.fb_like_box { -moz-border-radius:5px 5px 5px 5px; border-radius:10px; background:#f5f5f5; border:1px dotted #ddd; margin-bottom:10px; padding:10px; width:500px; height:20px; }

Entri Populer

Jumat, 13 April 2012

You’re my Miracle




“There can be miracles when you believe…” seorang gadis mungil melantunkan lagu yang ku kenal cukup baik, ia duduk disampingku dan menantapku dalam. Kurasa usianya sekitar 7 tahun, ia menggenggam erat tanganku ketika ia melihat aku duduk sendiri dengan selembar dokumen yang ada di genggamanku. Sulitku membalas senyum itu namun ia tetap tersenyum.
“ tell me your problem!” anak kecil berwajah 100% Indonesia ini membuatku bingung, bukan karena aku tak mengerti dengan bahasa yang ia gunakan tapi ia benar-benar berbicara percis bule dan sangat fasih.
“I’m afraid…” jawabku. “I’m Sick…”
“I know coz u here with me…me too. This is hospital. Everybody’s here because them sick. Don’t be afraid you’re not alone.” Sambil memasangkan gelang kecil berwarna pink ke tangan kananku dan dia tersenyum.
“what is?” tanyaku.
“for u…one present…” aku mulai tersenyum geli. “I like you. You’re very kind and…handsome, I think. Do u want to be my friend?” tawaku mulai keluar. Ia tampak bingung namun ia juga tertawa. “wow…you laughing!!! I’m excited…” aku membelai kepalanya dan menggosok-gosoknya tapi aku kaget ketika aku tahu rambutnya tiba-tiba jatuh. Ia memakai rambut palsu untuk menutupi kepalanya yang bahkan tak ada sehelai rambutpun yang tumbuh di kepala anak kecil yang lucu itu. Ia tersenyum, belum saja aku minta maaf tiba-tiba seorang ibu memanggilnya.
“Syakira…”
“aku disini ma!!!” serunya. Aku hanya diam, anak kecil yang nakal…ternyata dia bisa bahasa Indonesia. Dia kembali memakai wignya dan berlari memeluk ibu itu. Ibu itu menatapku sejenak, lalau ia tersenyum dan mengangguk. Ku balas senyumnya dengan anggukan pula menandakan aku juga menghormatinya. Aneh rasanya tapi sungguh bebanku sedikit terasa ringan. Padahal tak banyak yang dilakukan gadis itu. Ku pandangi gelang konyol itu tapi senyum mulai mengembang di bibirku.
Ku berjalan menjauh dari tempat dudukku tadi dan keluar dari rumah sakit, aku mulai mengingat lagi dengan fonis dokter yang aku dapatkan hari ini. Jantung…mereka bilang aku sakit jantung. Seorang Alvin yang baru berusia 19 tahun dan tak pernah sakit tiba-tiba memiliki penyakit jantung. Parahnya lagi aku tak bisa menunggu lama jantung ini harus segera dicangkok. Dan siapapun tahu bahwa mencari jantung yang cocok itu sesulit mencari jarum dalam jerami. Mungkin harapan kecil bagiku tapi gadis kecil tadi juga membesarkan hatiku bahwa mungkin masih ada jalan lain yang harus ku tempuh dan kucoba.

1 minggu berlalu…
Tanpa satupun anggota keluargaku dan teman-teman kuliah yang tahu tentang penyakutku. Aku tetap menjalani rangkaian pengobatan rutin yang mulai aku jalanani minggu ini. Kini rumah sakit yang 1 minggu lalu ku datangi akan menjadi hunian baru bagiku.
Setelah menjalani rangkaian pemeriksaan, aku kembali mendatangi tempat sebelumnya ketika ku temui gadis kecil itu. Ku duduk menunggu, 15 menit, 30 menit, 60 menit, 90 menit, sampai aku mulai bosan menghitung seberapa lama aku menunggu tapi gadis itu tak juga muncul. Aku beranjak mencoba mencarinya tapi langkahku terhenti ketika ku lihat ibu yang kemarin memanggil anak itu tengah menangis tersedu-sedu di depan ruang ICU.
“tante…” Bisikku. Dia berdiri segera dan menghapus air matanya. Batinku tergerak dan ku peluk ibu itu. Merasakan kesedihan yang sama jika mamaku tahu tentang penyakitku. Ibu itu pun demikian aku yakin ia tengah menangisi anak lucu itu. Ia menangis dipelukanku.
Setelah itu kami berbincang diruang tunggu dengan segelas kopi dingin di genggaman kami.
“namanya Syakira…”ia memulai perbincangan. “umurnya baru saja 7 tahun.”ia berhenti sejenak dan meminum kopinya. Air matanya menetes lagi. ia menghapusnya dengan tisu yang ada di tangan kirinya. “tapi malangnya, gadis cantik yang aku lahirkan dengan susah payah mengalami penderitaan yang tiada henti sejak dia lahir.” Ku rangkul ibu itu dan menghapus air matanya untuk sekedar mengurangi bebannya. Disaat-saat seperti ini aku tak peduli akan pembicaraan orang melihatku memeluk seorang tante. yang ku fikirkan adalah mungkin mama akan merasakan hal yang sama. “dia adalah anak hasil bayi tabung…tanpa aku kira sebelumnya, ternyata dia memilik banyak kelainan kesehatan. Bahkan dokter bilang ini tak akan berhasil. Syakira tidak akan bisa hidup bertahan lebih dari 4 tahun, seberapa keraspun aku mencoba untuk membuatnya hidup lebih lama. Tapi tuhan berkehendak lain. Syakira bisa hidup sampai detik ini. Yang aku paling sesali adalah mengapa selama 7 tahun ini ia harus menetap di rumah sakit. Andaikan saja aku bisa membawanya lari dan jauh dari rumah sakit yang menjijikan ini tapi kenyataannya ia tak pernah bisa hidup berjauhan dengan rumah sakit. Hampir seluruh rumah sakit di Indonesia telah kami singgahi hanya untuk menyelamatkan satu nyawa saja. Bahkan kami sempat menetap di singapura selama 3 tahun belakangan ini tapi kenyataan tak pernah bisa sesuai dengan apa yang kita harapkan. Takdir tetaplah takdir. Dan itulah mengapa Syakira pandai berbahasa Inggris karena dia bilang saat kami tinggal di singapura ‘mungkinkah ini rumah terakhir bagiku? Jika iya, mungkin aku harus belajar bahasa inggris dengan benar mom…’ itu kata-kata yang paling menyakitkan bagiku.” ia menghela nafas panjang.
“tapi…bukankah Ayah Syakira seharusnya bersama kalian?”tanyaku.
Ia memandangku sejenak. “Tuhan…mungkinkah ini hukuman untukku?” ia menengadah. “aku tak pernah menikah dengannya (ayah Syakira). Aku hanya seorang dokter yang mencintai atasannya dan mencuri hal yang tak harus ku curi. Ia tak pernah tahu aku mengandung anaknya. Aku tak bisa memilikinya karena dia milik orang lain…tapi aku sangat ingin memilikinya. Karena keegoisanku, akhirnya aku memutuskan hal gila ini, ambisiku yang menggebu-gebu, aku berfikir mungkin aku tak bisa memilikinya tapi aku harus memiliki sebagian dari dirinya. Andai bisa ku perbaiki…” ia menutup wajahnya dengan kedua telapak tanagnnya.
“tidak ada yang harus tante sesali atas semua ini. Syakira tumbuh jadi anak yang kuat dan berani. Jangan tante tambah kesalahan tante dengan menyalahkan anugerah seperti Syakira.” Jawabku.
“kini…aku pasrah, aku tahu tak ada yang lebih baik selain melepasnya. Ia tak harus hidup dan menjalani hidup dengan teka-teki ini. Aku hanya ingin yang terbaik untuknya…terbaik…”dia menatapku dalam. Ia tersenyum sambil menyeka air matanya. “minggu lalu dia bilang, ‘mom…kamu harus memberikan kekuatanku untuk kakak yang sedih yang mengobrol denganku itu, dia bilang dia takut…sampaikan padanya bahwa tak ada yang harus di takuti…semuanya seperti menyusun pazzle, tampak membingungkan tapi saat kamu berhasil menyusnnya itu sangat menyenangkan.’ Aku masih sangat jelas mengingatnya. Dia sangat pandai dan tegar.”
Lalu seorang dokter keluar dengan keringat bercucuran dan muram. Mata wanita itu kosong seolah bisa menebak apa yang akan di katakana dokter itu. Wanita itu berdiri, aku pun begitu.
“aku tahu kamu pasti sudah ikhlas…ini yang terbaik untuknya Shella…” wanita yang kudengar bernama Shella itu tersenyum lega tapi terluka. Dokter itu pun memeluk Shella. “kamu wanita tegar…”
“Selamat jalan anakku…”desah wanita itu yang berusia sekitar 32 tahun itu.

Aku duduk termenung, bahagia, sedih, rindu dan bangga menusuk relung hatiku, didepan makam gadis cilik yang menyelamatkan hidupku. Ku belai nisannya dan ku sandarkan seikat bunga lili di sana. Aku tersenyum seolah ia ada di hadapanku.
“teriamakasih Syakira, karena kamu telah hidup untuk mengingatkanku, terimakasih karena detak jantungmu kini ada di dadaku…kamu akan selalu menjadi cahaya…bagiku, ibumu dan ayahmu yang akan menyadari kehadiranmu suatu saat nanti. Tersenyumlah…aku bangga padamu.”











