.fb_like_box { -moz-border-radius:5px 5px 5px 5px; border-radius:10px; background:#f5f5f5; border:1px dotted #ddd; margin-bottom:10px; padding:10px; width:500px; height:20px; }

Entri Populer

Jumat, 16 Desember 2011

Sesal tak berujung....

“hidup adalah pilihan...benar atau salah...susah atau senang... semua begitu transparan dan sensitif. Salah melangkah maka akan membuat kau menyesal seumur hidupmu.”itulah kata-kata yang masih terngiang di benakku ketika ku melihat sebuah foto terpajang di depan kaca sebuah toko buku. yah dia adalah Clara, seorang yang aku tinggalkan hanya karena sebuah obsesi berlebihan. Gadis yang menemani aku sejak aku masuk SMA, kekasihku. Penyesalan tak pernah berhenti menghampiriku. Terlebih saat dimana aku harus menyakitinya terus dan terus.ku pajamkan mataku, sejenak aku rasakan hembusan angin malam menusuk ke hidungku, membuat aku teringat 5 tahun yang lalu....
***
“fuuuuft...”kami meniup lilin angka 2, tanda hari jadi kami yang ke 2 tahun. Ku acak-acak rambutnya seperti yang sering aku lakukan untuk memanjakannya. Di cafe itu menjadi saksi bisu perjalanan cinta kami. Clara tersenyum padaku.
“sekarang kita udah kelas 3 SMA. Waktunya kita menentukan kemana kita akan melangkah.”katanya. aku tersenyum.
“aku bakalan tetep sama ambisiku, PEMBALAP terkenal.” Clara mengeleng sembari tersenyum.
“aku tahu, kamu pasti bisa. Kita berjuang sama-sama ya!”
Sejak saat itu kami mulai sangat bersemangat dengan cita-cita kami. Clara sibuk mengirimkan draft cerpennya kemajalah-majalah dan ke penerbit, dia sering sekali bercerita tentang penolakan-penolakan yang ia terima dari penerbit. Aku pun begitu, setiap hari setelah pulang sekolah ku habiskan waktuku untuk berlatih di sirkuit. semangatku yang menggebupun mulai lenyap karena tak ada satupun yang membutuhkan pembalap amatiran sepertiku tapi Clara selalu berusaha meyakinkanku meski sebetulnya aku sangat tahu dia pun tengah putus asa.
“semangat donk beb...aku percaya, kalau kita terus berusaha dan berdoa pasti kita bisa. Semangat ya...”hanya itu yang selalu dia ucapkan padaku setiap aku mengeluh.
hari berganti begitu cepat, tak ada sedikitpun kesempatan bagiku. Penolakan demi penolakan sering kali ku dapat. Mereka tak melihat potensiku, sementara Clara tengah bersuka cita karena salah satu cerpennya di muat di sebuah tabloid nasional. Dia menghampiriku yang tengah alang kabut di kantin sekolah.
“beb...aku seneng banget...”dia mengasongkan sebuah tabloid padaku.
“iya aku udah tahu, kamu cerita panjang lebar sama aku semalam.”jawabku kecut. Entah mengapa rasanya iri sekali dia bisa menikmati hasil kerja kerasnya selama ini.
“iya...tapi dari semalem ko kamu gak kasih aku selamat sih...”rengeknya.
“selamat...”jawabku singkat.
“kamu gak mau baca hasil karya aku?”tanya dia.
“honey...aku ketoilet dulu ya...”aku berusaha mengalihkan pembicaraan. Dia pun mengangguk. aku segera berlari menuju toilet dan membasuh wajahku yang aku rasa terasa panas setiap kali aku mendengar Clara mengatakan kebahagiaannya itu. Betapa egoisnya aku, mengapa saat itu aku tak bisa bahagia untuk orang yang aku cintai.
