“hidup adalah
pilihan...benar atau salah...susah atau senang... semua begitu transparan dan
sensitif. Salah melangkah maka akan membuat kau menyesal seumur hidupmu.”itulah
kata-kata yang masih terngiang di benakku ketika ku melihat sebuah foto
terpajang di depan kaca sebuah toko buku. yah dia adalah Clara, seorang yang
aku tinggalkan hanya karena sebuah obsesi berlebihan. Gadis yang menemani aku
sejak aku masuk SMA, kekasihku. Penyesalan tak pernah berhenti menghampiriku.
Terlebih saat dimana aku harus menyakitinya terus dan terus.ku pajamkan mataku,
sejenak aku rasakan hembusan angin malam menusuk ke hidungku, membuat aku
teringat 5 tahun yang lalu....
***
“fuuuuft...”kami
meniup lilin angka 2, tanda hari jadi kami yang ke 2 tahun. Ku acak-acak
rambutnya seperti yang sering aku lakukan untuk memanjakannya. Di cafe itu
menjadi saksi bisu perjalanan cinta kami. Clara tersenyum padaku.
“sekarang kita
udah kelas 3 SMA. Waktunya kita menentukan kemana kita akan melangkah.”katanya.
aku tersenyum.
“aku bakalan
tetep sama ambisiku, PEMBALAP terkenal.” Clara mengeleng sembari tersenyum.
“aku tahu, kamu
pasti bisa. Kita berjuang sama-sama ya!”
Sejak saat itu
kami mulai sangat bersemangat dengan cita-cita kami. Clara sibuk mengirimkan
draft cerpennya kemajalah-majalah dan ke penerbit, dia sering sekali bercerita
tentang penolakan-penolakan yang ia terima dari penerbit. Aku pun begitu,
setiap hari setelah pulang sekolah ku habiskan waktuku untuk berlatih di
sirkuit. semangatku yang menggebupun mulai lenyap karena tak ada satupun yang
membutuhkan pembalap amatiran sepertiku tapi Clara selalu berusaha meyakinkanku
meski sebetulnya aku sangat tahu dia pun tengah putus asa.
“semangat donk
beb...aku percaya, kalau kita terus berusaha dan berdoa pasti kita bisa.
Semangat ya...”hanya itu yang selalu dia ucapkan padaku setiap aku mengeluh.
hari berganti
begitu cepat, tak ada sedikitpun kesempatan bagiku. Penolakan demi penolakan
sering kali ku dapat. Mereka tak melihat potensiku, sementara Clara tengah
bersuka cita karena salah satu cerpennya di muat di sebuah tabloid nasional.
Dia menghampiriku yang tengah alang kabut di kantin sekolah.
“beb...aku
seneng banget...”dia mengasongkan sebuah tabloid padaku.
“iya aku udah
tahu, kamu cerita panjang lebar sama aku semalam.”jawabku kecut. Entah mengapa
rasanya iri sekali dia bisa menikmati hasil kerja kerasnya selama ini.
“iya...tapi dari
semalem ko kamu gak kasih aku selamat sih...”rengeknya.
“selamat...”jawabku
singkat.
“kamu gak mau
baca hasil karya aku?”tanya dia.
“honey...aku
ketoilet dulu ya...”aku berusaha mengalihkan pembicaraan. Dia pun mengangguk.
aku segera berlari menuju toilet dan membasuh wajahku yang aku rasa terasa
panas setiap kali aku mendengar Clara mengatakan kebahagiaannya itu. Betapa
egoisnya aku, mengapa saat itu aku tak bisa bahagia untuk orang yang aku
cintai.
“wey...”seseorang
memukulku dari belakang. Akupun menoleh. Dia tersenyum manis padaku. “kemaren
aku liat kamu balapan.”kata gadis itu. “kamu Raditya Putrakan...kelas 12
IPS1?”tegasnya. aku mengangguk cepat dan tersenyum.
“kamu kok bisa
tahu?”aku balik bertanya.
