu menyadari akan hal itu, tapi kali ini aku gak bisa Ya...! maafin aku...” dr. Fajarina teridam, ia tak bisa terlalu jauh mengomentari selain kondisi Jeremy. Adam pun masuk dan mengunci pintu segera.
            “Adam...!!!”seru Soraya mengentuk pintu, dua orang seumuran yang pernah saling cinta itu selama 9 tahun terakhir ini selalu berseteru dan tak pernah saling menghargai. Mereka tak sadar bahwa keegoisan merekalah yang membuat Jeremy kesepian dan rapuh.
            Adam melangkahkan kakinya perlahan menuju ranjang buah hatinya. Untuk pertama kali dalam hidupnya bahkan ketika ayahnya meninggal ia tak menangis tapi kini menghadapi putra semata wayangnya tergeletak tak berdaya di hadapannya ia menangis. Adam pun duduk di kursi sebelah ranjang. Ia menggenggam tangan putranya yang sudah nyaris seukuran dengannya, tangan yang kini tak berdaya, tangan yang lebih kurus dari tangannya. Tersedu-sedu ia menatap puteranya yang terjaga, memar biru masih melingkar jelas di plipis matanya, sekitar bibirnya, tangan kanan puteranya masih di balut dengan perban berwarna kulit...sungguh ia merasa bodoh, selama ini ia fikir dirinyalah yang menjadi tumpuan dari segala masalah yang dialami puteranya. Tapi ternyata dibalik kejujuran Jeremy, Jeremy m enyimpan 1000 rahasia yang selama 9 tahun ia tanggung sendiri tanpa membaginya dengan siapapun. Kebringasan ayah tirinya menjadi rahasia besar yang ia tutup-tutupi selama ini. Aku bahkan tak bisa menyadari ketika dia datang kerumahku dengan memar biru ditubuhnya, aku hanya selalu berfikir itu adalah bagian dari kenakalan lelaki padahal itu adalah ulah ayah tirinya.
            “ma...maafin papa...papa lengah sayang, maaf nak...”perasaannya sungguh terasa dicabik-cabik, ia bahkan tak peranah mencubit puteranya tapi dengan beraninya Ayah tirinya melakukan hal sekeji itu. “papa berdosa...seharusnya papa yang dapet hukuman ini...” tiba-tiba Adam teringat saat 2 minggu lalu Jeremy keruamanhya...

“inikan hari ulang tahun Jeremy yang ke 19 tahun,,,tante Maya mau bilang sesuatu sama kamu...”cetus Maya kekasihku yang sudah ku pacari selama 5 tahun terakhir, ia seperti ibu kedua bagi Jem, tentu saja itu hanya perkiraanku saja. Maya dengan penuh senyum memberikan sepotong softcake pada Jem. Aku tersenyum melihat keakraban mereka. “tante Maya sama papa kamu bakalan nikah bulan ini...” Jem tersedak dan menatapku dengan wajah sedih dan tak pernah sekalipun aku melihat ekspresi itu selama dia dating ke rumahku. “minum dulu sayang...!” Maya memberinya secangkir teh. Makan malam itu terasa sangat canggung setelah ekspresi itu keluar dari wajah Jem. 
            Tatapan Jem membuatku tak bisa berkutik, aku merasa sangat bersalah mengatakan itu semua. “hmm...kalau kamu gak setuju, bisa diundur lagi kok Jem...” Maya menendang kakiku.
            Dia tak berkata apapun, hanya menggeser kursinya dan kembali menatapku dengan tatapan yang sama.
            “aku...mau rayain ulang tahun bareng sama temen-temen di cafe, mungkin mereka udah nunggu aku pa.”dia berdiri dan melempar sedikit senyum yang berat pada Maya. Maya pun merasakan keanehan itu.  Jem mengambil tasnya dan keluar, perasaanku langsung kacau, jem tak pernah ingin merayakan ulang tahunnya dengan siapapun kecuali denganku dirumahku, ia tak pernah nyaman dengan pesta, ia hanya menyukai keheningan. Ku kejar Jem yang sudah sampai teras depan.
            “Jem...!”seruku. ia pun berbalik. “ini udah malem...kitakan biasa rayain bareng-bareng...”bujukku. Jem tersenyum kecil.
            “aku udah janji sama temen-temen aku...”
            “Jeremy...” ku tarik tangannya. “kamu kenapa? Kamu gak suka tante Maya ngomong gitu? Kamu gak mau papa nikah?”tanyaku. lama sekali dia terdiam, sesekali menghela nafas.
            “kalau aku bilang iya apa itu adil buat papa? Kalau aku minta papa gak usah nikah lagi dan tetep jadi milik aku, apa itu mungkin? Aku gak mau jadi penghalang, tapi aku juga gak mau kehilangan papa kayak aku kehilangan mama saat ini.” Jem melepas tanganku perlahan. Ia berjalan menjauh dari kediamanku dengan motor yang ku hadiahkan untuknya 2 hari yang lalu.
            Sejak saat itu Jem tak pernah muncul lagi di hadapanku, ia tak pernah mengangkat telponku, membalas smsku, datang kerumah tiap akhir pekan. Tak ada lagi cerita lucu, curhat masalah Vennita gadis pujaannya lagi. Penyesalan silih berganti menghinggapiku tapi apa gunanya? Haruskan aku membatalkan pernikahanku dengan Maya yang hanya tinggal menghitung minggu? Bagaimana dengan perasaan Maya nanti? Tapi aku pun tak bisa membiarkan anakku terluka lagi dan lagi.