Selesai…

Created by Evi Andriyani

About HIM…






Selalu ada banyak cerita dibalik kisah SMA, selau ada banyak rahasia dibalik kehidupan seseorang. Tentangku, tentangnya, tentang siapapun yang hidup didunia ini. Selalu ada saja yang membuatku tersenyum dengan lepas, menangis dengan keras, berteriak dengan lantang. Bahwa haruskah semua menyalahkan takdir dan merasa tidak adil?
Ini tentangnya, tentang kehidupan keras seorang Rivano Siregar. Tak tampak memang, dia lebih bisa di sebut laki-laki periang yang tak pernah melampiaskan amarahnya kepada siapapun. Vano laki-laki yang amat sangat mengagumkan dimataku. Entahlah seberapa jerawat telah ku pecahkan hanya karena memendam rasa cinta ini semenjak SMP. Tak ada yang tahu, tak ada yang mencari tahu. Aku bisa bilang aku adalah gadis bodoh yang nekat. Aku mengejarnya sampai di SMA ini, sampai kita satu SMA. Bodohnya lagi baru 1 bulan belakang ini dia mengenalku. Tapi tanpa ia sadari aku sudah mengenalnya dari ujung rambut sampai ujung kaki. Mungkin sanagat menyeramkan mencintai seseorang sampai seperti ini, aku pun menyadari akan hal itu. Tapi toh yang kulakukan masih dalam tahap wajar, aku tak melabrak para gadis yang berusaha mendekatinya, aku tak menyempilkan surat-surat cinta tanpa nama di locker atau di tasnya, aku tak berteriak-teriak dan mengatakan pada dunia kalau aku mencintainya. Hanya cukup aku tau kabarnya setiap hari itu sudah membuatku amat sangat puas.
1 bulan yang lalu untuk pertama kalinya ia menyapaku dan kami berkenalan.
“hai…Kamu Alysa kan?”Tanya Vano ramah padaku. Aku mengangguk segera dengan tangan gemetar. Aku berusaha menyembunyikan kedua tanganku di belakang punggungku. “aku Vano, kata anak-anak kamu yang nemuin kamera aku ya?”Tanya dia. Tuhan…inikah kesempatan itu??? Tanpa sengaja sehari sebelum itu aku menemukan sebuah kamera mahal di kantin sekolah. Tanganku terasa beku dan menggigil karena gugup. Aku mengangguk dan segera mangembilnya dari tasku.
“i…iya, aku nemuin ini di kantin pas pulang sekolah…”jawabku terbata-bata. Ia tersenyum senang dan mengambilnya.
“makasih banyak ya! Oh iya…”ia memandangku serius.
“kamu udah liat isinya?”Tanya dia, aku merunduk merasa bersalah karena aku melihat semua foto yang ada di dalamnya…memang tak banyak foto Vano disana, kalau pun ada ia berfoto dengan banyak orang dan salah satu orang yang bisa aku kenali di foto itu hanyalah ibunya Vano. Meski aku juga mencuri beberapa fotonya.
“maaf…aku liat foto-fotonya, aku cuman mau pastiin kalau pemiliknya siapa.” Dia diam sejenak lantas tersenyum kembali.
“kamu pucet banget…aku emang agak kecewa kamu udah buka-buka fotonya tapi aku gak akan makan kamu lagi.” candanya. “jangan bilang-bilang ya isinya apaan…” Vano memastikan kalau foto-fotonya masih utuh.
Aku mengangguk dan membalas senyumnya. “fotonya diambil pas pesta ulang tahun ya?”tanyaku. ia terhenti dan menatapku heran.
“ko tau?”Tanya dia.
“hmhhh…soalnya aku liat ada kue ulang tahun…”aku berusaha mengelak. Padahal aku sangat tahu kalau itu adalah ulang tahunnya. Ia tersenyum dan mengangguk.
“aku berhutang sama kamu…sebagai gantinya aku teraktir deh…” dorrrrr…rasanya ada ribuan petasan, kembang api di telingaku mendengar ajakan yang istimewa itu, indah sekali, rasanya aku melayang lepas seperti balon gas. “ko bengong? Gak mau ya?” aku sigap.
“mau…”jawabku segera, ia tertawa geli.
“idih…biasa aja donk!” tawanya renyah seperti kenatang goring dengan lesung pipi yang mengagumkan. Aku menghela nafas panjang. “mau makan dimana terserah kamu. Pulang sekolah aku tunggu di depan gerbang.” Dia berlalu. Aku menjerit dalam hati dan lompat-lompat kegirangan merasa dunia telah kugenggam dengan telapak tanganku.
Detik-detik menuju pulang sekolah sangat-sangat lamban, detak jantungku seperti tak seirama dengan waktu. Gelisah, bosan, konsentrasi pudar semuanya sangat melelahkan. Tak ada satupun pelajaran yang membekas diotakku. Hanya Rivano…Rivano…Rivano yang melayang-layang dalam fikiran dan hatiku. Teng…teng…teng… bell berbunyi nyaring. Inilah waktunya, aku berlari dengan semangat membara menuju gerbang sekolah.
Aku melihatnya…melihat sosok laki-laki impianku selama ini, dia duduk diatas motor Ninjanya. Dia melambaikan tangan dan tersenyum.
ketika ku sampai di hadapannya. “udah mutusin mau makan dimana?”
“hmh…aku belum mutusin, tapi dimanapun kamu ngajak aku aku pasti suka.”jawabku.
“loh kenapa? Aku kan gak tau kamu sukanya makan apa…” katanya.
“aku suka makan apa aja ko…aku gak ada alergi.”jawabku.
“wah…kebetulan donk, aku lagi pengen makan siang SeaFood…kita kerestoran deket sini aja kali ya.” Aku mengangguk. Yah…memang tak masalah, ini kesempatan besar bagiku, meski harus makan di emperan, di kolong jembatan aku gak peduli. Yang penting ada Vano di hadapanku pasti rasanya luar biasa. “ya udah…ayo naik!” aku bahagia, aku gembira dan tak bisa di uangkapkan dengan kata-kata untuk pertama kalinya aku naik dimotornya. Ini terasa seperti mimpi, aku duduk di belakang punggungnya dan merasakan kehangatan tubuhnya.
Motorpun melaju cukup kencang hingga tak terasa restoran sudah ada di depan mata. Aku pun turun dan kami berjalan berdampingan memasukinya. Vano memilih tempat duduk di dekat jendela dan tiba-tiba hujan turun sehingga pemandangan siang yang diguyur hujan itu tampak begitu indah. Dia memesan kepiting asam manis dan nasi goring seafood, aku memesan udang goring yang renyah. Kami bersenda gurau sambil makan ditemani jus yang segar. Makanan habis dan kami menikmati minum sambil memandangi hujan.
“pas SMP aku pernah lihat kamu deh…kita satu sekolahkan dulu?”Tanya dia. Aku kaget, ternyata dia ingat aku…apa mungkin dia juga tahu aku memperhatikannya selama ini??? Aku bertanya-tanya dalam hati, merasa malu kalu memang itu terjadi.
“iya, kamu inget? Kita juga satu angkatan tapi selalu beda kelas.” Dia tertawa.
“iya, aku tahu…aku sempet suka loh sama kamu.” Aku tersedak jus ku. Dia kembali tertawa.
“kamu kenapa? Aku pecanda…” jantungku kembali berdetak, ugh…andai saja itu nyata. “tapi kamu emang manis…aku selalu ngerasa mencintai itu sesuatu hal yang subjektif.” Katanya, aku terdiam ingin mengetahui alasan ini sejak awal. Mengapa tak juga ku dengar ia memiliki pacar? Padahal banyak sekali yang ingin menjadi pacarnya.
“cinta itu subjektif…aku gak suka sesuatu hal yang gak biasa aku lihat. Aku lebih suka kenyataan. Dan kenyataan yang aku tahu kalau cinta itu menyakitkan. Aku gak berani untuk memulainya karena belum saja aku mulai aku udah tau akhirnya kaya apa…”jelasnya. “akhirnya seperti ibuku…mencintai papa seperti mencintai tuhan, rela berkorban, rela di sakiti, rela di hianati dan rela di porakporandakan. pada akhirnya cinta yang manis itu berubah menjadi kebencian dan dendam yang membara.”
Aku tahu keluarganya tak utuh, aku tahu tidak hanya ibunya yang disakiti oleh ayahnya yang juga memiliki wanita lain tapi Vano pun begitu. Ia jadi bulan-bulanan ayahnya saat berusaha melindungi ibunya. Kejadian itu masih berlangsung sampai detik ini. Aku terdiam, memandanginya yang nyaris mengeluarkan air mata.
“cinta itu memiliki berbagi versi, mencintai dan harus memiliki meski itu sulit, mencintai dan tak harus memiliki meski itu menyakitkan…butuh banyak keberanian disana, keberanian untuk mereguknya perlahan meski tak bisa didapatkan, keberanian kalau cinta tak bisa sejalan dengan apa yang kita harapkan. Jangan memandangnya dari apa yang kamu lihat tapi pandang cinta dari apa yang kamu alami…” cetusku. Ia memandangku dalam dan kemudian mereguk kembali jusnya.
“keberanian itu lenyap setiap kali aku melihat air mata mama, dia menangis terluka di pelukanku. Tak ingin rasanya menyakiti wanita seperti papa menyakiti mama aku. Cukup sulit aku melihatnya. Goresan luka yang gak cuman dari hati, tapi juga fisik dan mental. Sejak aku lahir, sejak aku ada yang aku lihat hanya kekerasan, penghianatan dan air mata. Tanpa aku menjalaninya aku pun mengerti kalau memang begitulah cinta.” Kadang sulit di terima, aku faham dengan luka-luka yang berbekas dihatinya. Suatu saat nanati kamu pasti mengerti Vano.
“dan aku yakin ingin mengakhirinya…akhirnya aku berhasil meyakinkan mama bahwa dia tak sendiri, dan sudah saatnya dia lepas dari bayang-bayang pria kejam itu. Mungkin aku tak pantas di sebut anak setelah aku berulang-ulang memaksa ibuku menggugat cerai orang yang paling dicintainya tapi…mama juga tak menginginkan aku terus jadi korban akhirnya keputusan itu dibuat, aku menang. Besok persidangan itu digelar dan besok akan jadi awal yang indah bagi mama dan aku.” Aku tersenyum bahagia melihat ia tampak bahagia dengan ucapannya yang begitu tegas.
Hujanpun berhenti, kami harus pulang. Ia mengantarku sampai depan rumah. Inginku ungkap semua yang mengganjal dalam hatiku selama ini. Tapi lagi-lagi ku urungkan. Aku harus menghormati keputusannya dan tanggapannya tentang cinta. Aku faham, ia takan punya waktu untuk sekedar memikirkan cinta. Ibunya jauh lebih membutuhkannya dari pada aku, biarkan perhatiannya terpusat hanya untuk ibunya sampai ia merasa ia siap untuk memulai cinta itu mekipun bukan aku orang yang ia cintai kelak.
Tak kusangka, ternyata itu menjadi pertemuan terakhir kami. Setelah persidangan itu selesai dan kedua orang tuanya resmi bercerai Vano pergi entah kemana. Aku tahu maksudnya. Ia ingin membuang jauh-jauh kenangan buruknya disini, ia ingin menciptakan kenangan indah yang baru, memulainya dari nol tanpa bayang-bayang kekerasan lagi. dan ini akhir dari pengamatan cinta yang kulakukan terhadap Vano. Akupun menata hatiku, menata fikiranku dan membuat Vano menjadi kenangan indah meski tak sekalipun aku memilikinya. Aku bahagia mendengar ia telah lepas dari bebannya dan aku juga telah melepas rasa cintaku bersama kebahgiaan yang ia miliki saat ini. Menata kembali cinta masa depan yang akan ku songsong tanpa menyerah.