“ya
iyalah...siapa yang gak tahu kamu...”dia tertawa. “kamu keren banget pas
balapan. Kenapa gak jadi pembalap nasional aja.”cetusnya.
“pengennya sih
gitu, tapi gak gampangkan.”aku kembali membalikan badan dan menatap wajahku di
balik cermin.
“oh iya...aku
Renata Wijatmoko.”dia mengasongkan tangan aku sambut dengan ramah. “aku kelas
12 bahasa...kurang lebih sekelas sama pacar kamu.”candanya.
“masa sih? Kok
aku gak pernah liat kamu?”aku menatapnya. Entah mengapa rasanya gadis itu
sangat mempesona saat itu, dia hanya tersenyum.
“udah lama aku
perhatiin kamu, dan potensi yang kamu punya. Papi aku mantan pembalap JP
nasional. Papi aku bisa bantu kamu kalau kamu mau.”dia memberikanku sebuah
kartu nama. “itu kartu nama papi, Erlan Wijatmoko. Dateng aja ke rumah!” dia
pun pergi. Ku pandangi kartu nama itu. Sesekali
terbesit untuk membuangnya tapi hatiku sangat kuat berbisik agar aku tak
menyianyiakan kesempatanku itu.
***
“kita
putus...”kataku pelan ketika kami tengah duduk berdua di halaman sekolah. Mata
Clara memerah. Dia segera menatapku.
“kenapa? Apa
karena ada yang lain?”tanya dia. Aku terdiam karena itulah yang terjadi. Selama
ini aku bermain di belakang Clara, merajut cinta terlarang dengan Renata, orang
yang aku rasa orang yang tepat di saat yang tepat. Dan saat kami bersama
tiba-tiba Renata menuntutku untuk meninggalkan Clara jika aku ingin lebih mudah
ikut Balapan. “karna Renata ya?” air matanya jatuh, aku segera membuang muka.
Aku tak ingin tampak terluka di mata Clara.
“aku rasa kita
udah gak cocok.”jawabku.
“gak cocok?
Hanya itukah alasannya? Kenapa sangat sederhana. Apa Renata yang minta?”tanya
dia membalikkan wajahku agar kembali menatapnya.
“maafin
aku...aku rasa ini yang terbaik.”jawabku.
“terbaik untuk
kamu dan Renata?”tanya dia lagi. Segera dia mengangguk seolah faham dengan apa
yang aku inginkan. “iya, kalau itu memang yang terbaik untuk kamu, aku ikhlas
ngelepasin kamu. aku tahu...hanya Renatalah yang bisa mewujudkan segala
cita-cita kamu. karena aku hanya bisa memberi kamu dukungan bukan bukti seperti
Renata kasih ke kamu. mungkin hanya ini yang bisa aku katakan sama kamu.” dia
menggenggam tanganku erat. “aku cinta sama kamu lebih dari yang aku
tahu...lebih dari apa yang tersurat di dalam cerpen-cerpenku...saat kamu
mengatakan semua ini demi kebaikanmu, maka itu juga kebaikanku...karena buat
aku melihat kamu bahagia dan berhasil itu adalah kebahagiaan untukku.”
Kesuksesaanku di
raih dengan cepat. Akhirnya aku bisa membuktikan bahwa aku punya potensi. Aku
pun lulus dari sekolahku, tempat kenanganku bersama Clara. Hidupku yang baru
sarat dengan kemewahan. Betapa kagetnya aku setelah ketenaran menghampiriku.
Apartemen mewah, motor baru, mobil mewah, tabungan. Begitu cepat ku dapat hanya
menghitung bulan. Orang tuaku yang dari awal tak pernah mendukungku akhirnya
turut larut dalam kemewahan yang aku dapat. Renata terus mendampingiku. Meski
tak sedikitpun motifasi dia keluarkan untuk menguatkanku tapi dialah mesin
uangku. Dari dialah sumber kemewahan yang aku dapat.