            “Jem...papa janji...papa janji, papa gak akan nikah lagi, papa akan selalu sama-sama kamu, papa janji papa Cuma buat kamu nak...” Adam kembali menangis. Jem terbangun, matanya terlihat sangat lelah, ekspresi yang Adam lihat saat itu kini sama persis dengan ekspresi wajah Jem yang sedang sakit. ‘Ya Tuhan aku bahkan tak menyadarinya, mungkin saat itupun jem tengah terluka, tengah sakit dan semua karena aku.’
            Jem menatap Adam sesaat, matanya tiba-tiba menggenang, seperti ia ingin mengatakan semua kesakitannya selama ini. Pertama-tama hanya cegukan yang Adam dengar, Adam  tahu betul ia menahannya selama ini.
            “papa…”bisiknya yang tampak lelah.
            “iya nak ni papa…” Adam menggenggam tangan Jem lebih kuat. “ada yang sakit nak?” Jem mengangguk dan tangannya menunjuk kedadanya.
            “Sakitnya di sini…” aku sungguh panik, yang ada difikiranku mungkin ada benturan didadanya saat pertengkaran antara Jem dan ayah tirinya.
            “Sebentar papa panggil dokter ya!” dia menarik tanganku dan menggeleng.
            “Dokter gak akan bisa nyembuhin luka aku…”jawabnya dan aku bisa memahami bahwa yang sakit itu hatinya. Betapa bodohnya aku sebagai ayah yang bahkan tak bisa memahami perasaan anakku sendiri. “Aku takut, aku sakit, aku kesepian…” ku peluk dia mencoba meyakinkannya bahwa aku ada untuknya.
            “ada papa nak disini.”air mataku terus mengalir.
            “aku hanya berharap, jika itu mungkin bisakah Tuhan mencabut nyawaku saat ini.” Ku lepas pelukanku dan menatapnya.
            “jangan pernah mengeluarkan kata-kata seperti itu!” Bentakku. “masih ada papa disini.” Dia menarik kembali tanganku dan menggenggamnya.
            “Jika aku mati, berjanjilah satu hal pa!” katanya.
            “Jem…!”
            “Jangan pernah bercerai lagi ketika papa menikahi tante Maya, itu akan sangat menyakitkan bagi anak papa kelak, dan jangan pernah berseteru dengan mama lagi. Sebenernya kebahagiaan yang nyata buat aku adalah saat mama dan papa bisa akur dan saling berbicara!” ku genggam tangannya lebih erat lagi sambil menangis tersedu-sedu.
            “papa mohon jangan pernah mengatakan itu lagi nak!” ku ciumi tangannya yang dingin.
            “Aku hanya ingin lepas dari beban ini, ikhlaskan aku pa! hanya dengan cara inilah kebahagiaan akan menghampiri kita semua.” Aku tak bisa berkata-kata lagi, “aku lelah pa, lelah sekali…”suaranya mulai samar-samar. Ku pejamkan mataku mencoba menahan air mata tapi saat ku buka mata Jem menutup matanya, tangannya yang ada digenggamanku terlepas begitu saja. Ya Tuhan dia sudah tidak bernafas lagi. Aku panik dan terus berteriak memohon bantuan. Dokter dan suster datang, mereka berlarian dan mencoba menyelamatkan Jem dengan alat-alat yang menyakitkan tapi tiba-tiba hatiku tergerak.
            “hentikan! Jangan lakukan itu!” dokter berhenti ketika aku berteriak. “dia sudah sangat menderita dan jangan pernah menyakiti dia di saat terakhir ini. Dia gak akan kembali!” Soraya yang sejak tadi menunggu di luar pun akhirnya masuk.
            “apa yang terjadi? Kenapa kalian diam???” teriaknya. “selamatkan anakku!”
            “hanya satu cara menyelamatkan jem yaitu dengan melepaskannya.”
            Soraya mulai menangis histeris di hadapanku, hal yang bisa ku lakukan hanya berusaha menenangkannya dengan memeluknya. Setidaknya mungkin Jem akan bahagia melihat aku menenangkan ibunya. Aku memang ayah yang tak berguna, andai bisa ku ulang waktu tak akan pernah ku ikuti egoku untuk bercerai tapi apa yang ku sesali saat ini tak akan pernah membuat Jem kembali padaku. Aku hanya berharap tak akan ada Jeremy-Jeremy yang lain yang akan terluka seperti Jeremy kami. Dunia memang bukan tempat yang indah untukmu nak, mungkin di sanalah tempat yang baik untukmu. Tunggu papa dikeabadian.