Selesai

Createdby: Evi Andriyani

Pantas di Cinta





Berjalan menyusuri jalan setapak menuju gedung resepsi. Pernikahan ini sangat melelahkan bagiku karena jantungku berdebar lebih cepat dari kedipan mataku. Tidak…ini bukan perasaan bahagia tapi perasaan sakit yang tida tara. Rasanya muncul banyak pori-pori di hatiku dan mulai membengkak mengikuti desahan nafas yang terasa akan terhenti. Betapa tidak, hari ini aku harus siap menyalami dan memberi selamat orang yang aku cintai menikah dengan wanita lain.

Flashback:
Kami berjalan menyusuri tepi pantai bergandengan tangan dengan eratnya, mengayun-ngayunkannya, tertawa melupakan beban. Tiba-tiba langkah Nanda terhenti, dia membalikan badanku dan memandangku serius.
“Chelsea aku…Aku cinta sama kamu…” aku tertawa, bahagia merasa akulah pemenangnya mendengar kata-kata itu. Tapi aku juga sadar setelah kata-kata manis itu pasti ada kata-kata lebih menyakitkan di baliknya. “Tapi aku gak bisa miliki kamu, aku gak bisa menjaga keabadian cinta kita.” Sambungnya. Aku terdiam, menyadari sekali bahwa hal ini akan terjadi padaku begitu saja. Aku berjinjit dan memeluknya. Ku tarik nafas berusaha tenang.
“Aku tahu ini akan terjadi, aku tahu hal ini akan terjadi pada hubungan kita. Aku bahagia meskipun aku hanya bisa memilikimu selama 2 bulan terakhir ini, aku bahagia meskipun aku hanya mencurimu dari dia sementara.” Jelasku. Ia melepas pelukanku.
“aku gak bisa mengakhirinya dan maafkan aku jika lagi-lagi kamu menjadi korban…”matanya berkaca-kaca.
“aku tak pernah menyalahkanmu karena ini adalah keinginanku…”jawabku pelan.
“Pernikahannya minggu depan…” dia menengadah menahan air matanya yang hampir menetes. “andai aku bisa lari sama kamu, melupakan semuanya…”ku hentikan semuanya dengan memeluknya kembali. Aku berusaha setenang mungkin meski hatiku hancur. Aku menyembunyikan air mataku dibalik dadanya yang bidang.
“Lari bersamamu bukan hal yang aku mau, memilikimu bukan ambisi terbesarku. Tapi dapat mencintaimu dan dapat melihatmu bahagia itu adalah ambisiku. Berhentiah bersikap seolah-olah kamu bisa mengatur waktu dengan telunjukmu. Hidup bahagialah dengannya dan hapuslah sisa-sisa cinta yang ada dihatimu untukku. Aku dan kamu bersalah selama ini, maka untuk menebusnya lupakan aku…tetap pandang aku sebagai teman masa kecilmu jangan pernah memandangku lagi sebagi seorang wanita yang kamu cintai. Luapkan seluruh cinta kamu buat aku hari ini sepuas kamu. Tapi saat esok tiba, hapus memori yang kita buat hari ini…” kata-kata itu keluar begitu saja dengan mudah tanpa dia tahu hatiku tersayat-sayat.
Dia mulai menangis, menangisi kata-kataku dan mungkin karena ia tak bisa berbuat banyak untukku.
“Andai aku kenal kamu lebih dulu Chels…” suaranya terdengar serak.
“itulah jodoh…Tuhan telah mengatur rapi semuanya…dan aku datang untuk mengotak-atik perasaanmu menjelang pernikahanmu…ini keterlaluan…aku menyadarinya, tapi aku juga menyadari seberapa besar cintaku untukmu…” desiran ombak terdengar seperti suara pedang yang siap mencincang hatiku menjadikannya rendang dan disantap monster-monster luar angkasa. Terdengar berlebihan memang tapi itulah yang aku rasa.

Keseimabangan langkahku mulai terganggu ketika tepat 100cm dari pandanganku Nanda tengah berdiri dengan wanita yang bernama Febi di pelaminan. Mereka tersenyum pada setiap tamu. Satu ketika mata kami bertemu dari jarak jauh. Matanya hanya mengisyaratkan penyesalan dan ketika ada tamu yang ingin bersalaman dengannya ia kembali lagi berpusat pada tamu dan mengabaikanku.
“kamu kenapa sih Chels?” Tanya Yoda temanku. “kamu pucet banget deh…” aku segera bangkit dan menutupi semua. Aku tahu dan menyadarinya bahwa aku terlihat aneh dan wajahku pucat seperti mayat. Kami berjalan, Yoda menuntunku karena aku memintanya. Aku mencoba menguatkan diriku dan melupakan semuanya. Tibalah aku di depan Nanda. Jantungku rasanya berhenti, tanganku terasa kaku untuk bersalaman dengan wanita itu. Tapi ku paksakan untuk memeluknya.
“se…selamt!!!”kataku. wanita itu tersenyum dengan lesung pipi yang indah. Kulepas pelukannya dan memandangnya jauh lebih lama. Dia sangat cantik, Nanda berhak mencintainya.
“teriamaksih ya sudah datang…”jawabnya. Aku mengangguk, aku melangkah menuju Nanda. Mata kami saling memandang. Air mataku jatuh tak tertahan lagi. tanganku gemetar dan ku terus memaksakannya hingga tangan kita menyatu. Nanda pun menjatuhkan air matanya.
“selamat…”kataku pelan. Tapi ia menarikku dan memelukku. Rasanya aku melayang dan semua berakhir gelap. Aku tak bisa lagi menahannya, tak bisa lagi membendungnya, terlalu sulit, terlalu sakit. Aku hanya tau aku berada dalam kegelapan yang tak diketahui siapapun dimana keberadaanku.
‘Jika cinta itu tak pantas untukku, maka jadikanlah cintaku ini kebahagiaan baginya dan berikanlah dia cinta yang pantas untuk bisa disebut cinta…’