***
“kita nikah
ya...”cetusnya saat aku akan bertanding di sirkuit Sepang Malaysia. Dia selalu
mengikutiku bahkan saat aku akan berganti baju.
“jangan pecanda
deh Ren...”jawabku.
“kapan aku
pecanda sama kamu? buat bikin kamu setenar ini apa aku pecanda dulu?”tanyanya
balik.
“aku gak
bisa...masih panjang perjalanan karir aku.”jawabku. dia tertawa.
“karir...”
“iya karir aku
sebagai pembalap.”tegasku.
“aku rasa karir
kamu akan segera berakhir kalau kamu bilang enggak.”jawabnya.
“maksud kamu
apa? Kamu fikir aku Putra yang dulu, yang masih bergantung sama kamu. semua
orang udah tahu potensi yang aku punya.”jawabku sambil berdiri, dia pun ikut
berdiri dan kami saling berhadapan.
“oh ya? Kamu
bener-bener gak tahu siapa orang yang kamu hadepin saat ini Put...dengan kamu
ngomong gitu sama aku...itu artinya kamu nantangin aku.” Dia menunjuk-nunjuk
wajahku, ku tepis segera.
“jangan
macem-macem lo!!!”bentakku mendorongnya hingga ia kembali duduk. Tapi gadis itu
malah tertawa.
“sejak kapan
kamu jadi berani bentak aku?”
“sejak kamu
rendahin aku kaya barusan.”jawabku.
“kamu memang
rendah di mataku...aku tanya sekali lagi...kamu maukan nikah sama aku?”dia
memangku tangan.
“enggak.”jawabku
meninggalkannya sendiri di ruang ganti.
“kamu bakalan
nyesel PUTRA.”teriaknya.
Pertandinganpun
di mulai, pertandingan ini sangat penting untuk memulai karirku di balapan
Internasional. Meski hanya tingkat Asia tapi aku cukup percaya diri dengan
kemampuanku yang tak pernah kalah. Aku segera mengambil motor JP andalanku.
Kamipun mulai bertanding. Sepanjang lap 1-2 aku tak menemukan keganjalan, tapi
tiba-tiba ketika memasuki lap 3 dan setiap belokan entah mengapa rasanya stang
motornya sangat sulit di kendalikan, remnya pun begitu...motorku sangat sulit
si kendalikan terlebih saat para pembalap lain menyusulku. Tiba-tiba hal yang
buruk terjadi, entah mengapa tiba-tiba aku dan motorku terbanting ke pinggir.
Kakiku terjepit di antara motorku, tanpa ku sadari darah bercucuran
keningku...semuanya pun berubah gelap.
***
Sejak saat itu
aku tak pernah menyentuh motor lagi, aku pun kehilangan sebelah kakiku karena
aku harus menjalani amputasi. Beban berat yang ku pikul bertubi-tubi sejak saat
itu. apalagi setelah aku tahu kecelakaan itu Renata yang mengaturnya. Bodohnya
aku, bahkan aku tak bisa membedakan antara benar dan salah...susah dan senang
seperti yang di katakan Clara. Clara menjalani semuanya dengan benar hingga ia
menemukan kebahagiaannya. Dia menjadi penulis terkenal seperti yang ku lihat
saat ini. Ia memulainya dengan kerja keras dan berhasil dengan indah. Sementara
aku, mendapatkan segalanya dengan mudah dan kehilangan semua itu dengan mudah
pula. Tapi dengan adanya saat itu, aku sungguh sangat menyadari betapa
pentingnya arti dari sebuah perjuangan. Bukan keberhasilan yang sesaat tapi
perjuangan dari nol yang mengahsilkan keberhasilan yang abadi.
“kamu hebat
Clara...”
Selesai...
kisah yea menarik,baguz tuk di jadikan penglmn dan pelaran.I like it.
BalasHapusijin share yeah..
ijin share ya min, cz ceritanya mirip dg kisah hidup aku. oh iya jgn lupa mampir ke blog aku http://tentangcinta64.blogspot.co.id mohon kritik dan saran
BalasHapus