Selesai

Created by Evi Andriyani
           
           
           


The different


The different


“pernahkah kamu berfikir bahwa jadi orang miskin itu sebuah kebahagiaan?”Tanya Yuga padaku tepat di depan danau yang kini ku pandangi. Kata-kata itu sudah lama ku dengar namun masih saja terngiang dibenakku. 2 tahun yang lalu waktu yang cukup lama ku lalui tanpa orang itu. Sungguh sulit menepis baying-banyangnya padahal aku hanya mengenalnya sekitar 2 bulan. Entahlah tapi rasanya sangat menyakitkan memikirkan hal itu. Bukan karena ku disakitinya tapi hal yang paling menyakitkan bagiku adalah aku telah melukai orang yang ku cintai.
“Bisa kamu jelasin dari segi mana orang miskin itu sangat bahagia?”Tanyaku segera ketika melihatnya tampak serius.
“mereka gak kesepian.”jawabnya singkat. Aku tertawa.
“tapi mereka serba kekurangan. Tak mudah jadi gadis miskin seperti aku ini.” Dia tersenyum padaku.
“tapi kamu gak pernah gak makan setiap harinyakan? Jangan pernah melihat dirimu orang yang paling menyedihkan didunia ini!” timpasnya sambil kembali menatap danau yang luas dihadapan kami.