Selesai

Createdby: Evi Andriyani

Selasa, 10 April 2012

Everlasting



“happy anniversary mywife…” Bisik laki-laki tua di hadapanku. Suami yang sudah hidup bersamaku selama 40 tahun. Rudolf… mencintaiku lebih dari mencintai dirinya sendiri. Semua terbukti, ia menunjukan itu semuanya selama ini. Aku tiba-tiba memejamkan mata dan air mataku terjatuh tiba-tiba. Ia mencium keningku mesra, rasanya masih sama seperti ciuman pertama kami. “ayo kita tiup lilinnya sebelum meleleh di kue dan kita takan bisa memakannya…” ledeknya. Aku tertawa dan kami meniupnya bersama-sama.
“Sayang, aku rasa ini berlebihan. Usia kita sudah hampir 65 tahun dan sudah cukup renta untuk merayakan hal seperti ini.” Dia menggenggam tanganku dan tersenyum.
“Aku merasa tak pernah tua selama bersamamu sayangku…” dia selalu bisa membuatku tersenyum. Setiap tahun selalu ada saja hal yang membuatku terharu diulang tahun pernikahan kami. Membooking Restoran, makanan yang istimewa dengan lilin-lilin di meja, berdansa layaknya remaja Eropa yang dimabuk asmara. 40 tahun rasanya waktu yang sangat cepat untuk merajut kasih dengannya. Dia adalah hidupku, hanya dia yang aku miliki. Tapi rasa sesak selalu menghampiriku setaip kali aku mengingat hal yang takan pernah bisa aku berikan padanya. Aku merasa tidak berguna, merasa tak pantas untuk dicintai oleh orang sesempurna Rudolf. Rudolf menyadari aku melamun.
“Aku yakin kau tengah memikirkan hal itu lagi Isabella…” cetusnya sambil menggenggam tanganku. “Sudahlah…kumohon! Ini sudah 40 tahun. Jangan pernah lagi menghakimi dirimu karena itu takan mengubah rasa cintaku padamu, sayangku!” kini ku cium punggung tangan suamiku.
“Aku tak pernah berhenti berterimakasih padamu dan aku takan pernah berhenti menyesalinya..” jawabku.
“oh…Bella aku sudah menjelaskan padamu berjuta kali…”sergahnya, “bahwa tak ada anak dalam kehidupan kita bukanlah hal besar. Hanya memilikimu saja itu sudah menjadi anugerah bagiku. kita sudah berusaha selama ini tapi Tuhan tak mengizinkannya. Maka aku terima. Asalkan kau dan aku tetap bersatu, itu cukup bagiku. asal bisa membuatmu bahagia itu bahagia untukku.” Jelasnya.
Setiap tahun memang inilah topic utama kami. Kami membahas kegagalanku melahirkan keturunan untuk Rudolf suamiku. Tentang seberapa keras kami mencoba dan ketika aku mengandung setelah 15 tahun pernikahan kami, janin itu harus gugur dan ditambah lagi dengan rahimku yang harus diangkat karena keguguran itu melukai rahimku. Tapi Rudolf tak pernah berhianat dan pergi, ia tetap disisiku, menjadi malaikat penjagaku yang siaga. Mungkin hidup kita sudah sempurna dengan sifat baik yang Rudolf punya, dengan harta yang kami miliki. Makannya Tuhan tak mengharuskan kita memiliki keturunan. Tapi sebenarnya jika Rudolf ingin ia bisa memilikinya dari wanita lain, namun tidak. Seberapa sering pun ia kusuruh mencari wanita lain ia tetap dengan pendiriannya serta menjaga janjinya agar tetap setia kepadaku bagaimanapun kondisiku.
“Maafkan aku sayang…seharusnya di usia kita ini kita bisa menggendong cucu…” aku menutup wajahku dengan kedua telapak tanganku. Ia menggeserkan tempat duduknya hingga kami bersebelahan. Ia memelukku erat.
“Aku sudah menegaskan sejak aku menikahimu bahwa apapun kondisimu, apapun yang akan terjadi dan sudah terjadi padamu, aku akan menerimanya. Karena itu adalah rasa cintaku padamu. Dengan atau tanpa anak di sisi kita…” aku melepas pelukannya dan menatapnya dalam.
“Kenapa rasa cinta itu tetap ada meski aku tak sempurna?” tanyaku.
“Karena kekuranganmu itulah aku jadi bisa melihat kelebihanmu…kau terlalu sempurna bagiku hingga aku tak berani menuntut lebih. Hanya cintamu yang aku butuhkan untuk menemani hari tuaku. Hanya kau yang aku tahu.” Aku memeluknya lebih erat, seolah menyampaikan rasa cintaku padanya.b “Bukankah kita tampak jauh romantic tanpa anak-anak yang mengganggu kita.” Candanya membuatku tetawa kembali.
Mungkin setiap orang sukses selalu berfikir tentang penerus yang akan mengelola harta mereka. Mempersiapkan anak laki-laki mereka menjadi seorang pemimpin, mempersiapkan anak perempuan mereka menikahi laki-laki mapan. Tapi aku dan suamiku berbeda. Kami memberikan sebagian pendapatan kami setiap bulan bagi orang yang membutuhkan dan tidak memusingkan kemana harta ini akan mengalir kelak seteh kami tiada. Karena pada dasarnya semua ini milik Tuhan, kami menikmatinya dan memanfaatkannya selagi itu positif.

Selesai

Created by: Evi Andriyani

Senin, 13 Februari 2012

Special’s day


“Rara…Rara…”Suara itu nyaring di telingaku, ditempat yang tak kukenali, indah dan sepi. Bunga-bunga bermekaran menebarkan wanginya, angin bertiup lembut di wajahku. Ku langkahkan kakiku di padang rumput yang hijau mengikuti arah suara itu berasal. Aku menemukannya ketika aku menoleh. Sosok lelaki yang aku kenal, lelaki yang amat sangat aku rindukan.
“Adam…” kataku pelan. Ia tersenyum manis. Penampilannya sangat berbeda, ia bercahaya, bajunya sangat indah, aku belum pernah melihat ada pakaian seindah itu untuk seorang pria. Dia amat sangat tampan.
“seneng bisa liat kamu lagi…kamu semakin cantik sekarang…”
Aku tersenyum, ingin menangis tapi rasa bahagia itu meurungkan niatku. Dia ada dihadapanku kini, apapun yang terjadi setelah ini yang jelas aku ingin menghabiskan waktuku dengannya.
“kamu juga…kamu sangat berbeda. Aku seneng bisa lihat kamu.”
“apa yang akan kita lakukan hari ini? Seharusnya kita bisa bersenang-senang hari ini.”katanya sambil menggenggam tanganku. “happy Valentine day!”
Aku tertawa geli. Dia tersenyum. “firstly, aku pengen jalan-jalan pake speda.”
“ok! Hari ini kamu Ratu di tempat ini.”
Kami berjalan pelan, tiba-tiba ada sepeda yang berstang dua, aku tersenyum. Adam duduk lebih dulu dan aku duduk di belakang.
“tempat ini indah sekali…kamu sering kemari?”Tanyaku.
“tentu saja, ini tempat favoritku.”jawabnya.
“apa rumah kamu di sini juga?” ia menoleh dan tersenyum.
“ayo kita gayuh spedanya!” kami mulai menggayuh speda itu, angin makin bertiup kearah kami, sungguh tempat itu indah, danau yang melingkar dan berair biru, angsa putih nan cantik berkeliaran kesana-kemari, burung-burung berkicauan dan terbang mengitari pulau bebas lepas, langit biru yang indah. Jalan setapak yang rapi yang kami susuri dengan pohon-pohon hijau yang rindang, daunnya berguguran, seperti pohon sakura tapi entahlah yang jelas daunnya berwarna merah muda. Setelah danau selesai kami lewati, kini ada sungai kecil dengan air yang jernih, sejuk dan tiba-tiba tercium wangi yang tak dapat di jelaskan. Aku tak pernah mencium bau itu tapi ini sangat menyenangkan.
“wangi apa ini Dam?”tanyaku.
“ini wangi air terjun…aku bawa kamu kesana ya!”
Air terjun? Setahuku air terjun tak berbau seperti ini bahkan tak berbau apapun. Tapi entahlah Adam bagai pemandu wisataku sekarang. Kami terus menyusuri tempat itu.
Tibalah kami di air terjun yang berbau itu. Dan memang benar baunya sangat nyata, segar, merubah suasana hatiku, sangat bahagia…aku turun dari speda dan berdiri tepat di depan air terjun itu.
“boleh aku turun untuk menyentuhnya?” tanyaku. Adam mengangguk dan ikut turun denganku.
Aku langkahkan kakiku perlahan, sejuk, damai dan tenang. Ku pejamkan mata dan perlahan menyentuhnya merasakan getaran dalam tubuhku ikut bangkit. Aku menyentuhnya, rasanya tubuhku sejuk seperti sejuknya air terjun yang aku senyuh. Adam menyipratkan air padaku, kami pun bermain air disana. Canda, tawa mengisi sunyinya tempat itu.
Setelah puas dengan bermain air, kami kembali menaiki sepeda. Menyusuri padang bunga mawar yang menghadap bukit-bukit yang berumput hijau. Kami duduk disebuah bangku berbentuk akar yang menghadap bukit.
“hari ini kamu senengkan?”Tanya Adam.
“seneng…seneng banget. Tapi kok di sini sepi banget ya Dam?” tanyaku.
“iya, ini tempat aku jadi orang lain gak boleh kesini, mereka punya tempat sendiri.”jawabnya.
“semuanya punya kamu?” aku tidak yakin dengan jawaban yang di berikan Adam. Ia mengangguk cepat. “aku boleh ikut tinggal disini?” dia menggeleng.
“belum waktunya.”
“tapi aku seneng disini. Disini ada Danau, bukit, air terjun, padang rumput, padang bunga…dan ada kamu.” Jelasku.
“akan ada saat yang tepat saat kamu bisa ikut tinggal disini.” Aku terdiam memandangnya yang tampan. Tiba-tiba air mataku menetes, rasanya kebahagian ini akan segera berakhir. Adam menggenggam tanganku dan memandangku.
“sejak aku bilang aku cinta sama kamu aku tidak akan pernah berubah. Sampai detik inipun aku selalu mencintai dan merindukan kamu sebagai istriku. Aku tahu setiap malam dan hari menjadi sangat sulit bagi kamu untuk sekedar memejamkan mata saat hendak tidur tapi mulai hari ini berjanjilah…jangan pernah menganggap semua ini sulit untuk kamu hadapi. Karena aku selalu hidup di hatimu…”dia mencium tanganku. “pulanglah…ada hal baru yang menantimu, hal yang menjadi kewajiban kamu, hal yang indah...”
Aku menggeleng. “aku pengen ikut kamu. Aku gak bisa tanpa kamu.”
“kamu bisa. Aku selalu di hatimu. Ini hari special untuk kita, happy Valentine my Wife…” ia mencium keningku. “terimakasih…”
Saat aku buka mata, dia lenyap, yang aku lihat hanya ada ibuku, dan kedua mertuaku. Badanku terasa ringan kini, aku menengok kekiri dan kekanan, banyak alat-alat kedokteran yang mengelilingiku. Aku ingat sekarang, aku baru saja melahirkan secara sesar.
“Alhamdulillah…akhirnya kamu bangun Ra…ibu sangat khawatir dengan keadaan kamu.”ibu menciumiku.
“Adam mana? Adam…”mereka menangis serentak. Ibu mertuaku memelukku dan berbisik.
“Adam sudah tenang nak dialam sana…”bisiknya. Aku mengangguk, aku tahu, aku sudah tahu dan sudah bisa menerima kalau Adam memang sudah tenang. Aku sudah berjanji pada Adam, meski aku baru sadar itu mimpi tapi bagiku itu adalah nyata. Adam benar-benar hadir memberiku semangat. 4 bulan lalu dia telah meninggalkanku dan cukup sulit bagiku mengandung selama 9 bulan tanpa sosok suami dan di kehamilan pertamaku. Tapi malam ini Adam telah membangkitkan semangatku kembali.
“anak kamu laki-laki nak…” ibu memperlihatkan putraku yang masih merah itu.
Ku raih bayi malang itu dan menciumnya. Ku tangisi ia dan membelainya. “anakku…anak kita Dam…puta kabanggaanku.”
“dia sudah papa adzani.” Kata mertua lelakiku. Aku tersenyum dan kembali fokus pada bayi mungil itu.
“Adam kamu terlahir kembali, ayahmu ada didirimu dan tidak akan meninggalkanku…”
Itu adalah kehidupan. lahir, mati adalah hal yang akan kita hadapi. Kematian suamiku dan kelahiran anakku itu sudah sangat mengajarkanku arti dari sebuah kehidupan. Sungguh Allah sangat adil, ia mengambil suamiku dan menggantinya dengan kelahiran anakku yang sehat. Ya Allah aku tahu ini yang terbaik bagiku, ini yang terbaik bagi suami dan anakku maka dengan ridhomu dengan keikhlasan yang ku miliki tetap jadikan aku orang sholelah yang bisa mendidik putraku dengan cara yang benar, tumbuhkanlah cinta disekeliling kami dan disekeliling anakku. Jadikanlah hari istimewa ini sebagai pelajaran bagi siapapun yang mengenalku…
happy Valentine day, cintailah cinta yang kau miliki…hargailah cinta yang kau miliki meski sekecil apapun itu, maknai setiap detiknya dengan ketulusan.