“wey...”seseorang memukulku dari belakang. Akupun menoleh. Dia tersenyum manis padaku. “kemaren aku liat kamu balapan.”kata gadis itu. “kamu Raditya Putrakan...kelas 12 IPS1?”tegasnya. aku mengangguk cepat dan tersenyum.
“kamu kok bisa tahu?”aku balik bertanya.
“ya iyalah...siapa yang gak tahu kamu...”dia tertawa. “kamu keren banget pas balapan. Kenapa gak jadi pembalap nasional aja.”cetusnya.
“pengennya sih gitu, tapi gak gampangkan.”aku kembali membalikan badan dan menatap wajahku di balik cermin.
“oh iya...aku Renata Wijatmoko.”dia mengasongkan tangan aku sambut dengan ramah. “aku kelas 12 bahasa...kurang lebih sekelas sama pacar kamu.”candanya.
“masa sih? Kok aku gak pernah liat kamu?”aku menatapnya. Entah mengapa rasanya gadis itu sangat mempesona saat itu, dia hanya tersenyum.
“udah lama aku perhatiin kamu, dan potensi yang kamu punya. Papi aku mantan pembalap JP nasional. Papi aku bisa bantu kamu kalau kamu mau.”dia memberikanku sebuah kartu nama. “itu kartu nama papi, Erlan Wijatmoko. Dateng aja ke rumah!” dia pun pergi. Ku pandangi kartu nama itu. Sesekali  terbesit untuk membuangnya tapi hatiku sangat kuat berbisik agar aku tak menyianyiakan kesempatanku itu.
***
“kita putus...”kataku pelan ketika kami tengah duduk berdua di halaman sekolah. Mata Clara memerah. Dia segera menatapku.
“kenapa? Apa karena ada yang lain?”tanya dia. Aku terdiam karena itulah yang terjadi. Selama ini aku bermain di belakang Clara, merajut cinta terlarang dengan Renata, orang yang aku rasa orang yang tepat di saat yang tepat. Dan saat kami bersama tiba-tiba Renata menuntutku untuk meninggalkan Clara jika aku ingin lebih mudah ikut Balapan. “karna Renata ya?” air matanya jatuh, aku segera membuang muka. Aku tak ingin tampak terluka di mata Clara.
“aku rasa kita udah gak cocok.”jawabku.
“gak cocok? Hanya itukah alasannya? Kenapa sangat sederhana. Apa Renata yang minta?”tanya dia membalikkan wajahku agar kembali menatapnya.
“maafin aku...aku rasa ini yang terbaik.”jawabku.
“terbaik untuk kamu dan Renata?”tanya dia lagi. Segera dia mengangguk seolah faham dengan apa yang aku inginkan. “iya, kalau itu memang yang terbaik untuk kamu, aku ikhlas ngelepasin kamu. aku tahu...hanya Renatalah yang bisa mewujudkan segala cita-cita kamu. karena aku hanya bisa memberi kamu dukungan bukan bukti seperti Renata kasih ke kamu. mungkin hanya ini yang bisa aku katakan sama kamu.” dia menggenggam tanganku erat. “aku cinta sama kamu lebih dari yang aku tahu...lebih dari apa yang tersurat di dalam cerpen-cerpenku...saat kamu mengatakan semua ini demi kebaikanmu, maka itu juga kebaikanku...karena buat aku melihat kamu bahagia dan berhasil itu adalah kebahagiaan untukku.”
Kesuksesaanku di raih dengan cepat. Akhirnya aku bisa membuktikan bahwa aku punya potensi. Aku pun lulus dari sekolahku, tempat kenanganku bersama Clara. Hidupku yang baru sarat dengan kemewahan. Betapa kagetnya aku setelah ketenaran menghampiriku. Apartemen mewah, motor baru, mobil mewah, tabungan. Begitu cepat ku dapat hanya menghitung bulan. Orang tuaku yang dari awal tak pernah mendukungku akhirnya turut larut dalam kemewahan yang aku dapat. Renata terus mendampingiku. Meski tak sedikitpun motifasi dia keluarkan untuk menguatkanku tapi dialah mesin uangku. Dari dialah sumber kemewahan yang aku dapat.