Keesokan harinya…
Tiba-tiba aku tak menemukan Yuga di tempat kerjanya. Ada banyak keganjilan yang kulihat selama 1 bulan mengenlanya. Seperti ada hal yang tersembunyi dibalik keriangannya setiap hari.
“Yuga kemana?”Tanyaku pada Ryan. Ryan menatapku dengan rasa iba.
“Gendis, menurut aku kamu gak usah temuin Yuga lagi.”katanya.
“loh kenapa?”tanyaku heran.
“keluarganya gak akan pernah biarin itu semua terjadi.”jawab Ryan.
“Ryan, Yuga itu udah gak punya keluarga.”jawabku sok tahu. Ryan tak menjawab, ia hanya merundukan kepala dan menggeleng dengan wajah penuh dosa.
“aku gak berhak jelasin ke kamu. Yuga yang behak.”jawabnya sambil pergi.
“Ryan maksud kamu apa?” dia segera kembali dan memberikanku sebuah kartu nama. “ini maksudnya apa Yan?”desakku.
“kamu dating aja ke alamat ini. Aku gak mau ngeliat kamu berharap banyak dari seorang Yuga.” Ryan kembali masuk ke rumah makan miliknya yang menampung Yuga sekitar 1 bulan.
“tapi Yan…”namun Ryan tak terlihat lagi. Dengan penuh penasaran ku datangi tempat yang tertera di kartu nama itu. Meski dalam hatiku bertanya ‘siapa orang yang bernama Bian Prayuga Alinsky???’
Tiba didepan sebuah rumah mewah dengan gerbang yang tinggi menjulang. Hampir tak terlihat kehidupan di dalamnya. Suasana sangat tenang kecuali sebuah cctv dihadapanku. Ada apa ini? Apa yang sebenarnya yang terjadi? Tiba-tiba pintu gerbang terbuka dengan otomatis dan tepat dihadapanku sebuah mobil mewah keluar dan yang paling membuatku kaget adalah ada Yuga disana. Meski tak begitu jelas tapi aku sangat mengenalnya. Ia tampk tertidur menyender ke pintu mobil. Didalam mobil terdengar jelas gelak tawa puas. Saat itu aku berfikir Yuga adalah orang terbrengsek yang pernah ku kenal. Dia adalah orang kaya yang tiba-tiba muncul dihadapanku dan menghancurkan hatiku perlahan-lahan.
1 minggu berlalu.
Aku bisa dengan mudah menganggap Yuga orang yang paling ku benci didunia ini dan melupakannya sejenak. Tapi ia kembali dating dengan Yuga yang sesungguhnya. Orang kaya dengan mobil mewah. Dia berdiri dihadapanku di tempat kerjaku, sebuah minimarket. Penampilannya sangat rapi. Ia tersenyum manis padaku.
“Bisa ambilin aku air mineral?” ku terus memandanginya dengan tatapann jijik. Lantas ku mengambilnya sebotol air mineral dan membukanya lalu mengguyurnya dengan tanpa ampun. “Gendis kamu kenapa sih??? Aku jadi basah.”
“Aku kenapa? Menurut kamu aku kenapa? Apa aku pernah marah tanpa alasan sama kamu? Harusnya yang Tanya kenapa itu aku. Ada apa sama kamu? Kenapa kamu bohong sama aku? Kamu fikir karna kamu kaya kamu bisa ngelakuin apapun yang kamu inginkan? Sumpah ya Ga, aku nyesel kenal sama kamu!” aku meninggalalkannya sendiri.
“Aku bisa jelasin kekamu Dis!”serunya tapi rasanya hari itu aku bahkan tak ingin mendengar apapun apalagi ucapan apapun yang dilontarkan oleh Yuga. Aku hanya biasa mengurung diri dan menutup telingaku.
Berhari-hari dibalut kebencian dan dendam membuatku lelah, dia tak pernah berhenti muncul dihadapanku, memberiku sms, menelponku meski tak pernah ku angkat. Hampir setiap hari ku tampar pipinya tapi ia tak pernah menyerah.
“Aku muak liat wajah kamu dan aku lelah terus nampar kamu jadi aku mohon jangan pernah muncul dihadapan aku!”teriakku. kali ini ia memelukku erat.
“Ini adalah hari yang aku tunggu, hari kamu udah ngerasa lelah buat membenci aku. Maka hari ini juga  aku ingin kamu tau apa alasan aku melakukan semua ini.”aku berontak dan setelah melepas pelukannya sekali lagi ku tampar pipinya yang sudah memar bekas tamparanku kemarin. Dia berlutut dan menggenggam tanganku. Matanya berair dan tangannya bergetar. “aku gak tau harus mulai dari mana tapi hal yang perlu kamu tahu aku gak pernah sedikitpun ingin menyakiti dan membohongi kamu. Aku memang terlahir sebagai orang kaya tapi apa aku salah jika aku bilang semua adalah milik almarhum ayah dan kakekku? Selama ini aku yang mengelola kekayaan ini tanpa kata lelah. Dan dari titik itulah sungguh aku merasa sangat kesepian. Aku lelah dengan kehidupanku yang penuh intrik. Mempertahankan, mengupayakan, memikirkan, mengerjakan dan waktu 24 jam sangat singkat bagiku.  Aku bahkan tak tahu tujuan dari hidupku itu apa. Aku kaya tapi tak pernah sekalipun aku merasa menikmati semua itu. Om-omku berbondong-bondong ingin merebut segalanya, bahkan tali persaudaraan di antara kami seperti binatang yang saling memakan saat mereka lapar. Apa kamu tahu itu semua lebih menyakitkan dari pada menjadi diri kamu? Itu sangat menyakitkan dari pada tamparan kamu.” Jelasnya dengan air mata berjatuhan. Air mataku pun tak terbendung lagi. “Maaf karena tak terus terang sejak awal. Maaf karena aku bukan Yuga miskin yang periang, maaf karena aku Prima Prayuga Alinsky…Maaf Karena aku mencintai kamu tapi tak ada upaya yang bisaku lakukan, Maaf karena aku harus menjadi Prima Prayuga Alinsky untuk melindungi adik perempuan dan ibuku, Maaf karena aku pernah hadir dihidup kamu…”kata maaf yang panjang tapi aku baru menyadari bahwa aku tak pernah membencinya. Ia berdiri dan menghapus air mataku lalu pergi  dan bayangannya mulai lenyap dari pandanganku yang tak pernah beralih.
Kedewasaan dan kesadaran yang ia ajarkan padaku sangat berarti. Meski ia tak pernah menjadi milikku seutuhnya tapi apa yang ia ucapkan padaku, apa yang ia lakukan untuk membuatku nyaman itu semua mengajarkanku bahwa tak pantas kita menyalahkan hidup dan takdir yang telah tersurat dalam kehidupan kita. Aku dengan kemiskinanku dan dia dengan kekayaaan dan kehidupan kami yang berbeda namun tujuan kami sama yaitu menjalankan apa yang sudah di gariskan yang maha kuasa untuk kita. Berkat dia aku bsa hidup dengan caraku yang indah dan aku berharap diapun begitu.

Selesai









Created by Evi Andriyani

Jumat, 16 Desember 2011

Sesal tak berujung....