Selesai…


Created by: Evi Andriyani

Sabtu, 11 Februari 2012

A letter for mom…




“ini apa Nyonya?”Sarah mempertanyaakan sepucuk surat yang di berikan nyonya Karina. Wanita itu hanya tersenyum semabari menyeka air matanya. Di hari ke 3 kepergian Jonathan anaknya, nyonya Karina jauh terlihat lebih tegar. Ia tak lagi berteriak menyalahkan Sarah.
“bacalah…dan Terimakasih. Apapun yang terjadi dengan Jo, ini adalah yang terbaik.”
Sarah terdiam, ia pun duduk di halaman setelah Karina meninggalkannya untuk membaca surat itu.
Dear Mama…
Mama sehat? Aku mungkin gak lagi deket mama saat ini, tapi aku ingin selalu tau kalau mama baik-baik aja. Aku ingin berterimakasih karena mama telah menghadirkan aku didunia ini, berterimakasih karena mama telah memberiku nama Jonathan Putranto, karena dengan nama belakangku aku bisa tau ayahku siapa, terimakasih juga karena mama selalu memberikan yang terbaik bagi aku dan maaf…maaf karena aku pernah menjadi Jonathan nakal yang melukai hatimu.
Mama pernah Tanya soal Sarahkan? Sekarang aku akan jelaskan supaya mama gak marah dan nyalahin Sarah terus.
Nama dia Siti Sarah, aku kenal dia ketika aku gak sengaja serempet dia dan kaca mata minusnya kegiles mobilku. Aku kaget setengah mati pas aku sadar ternyata ada gadis yang tengah menangis dipinggir mobilku. “kamu gak papakan?”Tanya aku segera setelah membuka pintu mobil. Gadis yang awalnya belum aku kenal namanya itu hanya melirikku sekilas. Taukah kamu ma apa kesan pertamaku? Dia sangat cantik dengan jilbabnya dan pakaiannya yang memabluti tubuhnya. Saat aku sentuh punggungnya tiba-tiba di segera berdiri dan melepasnya.
“maaf bukan muhrim…” katanya, salahnya saat itu aku bahkan tak tahu apa itu muhrim. Kenapa? Karena mama gak pernah ajarin aku, karena bahkan aku gak pernah sekolah di tempat yang seharusnya ku pelajari sebagai seorang muslim. Aku hanya garuk-garuk kepala.
“tapi kamu gak papakan?”Tanya aku. Dia tak menatapku hanya menunjuk kaca matanya.
“kaca mata aku rusak. Tidakkah kamu tau itu sangat berharga bagiku? Kamu belum lulus sekolah mengemudi ya?” dia sekilas menatapku, tapi tak lama dia tampak kaget. “maaf…tapi hidung kamu berdarah…”
Aku tak merasakan mimisan itu keluar lagi dari hidungku saat itu, dengan malu ku segera mengambil tisu dan melapnya. “sorry, tadi aku agak pusing. Jadi gak konsen nyetir. Aku ganti kaca mata kamu ya…” ketiak ku jamah dompetku tiba-tiba ia memungut kaca matanya yang patah.
“gak usah terima kasih…hanya jangan menyetir jika sedang tidak enak badan. Wajah kamu tampang sangat pucat.” Jawabnya. “rumah saya di balik pohon ini, jika masih pusing mas bisa singgah sebentar…saya duluan.” Dia pun berlalu. Gadis dengan seragam SMA yang sangat lembut. Aku jarang sekali menemui gadis berseragam SMA yang tertutup dan lembut seperti itu ma. Dan taukah kamu apa yang aku ingin lakukan saat itu? Aku ingin mengikutinya…ingin sekali….
Aku mengikutinya, ia sadar aku ada dibelakangnya. Dan ketika sampai di sebuah rumah panggung yang sangat sederhana dia berbalik padaku. “tunggu sebentar ya!” dia naik keatas tak lama terdengar suara yang cukup jelas ku dengar.
“apa? Laki-laki? Sarah sekarang di rumah sedang tidak ada Abi, mana boleh kita biarkan masuk seorang laki-laki.” Tapi tak lama suara kembali tak terdengar. Hanya berberapa wanita keluar dari rumah itu. Seorang ibu yang berjilbab dan tiga orang gadis termasuk Sarah. Wanita itu tersenyum padaku. Wajahnya amatlah sejuk dan damai.
“assalamu’alaikum?” sekali lagi aku bingung, aku pernah mendengar kata-kata itu di sebuah film tapi aku lupa harus jawab apa. Aku hanya mengangguk dan tersenyum. “anak saya sudah cerita soal pertemuan kalian. Istirahatlah di atas! Aisyah tolong jemput bang Yusuf dan bang Ismail ya!” gadis yang tak begitu jauh umurnya dengan Sarah itu segera berlari.
“gak usah tante, biar saya pulang saja.”
“tidak papa, menyetir mobil dengan keadaan sakit justru berbahaya. Masuklah dan tunggu abang putrid-putri saya pulang.”jawabnya. “Sarah, Hajar, temenin umi masak…”
“iya umi…”mereka serentak menjawab. Dengan sangat tidak enak akhirnya ku putuskan untuk masuk. Aku kaget, aku tertegun dengan apa yang ada di dalam rumah itu. Tak ada kursi, hanya sebuah karpet tipis tergelar, tak ada televisi hanya tumpukan buku-buku yang kumel. Terlihat ada dua kamar. Aku bisa menduga mungkin satu kamar itu untuk putrid-putrinya dan satu kamar lagi untuk kedua orangtuanya. Tapi bagaimana dengan anak laki-laki mereka? Mengapa aku memiliki takdir untuk melihat ini semua di penghujung usiaku? Mungkinkah ada hal yang perlu aku sadari? Dalam batinku terus bertanya-tanya dan membandingkan. Begitu banyak kamar yang tidak terpakai di rumahku, begitu banyak kursi yang tak terduduki di setiap ruangan, begitu banyak televisi yang tak ternyalakan. Begitu lelahnya aku berfikir hinggga aku tertidur. Saat aku buka mata, dihadapanku mereka berdiri membelakangiku. Sarah bilang itu Sholat. Mereka tengah Shalat maghrib berjamaah. Aku juga sempat melihat itu di sebuah film, rasanya menyenangkan melihat itu meski aku tak pernah melakukannya. Setelah selesai mereka saling berjabat tangan dan mereka berbalik kearahku sambil tersenyum.
Dua abang Sarah dan abinya mendekat.
“adik sudah bangun?” Tanya Abi. Aku tersenyum.
“maaf sudah merepotkan.” Jawabku.
“umi, ambilkan teh manis!”seru abi.
“biar Mail aja mi gak papa.” Ismail kakak kandung Sarah segera mengambilkan teh. Sarah memiliki 5 saudara. Laki-laki yang bernama Yusuf adalah kakak angkat Sarah. Sebelum orang tua Sarah dikaruniain anak mereka mengadopsi bang Yusuf. Laki-laki itu berusia 25 tahun, sedangkan Ismail adalah anak kandung pertama. Ia berusia 20 tahun, Sarah anak yang dilahirkan setalah bang Ismail usianya baru 18 tahun, dan adik-adik sarah yang kembar, Siti Hajar dan Siti Aisyah. Ruamh itu begitu bermanfaat karena setiap sudut berfungsi dengan benar dan keluarga itu amat sangat hangat berbeda denganku.