***
“kita nikah ya...”cetusnya saat aku akan bertanding di sirkuit Sepang Malaysia. Dia selalu mengikutiku bahkan saat aku akan berganti baju.
“jangan pecanda deh Ren...”jawabku.
“kapan aku pecanda sama kamu? buat bikin kamu setenar ini apa aku pecanda dulu?”tanyanya balik.
“aku gak bisa...masih panjang perjalanan karir aku.”jawabku. dia tertawa.
“karir...”
“iya karir aku sebagai pembalap.”tegasku.
“aku rasa karir kamu akan segera berakhir kalau kamu bilang enggak.”jawabnya.
“maksud kamu apa? Kamu fikir aku Putra yang dulu, yang masih bergantung sama kamu. semua orang udah tahu potensi yang aku punya.”jawabku sambil berdiri, dia pun ikut berdiri dan kami saling berhadapan.
“oh ya? Kamu bener-bener gak tahu siapa orang yang kamu hadepin saat ini Put...dengan kamu ngomong gitu sama aku...itu artinya kamu nantangin aku.” Dia menunjuk-nunjuk wajahku, ku tepis segera.
“jangan macem-macem lo!!!”bentakku mendorongnya hingga ia kembali duduk. Tapi gadis itu malah tertawa.
“sejak kapan kamu jadi berani bentak aku?”
“sejak kamu rendahin aku kaya barusan.”jawabku.
“kamu memang rendah di mataku...aku tanya sekali lagi...kamu maukan nikah sama aku?”dia memangku tangan.
“enggak.”jawabku meninggalkannya sendiri di ruang ganti.
“kamu bakalan nyesel PUTRA.”teriaknya.
Pertandinganpun di mulai, pertandingan ini sangat penting untuk memulai karirku di balapan Internasional. Meski hanya tingkat Asia tapi aku cukup percaya diri dengan kemampuanku yang tak pernah kalah. Aku segera mengambil motor JP andalanku. Kamipun mulai bertanding. Sepanjang lap 1-2 aku tak menemukan keganjalan, tapi tiba-tiba ketika memasuki lap 3 dan setiap belokan entah mengapa rasanya stang motornya sangat sulit di kendalikan, remnya pun begitu...motorku sangat sulit si kendalikan terlebih saat para pembalap lain menyusulku. Tiba-tiba hal yang buruk terjadi, entah mengapa tiba-tiba aku dan motorku terbanting ke pinggir. Kakiku terjepit di antara motorku, tanpa ku sadari darah bercucuran keningku...semuanya pun berubah gelap.
***
Sejak saat itu aku tak pernah menyentuh motor lagi, aku pun kehilangan sebelah kakiku karena aku harus menjalani amputasi. Beban berat yang ku pikul bertubi-tubi sejak saat itu. apalagi setelah aku tahu kecelakaan itu Renata yang mengaturnya. Bodohnya aku, bahkan aku tak bisa membedakan antara benar dan salah...susah dan senang seperti yang di katakan Clara. Clara menjalani semuanya dengan benar hingga ia menemukan kebahagiaannya. Dia menjadi penulis terkenal seperti yang ku lihat saat ini. Ia memulainya dengan kerja keras dan berhasil dengan indah. Sementara aku, mendapatkan segalanya dengan mudah dan kehilangan semua itu dengan mudah pula. Tapi dengan adanya saat itu, aku sungguh sangat menyadari betapa pentingnya arti dari sebuah perjuangan. Bukan keberhasilan yang sesaat tapi perjuangan dari nol yang mengahsilkan keberhasilan yang abadi.
“kamu hebat Clara...”
Selesai...

2 komentar:

  1. kisah yea menarik,baguz tuk di jadikan penglmn dan pelaran.I like it.

    ijin share yeah..

    BalasHapus
  2. ijin share ya min, cz ceritanya mirip dg kisah hidup aku. oh iya jgn lupa mampir ke blog aku http://tentangcinta64.blogspot.co.id mohon kritik dan saran

    BalasHapus