“hidup adalah pilihan...benar atau salah...susah atau senang... semua begitu transparan dan sensitif. Salah melangkah maka akan membuat kau menyesal seumur hidupmu.”itulah kata-kata yang masih terngiang di benakku ketika ku melihat sebuah foto terpajang di depan kaca sebuah toko buku. yah dia adalah Clara, seorang yang aku tinggalkan hanya karena sebuah obsesi berlebihan. Gadis yang menemani aku sejak aku masuk SMA, kekasihku. Penyesalan tak pernah berhenti menghampiriku. Terlebih saat dimana aku harus menyakitinya terus dan terus.ku pajamkan mataku, sejenak aku rasakan hembusan angin malam menusuk ke hidungku, membuat aku teringat 5 tahun yang lalu....
***
“fuuuuft...”kami meniup lilin angka 2, tanda hari jadi kami yang ke 2 tahun. Ku acak-acak rambutnya seperti yang sering aku lakukan untuk memanjakannya. Di cafe itu menjadi saksi bisu perjalanan cinta kami. Clara tersenyum padaku.
“sekarang kita udah kelas 3 SMA. Waktunya kita menentukan kemana kita akan melangkah.”katanya. aku tersenyum.
“aku bakalan tetep sama ambisiku, PEMBALAP terkenal.” Clara mengeleng sembari tersenyum.
“aku tahu, kamu pasti bisa. Kita berjuang sama-sama ya!”
Sejak saat itu kami mulai sangat bersemangat dengan cita-cita kami. Clara sibuk mengirimkan draft cerpennya kemajalah-majalah dan ke penerbit, dia sering sekali bercerita tentang penolakan-penolakan yang ia terima dari penerbit. Aku pun begitu, setiap hari setelah pulang sekolah ku habiskan waktuku untuk berlatih di sirkuit. semangatku yang menggebupun mulai lenyap karena tak ada satupun yang membutuhkan pembalap amatiran sepertiku tapi Clara selalu berusaha meyakinkanku meski sebetulnya aku sangat tahu dia pun tengah putus asa.
“semangat donk beb...aku percaya, kalau kita terus berusaha dan berdoa pasti kita bisa. Semangat ya...”hanya itu yang selalu dia ucapkan padaku setiap aku mengeluh.
hari berganti begitu cepat, tak ada sedikitpun kesempatan bagiku. Penolakan demi penolakan sering kali ku dapat. Mereka tak melihat potensiku, sementara Clara tengah bersuka cita karena salah satu cerpennya di muat di sebuah tabloid nasional. Dia menghampiriku yang tengah alang kabut di kantin sekolah.
“beb...aku seneng banget...”dia mengasongkan sebuah tabloid padaku.
“iya aku udah tahu, kamu cerita panjang lebar sama aku semalam.”jawabku kecut. Entah mengapa rasanya iri sekali dia bisa menikmati hasil kerja kerasnya selama ini.
“iya...tapi dari semalem ko kamu gak kasih aku selamat sih...”rengeknya.
“selamat...”jawabku singkat.
“kamu gak mau baca hasil karya aku?”tanya dia.
“honey...aku ketoilet dulu ya...”aku berusaha mengalihkan pembicaraan. Dia pun mengangguk. aku segera berlari menuju toilet dan membasuh wajahku yang aku rasa terasa panas setiap kali aku mendengar Clara mengatakan kebahagiaannya itu. Betapa egoisnya aku, mengapa saat itu aku tak bisa bahagia untuk orang yang aku cintai.
“wey...”seseorang memukulku dari belakang. Akupun menoleh. Dia tersenyum manis padaku. “kemaren aku liat kamu balapan.”kata gadis itu. “kamu Raditya Putrakan...kelas 12 IPS1?”tegasnya. aku mengangguk cepat dan tersenyum.
“kamu kok bisa tahu?”aku balik bertanya.
“ya iyalah...siapa yang gak tahu kamu...”dia tertawa. “kamu keren banget pas balapan. Kenapa gak jadi pembalap nasional aja.”cetusnya.
“pengennya sih gitu, tapi gak gampangkan.”aku kembali membalikan badan dan menatap wajahku di balik cermin.
“oh iya...aku Renata Wijatmoko.”dia mengasongkan tangan aku sambut dengan ramah. “aku kelas 12 bahasa...kurang lebih sekelas sama pacar kamu.”candanya.
“masa sih? Kok aku gak pernah liat kamu?”aku menatapnya. Entah mengapa rasanya gadis itu sangat mempesona saat itu, dia hanya tersenyum.
“udah lama aku perhatiin kamu, dan potensi yang kamu punya. Papi aku mantan pembalap JP nasional. Papi aku bisa bantu kamu kalau kamu mau.”dia memberikanku sebuah kartu nama. “itu kartu nama papi, Erlan Wijatmoko. Dateng aja ke rumah!” dia pun pergi. Ku pandangi kartu nama itu. Sesekali  terbesit untuk membuangnya tapi hatiku sangat kuat berbisik agar aku tak menyianyiakan kesempatanku itu.
***
“kita putus...”kataku pelan ketika kami tengah duduk berdua di halaman sekolah. Mata Clara memerah. Dia segera menatapku.
“kenapa? Apa karena ada yang lain?”tanya dia. Aku terdiam karena itulah yang terjadi. Selama ini aku bermain di belakang Clara, merajut cinta terlarang dengan Renata, orang yang aku rasa orang yang tepat di saat yang tepat. Dan saat kami bersama tiba-tiba Renata menuntutku untuk meninggalkan Clara jika aku ingin lebih mudah ikut Balapan. “karna Renata ya?” air matanya jatuh, aku segera membuang muka. Aku tak ingin tampak terluka di mata Clara.