Malam itu malam yang amat bersejarah bagiku, selain aku mendapat pelajaran aku juga dapat info kuliner yang luar biasa ma. Taukah kamu apa itu? Ubi rebus, masaknya cuman direbus aja pake garam tapi nikmatnya luar biasa. Mereka yang keterbatasan, hanya makan malam ubi rebus ma. Kata Aisyah mereka hanya makan 2 kali sehari pagi dan siang. Ketika malam cukup ubi. Tapi rasanya sangat kenyang dan nikmat. Aku baru kali ini merasakan kenikamatan ubi karena sebelumnya mama tak pernah perkenalkan aku pada ubi.
Sejak saat itu aku mulai dekat dengan kedua kakak Sarah dan Sarah tentu saja. Hubungan kami cukup menarik sebagai teman. Ismail sebaya denganku kita jauh lebih dekat. Sampai aku hamper setiap hari berkunjung dan membawa makanan. Aku fikir mereka senang dengan pemberianku tapi pada akhirnya Abi menegurku. Ia bilang jika ingin kemari, maka kemarilah jangan sampai membawa hal-hal yang mahal karena kami akan selalu menerima.
Suatu hari karena aku amat sangat penasaran dengan kegiatan-kegiatan yang mereka lakukan aku bertanya pada Ismail yang tengah bekerja di sebuah glosir dan aku membantunya.
“Sholat itu hal yang wajib dilakukan bagi agama kamu ya?”tanyaku.
“iya donk…dengan sholat kita bisa berkomunikasi dengan Allah.”jawabnya sambil tersenyum.
“ngaji juga? Itu harus setiap hari?”
“iya, bukannya kalau kita sudah di kasih nikmat kita harus berterimakasih?”Tanya dia balik. Aku tersenyum sambil mengangguk.
“ngomong-ngomong Sarah udah punya pacar? Aku suka sama dia…”cetusku. Ismail menoleh dan memegang pundakku.
“dia tidak mempunyai pacar dan tidak akan punya pacar.”jawabnya.
“loh ko gitu?”
“iya, karena adik-adik ku hanya punya suami nantinya. Dalam islam kita gak mengenal pacaran tapi ta’aruf lalu menikah.”jelasnya. segera ku ambil KTP di dompetku.
“kenapa?” Ismail bingung, aku ingin ia membaca KTPku.
“di KTP aku, aku Islam. Berarti aku juga harus mempelajari apa yang kamu lakukan selama ini. Bisa kah kamu atau Sarah mengajariku?”tanyaku. Ismail tersenyum dan mengangguk.
Sejak saat itu, aku mengenal Allah, mengenal Shalat fardu 5 waktu, shalat-shalat sunat, belajar ngaji pada Sarah, dan hal lain yang tak pernah aku pelajari sebelumnya. Hingga aku lupa dengan jadwal kemoterapiku. Mama beberapa kali menegurku karena dr. Hari tak melihatku datang untuk melakukan pengobatan, karena aku juga tak lagi muncul kekampus. Aku tak pasrah, aku juga tak menyerah hanya saat itu yang ada didalam fikiranku aku ingin beribadah kepada Allah dan melakukan pengobatan dengan caraku.
Awalnya mereka tak tahu tentang penyakitku tapi suatu ketika saat mama berkunjung kerumah keluarga Sarah tanpa sepengetahuanku dari situlah awal mereka tau.
“ngapain kak Jo kesini lagi?”bentak Aisyah yang membukakan pintu.
“aku mau ketemu Abi, Umi, bang Yusuf, Mail, Sarah sama kamu dan Hajar.”jawabku santai.
“sebaiknya kak Jo gak usah datang lagi kerumah. Itu menimbulakn fitnah.”jawabnya.
“loh kenapa?”
Tak lama Ismail keluar dengan tatapan lemas. “tadi ibu kamu ke rumah. Katanya kamu gak pulang selama 1 minggu. Dia nyari-nyari kamu kemari dan ngacak-ngacak rumah dengan beberapa preman. Umi lagi sakit karena shock sebaiknya kamu pulang Jo, jangan buat ibumu hawatir.”
Mungkin aku yang salah karena benar aku meninggalkan rumah setelah ramuan yang di berikan ustadz Soleh padaku mama buang, karena mama juga meremehkan Sholatku. Tapi aku tak pernah berfikir ini semua akan menyulitkan keluarga Sarah. Saat itu dengan segala kehilafanku, aku membentakmu. Aku juga baru sadar membentakmu adalah kesalahan terbesarku.
Sejak saat itu aku tak lagi kerumah Sarah, aku hanya diam di sebuah masjid yang disitu juga tinggal Ust Soleh. Sarah tau keberadaanku disana. Sesekali dia mengunjungiku.
“kenapa Sarah selalu datang?”tanyaku.
“Aku hanya tak ingin menyalahkan kamu tapi aku tak bisa berbuat lebih.”jawabnya. ia terlihatt menghawatirkanku, ia dan keluarganya belum tahu tapi aku juga tak bisa membohongi diriku kalau di matanya ia menyukaiku. “jangan menyimpan dendam pada Ibu yang melahirkanmu, karena dengan Ridhonya surga akan ada untukmu. Pulanglah…bersimpuh di kaki ibu dan mintalah ampun. Hal yang di perbuat olehnya pada keluarga kami hanyalah rasa khawatir yang berlebihan tapi karena itu dia sayang padamu.” Kata-kata itulah yang membuat aku ingin pulang ma. Dan akhirnya ku putuskan untuk membeli sesuatu untukmu sesuatu yang akan selalu kamu pakai dan membawa berkah untukmu hingga kamu mengenangku sebagai anak yang shaleh dan taat padamu.
Maafkan aku ma, jika sesuatu terjadi padaku, jika Allah menginginkan aku kemabli padanya, maka sebagai sesama muslim lakukanlah kewajibanmu sebagi orang yang mampu. Berbagilah, berbagilah kebaghiaan dengan orang yang membutuhkan.

Love
Jonathan Putranto

Sarah menangis tersedu, Karina menghampiri dengan mukena yang diberikan Jo, ketika ia hendak pergi.
“Ust Soleh bilang Mukena ini sudah di persiapkan Jo sebelum dia mau pulang.” Karina menangis. “tapi ust Soleh juga bilang, sebelum dia pulang dia mau sholat Isya dulu tapi pas sujud terakhir tiba-tiba Jo pergi dan gak bisa bangun lagi.” Sarah memeluk Karina dan membelainya.
“insyaallah, berkat ridho nyonya, berkat ketulusannya beribadah pada Allah semua itu akan membawa Jo ketempat yang sangat indah tanpa ada rasa sakit ditubuhnya. Nyonya lihat sendiri cara Allah mengambilnya. Orang shaleh seperti Jo diambil dengan mudah tanpa sulit.” Jelas Sarah.
“terimakasih…kamu manyadarkan Jo juga aku bahwa perbedaan itu adalah hal yang indah, perbedaan ada karena kita harus saling melengkapi.” Karina memeluk Sarah dan menciumnya.

selesai

Kamis, 09 Februari 2012

Cowok Datarrr…




“aku mau kita putus!”Diana dengan tegas menyatakan kalimat putus pada Gio.
“kenapa?”Tanya Gio tanpa ekspresi kaget.
“karena kamu adalah cowok terangkuh yang baru aku kenal. Aku muak dengan sifat kamu yang datarnya minta ampun!” cetusnya. Gio pun kali ini tampak kaget.
“jadi kamu mutusin aku karena hal ini?” Gio mulai menatap mata Diana.
“iya. Kamu fikir siapa kamu bisa giniin aku? Tiap aku ada masalah kamu ekspresinya lempeng-lempeng aja, tiap kita berantem ekspresi kamu tetep gitu, tiap kamu salah gak pernah mau minta maaf, aku terus yang ngalah. Kamu fikir dunia cumin milik kamu aja. Kamu tuh seenaknya banget ya hidup. Aku gak bisa gini terus, aku gak bisa jadi pacar PATUNG kaya kamu.” Diana berteriak sambil menangis. Anak-anak di kantin kampus seketika memandang mereka dan berbisik-bisik. Meski Gio gondok abis tapi ia masih tampak cool dengan memangku tangan dan melirik sana-sini. “kenapa kamu malu? Gengsi? Gondok? Selain datar kamu juga bernyali cacing.”
Setelah puas Diana menyiram Gio dengan segelas jus yang sudah ia minum setengahnya ketika menunggu Gio yang telat setengah jam. “aaaaaaaaaa…”
Gio terengah-engah sambil berjerit, ia baru sadar kalau itu semua ternyata mimpi. Ibunya menyiram Gio dengan seember air karena sudah setengah jam Gio susah dibangunkan. “Ibu…aku kaget tau.” Sambil ngebenerin rambutnya.
“masih aja inget benerin rambut. Liat ini udah jam berapa? Bukannya hari ini ada jadwal UAS.”bentak ibu.
“oh iya…” segera Gio berdiri dan lari ke toilet untuk segedar cuci muka. Prinsipnya ‘Biarin dah gua gak mandi, yang penting nih jambul tetep ok!’ setelah siap-siap tanpa inget sarapan ia tanjab gas mobil metik yang lumayan asik. Sepanjang jalan yang ada diotak Gio cuman mimpi buruk yang udah dia alami, buku desain grafis yang udah dia baca sampe mentok semalam suntuk tak ada yang nyangkut satupun di otaknya.
Setibanya di kampus…
Mimpi buruk itu ternyata jadi pertanda buruk juga di pagi yang cerah itu. Baru saja datang dan parkir ia udah nabrak grobak sampah sampe mobilnya agak lecet dan jadi kotor. Belum selese ia menghela nafas panjang karena sebel tiba-tiba petugas kebersihan maen ngomel-ngomel aja.
“kamu tuh gimana sih…saya dari jam 5 subuh loh bersihin ini semua.”bentak laki-laki tua dengan seragam kebersihan berwarna hijau yang sudah lusuh.
Gio terperangah antara kesal tapi tak berani membentak, kasihan tapi juga sangat kesal. Ia menggaruk-garuk kepalanya. “tapi mobil saya lecet dan kotor pa…”jawabnya.
“pinggang saya sudah sangat cape bersihin seluruh halaman kampus jadi bisa tolong bantu saya masukin sampah yang kamu tabrak ke grobak ini? Masalah mobil ya kamu cuci saja siapa suruh maen tabrak grobak orang…” kata pria tua itu sambil pergi.
Akhirnya dengan sangat terpaksa ia membersihkan sampah itu bukan karena ia merasa bersalah tapi sungguh ia merasa iba dengan kakek-kakek itu. Setelah itu Gio ke toilet untuk membersihkan tangannya dan bergegas segera ke kelasnya untuk melaksanakan UASnya. Belum saja sampai di kelas ia mendapati 2 temannya di depan kelas. Nista dan Ario.
“kenapa lo gak masuk?” Tanya Gio segera.
“menurut lo kenapa?”Nista balik nanya dengan nada cules.
“intinya aturan pak Nurdin masih sangat berlaku Brow…!” Ario berdiri dan memperagakan ketika pak Nurdin dosen Desain grafis berbicara. “di ujian saya dilarang keras para mahasiswa terlambat meski hanya 5 menit.” Gio menepak kepalanya.
“sialkan kita hari ini…” Nista nyender ke Ario.
“Kita? Kalian yang sial…gak ada kata sial dalam kamus gue.”Gio nyelonong ke kelas. Gio memang terlalu percaya diri, dan selalu percaya kalau dia adalah cowok terberuntung di dunia ini. Ketika masuk tak ada reaksi apapun dari pak Nurdin, ia malah tersenyum pada Gio. ‘tuhkan gua bilang apa…Gio is lucky boy!’ dengan pedenya dia berkata begitu dalam hati.
Gio pun duduk di samping Lestary kakak dari kekasihnya Diana. “mau ngapain lo masuk Gy?”Tanya Lestary.
“ujian...”jawab Gio singkat.
“examination is over brother!”seru Lestary. Hahhhhhhhhhhh...hati Gio berteriak kaget tapi tidak dengan ekspresi wajahnya yang datar-datar aja.
“oh…ya udah gua balik duluan!” jawabnya. Lestary menggeleng, lantas ia mengikuti Gio keluar.
“lo gak kecewa?”Tanya Lestary cukup penasaran.
“biasa aja.” Jawabnya.
Ketika keluar, Nista dan Ario tertawa melihat Gio tapi Gio selalu sok tenang dan cuek-cuek aja. Seketika ia berlalu bersama Lestary melewati kedua temannya yang tengah asik menertawakannya.
“kenapa mereka?”
“Tanya aja sendiri!” Gio memasang earphone di telinganya. Lestary menghela nafas panjang melihat tingkah sahabatnya itu.
“Diana hari ini pergi ke Newyork.” Untuk pertama kali ekspresi wajah Gio tampak kaget dan segera melepa earponenya. Ia selalu teringat mimpi semalam.
“ngapain?” setelah ia menyadari Lestary tersenyum melihat ekspresinya ia kembali menjadi Gio yang lempeng.
“nemuin bokaplah…lo juga tau kan orang tua kita udah pisah. Gue rasa Diana bakalan tinggal disana.” Jelas Lestary.
“dia gak pernah bilang apa-apaan sama gua.”
“apa ada bedanya kalau dia bilang? Bukannya lo bakalan tetep lempeng kaya gini. Gue yang larang dia ngasih tau lu…biarin aja dia tenang.”jelas Lestary.
Gio tak berbicara, meski ia berusaha menutupinya tapi wajahnya tampak sangat kecewa. Ia mulai berfikir bagaimana seharusnya ia lakukan? ‘Mau nanya kapan berangkat GENGSi, mau nanya kenapa dia bisa berani nganbil keputusan tinggal di NY tanpa bilang apa-apa kle gue? GENGSI juga...’
“gua duluan ya!” tapi tiba-tiba tangan Gio menarik tangan Lestary.
“kapan dia berangkat?”
“buat apa lo tau?” bentak Lestary.
“gua cowoknya…gua berhak tau kemana dia pergikan?” Gio balik membentak Lestary.
“keputusan ini bukan cuman gua yang buat tapi Diana juga pengen lo gak usah tau. Gy dia bakalan baik-baik aja ko di Newyork…! Lo lupain aja dia!” Lestary melepas jeratan tangan Gio.
“jangan pecanda ya Ry!”bentak Gio keras. “gua gak bisa tenang sekarang!”
“gua kakaknya Diana, gua berhak nentuin siapa yang boleh deket sama adek gua! Lo bukan cowok yang baik buat dia. Lo bahkan gak bisa hapus air mata dia saat dia nangis, lo gak bisa nemenin dia pas dia ada masalah. Lo bukan sayang sama Diana tapi lo cuman butuh adek gua saat lo pengen. Hubungan apa kaya gitu.” Lestarypun pergi.
Gio menjadi panik, dia sangat mencintai Diana, hanya sulit baginya untuk menunjukan seberapa besar cintanya itu. Segera Gio menyambangi mobilnya tapi apa mau dikata, mobil kesayangannya itu mogok. Tanpa fikir panjang ia segera mencari taksi dan terus menghubungi Diana tapi takk juga di angkat.
Gio segera memutuskan untuk pergi ke Bogor ke rumah Diana karena ia merasa tidak yakin jika harus langsung menyusul Diana kebandara. Sepajang perjalanan Bandung-Bogor ia dibayang-bayangi rasa khwatir, takut, kesal, gondok.
Ketika menuju kompleks perumahan Diana, ia melihat toko bunga. Kalu di fikir-fikir sekalipun ia tak pernah mengirim Diana bunga atau sekedar mengutarakan isi hatinya selama 1 tahun mereka berpacaran. Gio segera turun dari taksi dan membeli sebingkai mawar merah yang sangat segar. Ia memutuskan untuk berlari tanpa menggunakan taksi setelah membeli bunga itu. Benar saja, rasanya ia melakukan hal bodoh yang tak pernah ia fikirkan selama ini, lari-larian bawa bunga menuju rumah cewek. Malam semakin larut, suasana rumah Diana memang cukup sepi.
Ting tong…dengan terengah-engah Gio memijat bell. Tak lama sosok gadis mungil membuka pintu.
“Gio?”ia heran melihat Gio terengah-engah dihadapannya. Gio segera memeluk Diana. Diana terdiam tak mengerti. “ngapain malem-malem ke sini?”Tanya dia sambil melepaskan pelukan Gio. “mobil kamu mana?”
Mata Gio sangat serius dan ekspresif ia sangat terlihat sedih. “kenapa kamu gak bilang semua rencana ini ke aku? Kenapa kamu seenaknya gitu? Aku tau aku bukan cowok romantic, aku bukan cowok yang bisa dengan mudah ungkapin perasaan aku. Tapi harusnya kamu ngerti dan faham tanpa aku ungkappun. Die, aku sayang sama kamu, aku cinta sama kamu, aku gak mau kamu pergi dan ninggalin aku sendiri.” Diana mangap, ia tak bisa bernafas rasanya, melihat kekasihnya yang sangat serius.
“kamu gak sakitkan?” Diana sedikit senyum.
“sakit? Maksud kamu apa? Tary bilang kamu mau ke Newyork kan?” Gio masih terengah-engah. Diana tertawa terbahak-bahak.
“Lestary? Aku emang mau ke newyork, tapi nanti kalo Lestary udah nyelesein UASnya. Aku juga bakal ajak kamu biar kita liburan bareng. Tapi aku belom bilang soalnya aku mau bikin supprise sama kamu.”jelas Diana. Gio menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya yang masih menggenggam bunga. “ini bunga buat aku ya?” Diana girang. Gio tampak salting dan menyembunyikan bunga di belakang punggungnya. Namun Diana tetap mengambilnya sambil tertawa-tawa.
“kakak kamu tuh ya perlu dikasih pelajaran.”
“kamu aja yang oon. Tapi kalo aku mau ninggalin kamu ko kamu baru bisa romantis gini? Apa aku tinggalin aja ya???” Gio kembali memeluk Diana.
“apapun yang terjadi sama aku hari ini aku harap ini semua gak akan pernah mempengaruhi hubungan kita, meski aku gak bisa banyak mengumbar kata cinta tapi harus kamu tahu, di hati aku gak akan pernah berubah. Hanya ada kamu…kamu…kamu!”
“ihhhh…aneh deh dengernya!” Diana tertawa dan kali ini mimpi itu benar-benar mengajarkan Gio bagaimana mengahargai seseorang dengan ucapan tidak hanya dengan tingkah laku dan tidak mengungkapkannya. Gio berusaha memperbaikinya dengan melakukan apa yang bisa ia lakuakn.