“aku rasa kita udah gak cocok.”jawabku.
“gak cocok? Hanya itukah alasannya? Kenapa sangat sederhana. Apa Renata yang minta?”tanya dia membalikkan wajahku agar kembali menatapnya.
“maafin aku...aku rasa ini yang terbaik.”jawabku.
“terbaik untuk kamu dan Renata?”tanya dia lagi. Segera dia mengangguk seolah faham dengan apa yang aku inginkan. “iya, kalau itu memang yang terbaik untuk kamu, aku ikhlas ngelepasin kamu. aku tahu...hanya Renatalah yang bisa mewujudkan segala cita-cita kamu. karena aku hanya bisa memberi kamu dukungan bukan bukti seperti Renata kasih ke kamu. mungkin hanya ini yang bisa aku katakan sama kamu.” dia menggenggam tanganku erat. “aku cinta sama kamu lebih dari yang aku tahu...lebih dari apa yang tersurat di dalam cerpen-cerpenku...saat kamu mengatakan semua ini demi kebaikanmu, maka itu juga kebaikanku...karena buat aku melihat kamu bahagia dan berhasil itu adalah kebahagiaan untukku.”
Kesuksesaanku di raih dengan cepat. Akhirnya aku bisa membuktikan bahwa aku punya potensi. Aku pun lulus dari sekolahku, tempat kenanganku bersama Clara. Hidupku yang baru sarat dengan kemewahan. Betapa kagetnya aku setelah ketenaran menghampiriku. Apartemen mewah, motor baru, mobil mewah, tabungan. Begitu cepat ku dapat hanya menghitung bulan. Orang tuaku yang dari awal tak pernah mendukungku akhirnya turut larut dalam kemewahan yang aku dapat. Renata terus mendampingiku. Meski tak sedikitpun motifasi dia keluarkan untuk menguatkanku tapi dialah mesin uangku. Dari dialah sumber kemewahan yang aku dapat.
***
“kita nikah ya...”cetusnya saat aku akan bertanding di sirkuit Sepang Malaysia. Dia selalu mengikutiku bahkan saat aku akan berganti baju.
“jangan pecanda deh Ren...”jawabku.
“kapan aku pecanda sama kamu? buat bikin kamu setenar ini apa aku pecanda dulu?”tanyanya balik.
“aku gak bisa...masih panjang perjalanan karir aku.”jawabku. dia tertawa.
“karir...”
“iya karir aku sebagai pembalap.”tegasku.
“aku rasa karir kamu akan segera berakhir kalau kamu bilang enggak.”jawabnya.
“maksud kamu apa? Kamu fikir aku Putra yang dulu, yang masih bergantung sama kamu. semua orang udah tahu potensi yang aku punya.”jawabku sambil berdiri, dia pun ikut berdiri dan kami saling berhadapan.
“oh ya? Kamu bener-bener gak tahu siapa orang yang kamu hadepin saat ini Put...dengan kamu ngomong gitu sama aku...itu artinya kamu nantangin aku.” Dia menunjuk-nunjuk wajahku, ku tepis segera.
“jangan macem-macem lo!!!”bentakku mendorongnya hingga ia kembali duduk. Tapi gadis itu malah tertawa.
“sejak kapan kamu jadi berani bentak aku?”
“sejak kamu rendahin aku kaya barusan.”jawabku.
“kamu memang rendah di mataku...aku tanya sekali lagi...kamu maukan nikah sama aku?”dia memangku tangan.
“enggak.”jawabku meninggalkannya sendiri di ruang ganti.
“kamu bakalan nyesel PUTRA.”teriaknya.
Pertandinganpun di mulai, pertandingan ini sangat penting untuk memulai karirku di balapan Internasional. Meski hanya tingkat Asia tapi aku cukup percaya diri dengan kemampuanku yang tak pernah kalah. Aku segera mengambil motor JP andalanku. Kamipun mulai bertanding. Sepanjang lap 1-2 aku tak menemukan keganjalan, tapi tiba-tiba ketika memasuki lap 3 dan setiap belokan entah mengapa rasanya stang motornya sangat sulit di kendalikan, remnya pun begitu...motorku sangat sulit si kendalikan terlebih saat para pembalap lain menyusulku. Tiba-tiba hal yang buruk terjadi, entah mengapa tiba-tiba aku dan motorku terbanting ke pinggir. Kakiku terjepit di antara motorku, tanpa ku sadari darah bercucuran keningku...semuanya pun berubah gelap.
***
Sejak saat itu aku tak pernah menyentuh motor lagi, aku pun kehilangan sebelah kakiku karena aku harus menjalani amputasi. Beban berat yang ku pikul bertubi-tubi sejak saat itu. apalagi setelah aku tahu kecelakaan itu Renata yang mengaturnya. Bodohnya aku, bahkan aku tak bisa membedakan antara benar dan salah...susah dan senang seperti yang di katakan Clara. Clara menjalani semuanya dengan benar hingga ia menemukan kebahagiaannya. Dia menjadi penulis terkenal seperti yang ku lihat saat ini. Ia memulainya dengan kerja keras dan berhasil dengan indah. Sementara aku, mendapatkan segalanya dengan mudah dan kehilangan semua itu dengan mudah pula. Tapi dengan adanya saat itu, aku sungguh sangat menyadari betapa pentingnya arti dari sebuah perjuangan. Bukan keberhasilan yang sesaat tapi perjuangan dari nol yang mengahsilkan keberhasilan yang abadi.
“kamu hebat Clara...”
Selesai...

Kamis, 15 Desember 2011

Postingan ke III nih...selamat membaca.


cupu mempesona INNE....


“pagi Cupu...”sapa hangat teman-temanku. Aku tahu itu adalah sebuah guyonan dan celaan bagiku yang berpenampilan ndeso...atau anak-anak sekarang bilang CUPU alias culun punya.
“pagi juga...”jawabku segera. Kadang memang membuatku jengkel tapi aku menyadari aku memang seperti itu mau tak mau harus ku terima saja mereka bilang aku cupu. Kalau di fikir-fikir aku memang tak ada spesialnya, mataku empat alis berkaca mata, gaya berpakaianku kuno, sepatuku kuno, aku tak pandai, bahkan gaya rambutku belah dua bah Charly st 12 tapi tentunya dia jauh lebih keren dari pada aku yang ngefans abis ma Charly. Pantaslah mereka mengataiku  cowok tercupu satu sekolah.
“duh susah banget sih deketin tuh cewek...”rengek Herlan ketika aku masuk ke kelas dan duduk di kursiku sambil merunduk has orang cupu pada umumnya. “Inne oh Inne...” lagi-lagi aku hanya bisa menguping pembicaraan mereka soal gadis terpopuler di sekolah INNEKE. Kata mereka Inne gadis cantik yang susah di deketin. Udah hampir semua cowok disekolah di tolak sama dia, tentunya kabar itu bikin aku gak percaya diri karena aku adalah salah satu fans Inne yang rajin ngirim puisi tanpa nama ke locernya. Mereka orang-orang tampan nan kaya aja udah di tolak apalagi aku...tapi aku tak berniat mengungkapkannya, cukup Inne senang membaca puisiku itu lebih baik dari pada tak pernah membuatnya senang.
“lo pasti di tolakkan?”kata Darwin yang juga nembak Inne 2 hari yang lalu.
“kagak...dia cuman bilang bakalan umumin siapa yang jadi cowoknya nanti siang...”Darwin tertawa lepas.
“yang pasti dia bakalan milih gue. Gue kan pernah anterin nyokapnya ke rumah sakit.”jawab Darwin sambil menepak pundak Herlan.
“eh jangan kepedean dulu lo...lagian apa hubungannya sama emaknya...”pungkas Herlan kesal. Aku terus memandangi mereka. “apa lo liat-liat Eka Harianto cupu...”bentak Herlan padaku. Aku segera menggeleng dan keluar dari kelas. Aku berencana keperpustakaan untuk mencari Inne diam-diam untuk sekedar memandang kecantikan Inne di balik buku yang lagi ia baca.
“Inne...”bisikku sembari berjalan ke rak buku yang paling dekat dengannya. Dia tampak sangat mempesona ketika sedang membaca.
“Ne...barusan gue denger satu sekolahan geger banget ngomongin lo...”bisik Zizi teman sebangkunya. Inne hanya tersenyum pada Zizi. “katanya lo udah mutusin mau pilih siapa ya?” Inne menganggkat halisnya seolah mengiyakan tanpa mata beranjak dari buku sastranya.
“ih ko lo gak cerita sama gue...ngomong-ngomong lo milih siapa???”rengek Zizi.
“ada aja...”jawabnya sambil tersenyum. Hatiku rasanya hancur, tentu saja aku hancur karena menyapanya saja tak pernah bahkan mengungkapkan cinta pada Inne. jadi musnahlah harapanku meski dari awal tak pernah ada kesempatan untukku.
“ah lo mah gak asik akh...tapi orang itu satu sekolah ma kita kan???”
“lo penasaran banget deh...”Inne menutup buku itu dan menyimpannya kembali. Brakkk...sesuatu terjadi begitu cepat. Aku tak menyangka bertabrakan dengan gadis impianku. Rasanya mulutku kelu bahkan untuk mengucapkan maafpun aku tak mampu. Dia tampak kaget.
“hati-hati donk...!!!”aku segera beralari tanpa sempat mendengar ucapannya karena aku sangat malu. Aku tahu sikap ini sangatlah pengecut tapi tak ada yang lebih baik selain berusaha menghinadar untuk menjaga perasaanku sendiri.

***
Anak-anak di kelasku berlarian menuju aula karena di sanalah Inne berjanji akan mengumumkan siapa cowok beruntung yang akan menjadi kekasihnya. Aku sangat amat penasaran, akupun ikut serta dengan mereka. Perkiraanku tepat hampir semua cowok di sekolah ada di sana. Mereka tengah berharap-harap cemas menanti jawaban dari Inne. Inne berdiri di antara kami para fans panatiknya. Dia tersenyum manis dan amat ramah seperti biasa.
“Ne...aku udah nunggu lama untuk hari ini...”seru seorang cowok yang sepertinya kakak kelas yang di susul teriakan dari anak-anak.
“eh cupu ngapain lo ikut ke sini?”bisik Darwin. Aku segera menggeleng.
“iya lo keluar aja!”tambah Herlan.
“maaf yah udah nunggu lama...”kata Inne. Sekejap ruangan sepi beda ketika mereka di hadapkan dengan ulangan dadakan atau ketika pelajaran matematika. “aku juga mau bilang makasih sama kalian yang udah perhatian banget sama aku. Setiap hari ngasih aku bunga, kado, sms, telpon, pulsa, pokonya banyak deh...” Inne menghela nafas. “termasuk puisi... meski jadul banget kata-katanya tapi makasih banget.” Tentu kata-kata terakhir itu Inne persembahkan untukku yakni puisi jadul tapi tak masalah yang penting Inne seneng dan dia bilang makasih.
“jadi lo milih siapa?”tanya Zizi yang terus di sampingnya.
“aku mau tanya sama kalian...kenapa kalian suka sama aku?” mereka serentak menjawab.
“ya karena kamu cantiklah...” Inne tersenyum sambil menggeleng.
“yang jelas aku gak milih kalian yang manggil aku cantik.”jawabnya tegas. “kecantikan fisik itu bisa hilang karena usia tapi kecantikan hatilah yang abadi. Saat ini aku pengen banget punya cowok yang tulus sama aku dan cantik hatinya.” Mereka semua diam. “aku udah tentuin siapa dia...” aku segera membalikan badan dan memutuskan untuk pergi dari aula. “dia adalah Eka Harianto...cowok yang selalu ngirim puisi sama aku tanpa nyantumin nama...selama ini aku berusaha cari orang ini dan akkhirnya aku bisa temuin cowok romantis yang mencintai aku tulus.” langkahku terhenti mungkinkah Inne memanggil namaku??? Semua ricuh, mereka protes dan mendorong-dorong aku. Apa yang terjadi  kenapa rasanya tubuhku melayang kemana-mana. Semua begitu indah, rasanya aku berada dalam negri dongeng yang di penuhi bunga segar dan di kelilingi dayang-dayang dengan di lilit-lilit buah anggur di kepalanya.
***
“kamu gak papakan?”Inne mengompres pipiku yang memar akibat pukulan dari teman-teman di aula tadi. Aku tak melepaskan pandanganku dari Inne. “Eka?” aku segera menggeleng. “apa sakit semua? Kita kerumah sakit ya!”
“apa aku mimpi?” dia tertawa lepas mendengarku.
“kamu ngrasa sakit?”dia tanya balik. Aku menggeleng cepat. Inne tertawa lebih keras. “kamu tadi di pukulin anak-anak...masa kamu gak sakit sih...”
“aku rasa ini mimpi...karena begitu mustahil kamu milih aku yang jelas-jelas...”Inne mencium pipiku segera. sungguh jantungku tak bisa berhenti berdetak kencang. Tuhan memang adil, inilah balasan bagi ketulusanku mencintai Inne ataukah ini hanya sebatas ucapan terimakasih untukku?
“ini nyata!!! Di mataku kamu itu cowok terbaik yang pernah aku kenal...”kata Inne padaku.
“tapi kenapa aku?”
“yah...karna buat aku kamu itu cowok spesial. Jadi jangan pernah kamu berfikir kamu itu di bawah segalanya...kamu hanya belum menyadari sebutulnya kamu sangat berarti...” jawabya sambil tersenyum. Betapa beruntungnya aku, dengan modal pas-pasan seperti aku ini gadis secantik Inne bisa sangat menghargai ketulusan cintaku. Yah Inne memang betul... ‘jangan berfikir kamu itu di bawah segalanya, kamu hanya belum menyadari sebetulnya kamu sangat berarti...’




Selesai
Created by:
Evi Andriyani