Selesai…
Createdby: Evi Andriyani

Minggu, 05 Februari 2012

Senyuman....



“Rackaaa...”teriakkanku yang histeris membuat para pelayad di makam itu menoleh kearahku yang baru saja datang. Air mataku tumpah ruah. Aku berlari menuju pemakaman itu. Tanahnya masih sangat basah saat ku sentuh karena baru saja beberapa menit yang lalu kuburan itu tertutup oleh tanah. Gerimis hujan dan mendungnya awan seolah mewakili kesedihanku. Penyesalan yang teramat dalam sungguh ku rasakan setelah dia pergi. Racka Ramadhan, adik tiriku. Anak berusia 17 tahun yang mengajariku arti sebuah senyuman.
Aku Leandra, wanita keras dan sangat jutek setidaknya itulah penilaian orang tentang aku. Aku seorang pengacara, usia ku sudah 27 tahun. Sejak kecil aku hidup dalam keadaan broken home. Ayahku Bramana Santoro sering sekali menikah siri. Bisnis yang melaju pesat merubah ayahku jadi seorang pria yang serakah dan kasar. Ia bahkan berani menikahi beberapa wanita dan berterus terang pada ibuku. Meski ibu satu-satunya istri syah dari ayah tapi sikap ayah tak sedikitpun memperlihatkan rasa kasih dan sayangnya pada ibuku yang telah menemaninya saat susah maupun senang. Sampai ibuku meninggal karna sakit hati yang tak berujung yang selalu di alaminya. Bertahun-tahun aku hidup dalam kebencian terhadap ayahku dan para istri-istri sirinya. Hingga usiaku yang ke 27 tahun pun ayah tak peduli padaku, bahkan untuk sekedar mencarikan ku seorang jodoh seperti yang di lakukan para ayah pada umumnya. apalagi di usiaku yang sudah matang ini, tak ada sedikitpun kekhawatirannya untukku . dia hanya memikirkan dirinya sendiri. Setiap malam saat aku pulang kerja, aku hanya bisa menangis sendiri di sudut kamarku merenungi nasibku ini. Tak pernah ada senyum di setiap hariku yang kelam ini. Bahkan aku lupa kapan terakhir aku tersenyum.
2 minggu yang lalu...
Hari dimana aku mengenal sosok Racka...
“akhirnya kamu keluar kamar juga...”kata ayah sambil menoleh kearahku yang baru membuka pintu kamar. Aku melihat dua orang asing berada di meja makan dengan ayah, ayah melambaikan tangan ingin aku menghampirinya. Lantas ku hampiri mereka. Dua orang itu berdiri, dan tersenyum padaku. “perkenalkan ini, Lestary istri syah ayah dan Racka anaknya...” perkataan itu sontak membuatku terkejut bukan main. Bukannya hanya ibulah istri syah ayah, meski ibu sudah meninggal tapi bisa semudah itukah ayah menggantikan posisi ibu??? Rasanya tenggorokanku tercekik karena menahan tangis. Kenapa tak sedikitpun ayah menghargaiku sebagai putri kandung satu-satunya peninggalan ibu. Aku berusaha melawan rasa sakit hatiku sehingga kadang-kadang membuat lidahku mati rasa.
“selamat pagi, kamu Lea kan? Kamu cantik sekali.”sapanya dengan senyuman hangat. Tapi rasanya tak ingin aku membalas senyuman yang mungkin palsu itu.
“akhirnya Racka punya kakak yang cantik juga...kak Lea mau berangkat keja ya? Racka pengen loh jadi pengacara...”tambah anak yang sok akarab itu. Namun tak ku gubris mereka aku hanya menatap sinis ayahku.
“aku ada kerjaan...aku sarapan di kantor aja!”kataku sambil membalikan badan dan meninggalkan mereka tanpa salam.
“Lea...!”seru ayah.
“gak papa kok mas, lagian Lea mungkin masih merasa kaget.”jawab wanita itu. Tak lama Racka mengejarku dengan sekotak tempat makanan.
“ini roti panggang buatan mama aku. Enak loh ka, sebaiknya kalau bekerja sarapan dulu!”katanya sambil mengembangkan senyum yang menjijikkan itu.
“gak usah terimakasih...”jawabku singkat sambil masuk ke mobil tapi dia ikut memasukan kotak itu lewat jendela mobil. “jangan lupa di makan ya kak!!!”dia kembali kedalam sambil tertawa.
“sok kenal banget sih...”
***
Malam pun tiba....
Hal yang paling aku benci dimana aku harus pulang untuk menemui ayahku dan sekarang dengan dua orang penghuni baru. Ketika sampai di depan pintu saja rasanya sudah sangat menyebalkan. Terdengar canda tawa dari dalam ruangan. Aku pun masuk, tak pernah ayah memperlakukan aku dan ibuku seperti itu. Bahkan ia tampak bahagia berbincang dengan Racka yang penuh humor.
“eh...kak Lea pulang...sini kak, ngobrol bareng kita papa lagi cerita soal masa SMA...!!!”Racka melambaikan tangan. Ayah tampak canggung mendengar Racka memanggilnya papa di depanku. Aku hanya menghela nafas dan memalingkan wajah dan pergi kedapur untuk sekedar minum air putih sepuasku untuk menghilangkan setres. Ku leguk satu botol air mineral yang ku ambil di dalam coolkas. Anak itu tiba-tiba ada lagi di hadapanku.
“mau aku pijit gak?”dia sungguh mengagetkanku. Lagi-lagi dengan senyumnya itu.
“ gak usah makasih.”jawabku.
“hmmm...mau coklat?”dia mengasongkanku sebuah coklat. Tapi aku melewati dia dan berjalan menjauh, tapi dia terus mengikutiku dan menyamakan langkah denganku. “coklat itu bisa bikin orang seneng loh!!!”aku pun menghentikan langkahku dan berbalik ke arahnya.
“kamu tahu apa yang bisa bikin saya seneng? itu saat di mana saya dan ibu saya adalah satu-satunya untuk ayah saya. Bukan coklat atau senyum kamu yang menjijikkan itu, ngerti kamu!!!”dia mengangguk dan segera melempar coklat itu ke tong sampah.
“aku hanya ingin liat kak Lea tersenyum...! senyum itu menyenangkan loh ka!”jawabnya. tapi aku tak tertarik untuk menggubrisnya, aku pun segera kekamarku.
***
Hari berganti begitu cepat sudah seminggu aku satu atap dengan mereka dan melihat senyum mereka yang membuatku jijik. Hari itu pertama kali aku sarapan dengan ibu dan adik tiriku. Suapan demi suapan terpaksaku masukan ke mulutku meski ingin sekali ku muntahkan di hadapannya. Sangat terlihat ibu tiriku itu berusaha berbuat baik padaku.
“enak gak masakannya? Mama berusaha cari tahu makanan kesukaan kamu dari bibi. Mama harap kamu suka.”cetusnya.
“sudah pasti enak donk mah...”ayah menjawabkannya untukku.”betulkan Lea?”
“rasanya agak hambar.”kataku sambil meminum air putih yang ada di hadapanku. Semuanya menatap kearahku.”kenapa? memang hambar kok...nanti biar tante bisa lebih enak lagi masaknya seperti ibu aku.”
“ehmmm...”Racka ikut minum air putih. “emang agak hambar mah, besok masak ini lagi aja bikin yang lebih enak.”
“gak usah aku udah gak selera.”kataku smabil memasuki kamar di hari minggu itu.
Tak lama berselang setelah sarapan...ada kegaduhan di ruang tamu, seperti ada yang di bongkar, aku pun keluar dan memastikan apa yang terjadi. Saat aku tiba, ibu tiriku sedang menunjuk-nunjuk ayah untuk memasang lukisan baru dan lukisan yang lama di gletakan begitu saja di lantai.
“apa-apaan ini?”bentakku.
“eh...Lea, ini mama nyuruh papa kamu ganti lukisan yang lama, karena sepertinya memang sudah lusuh dan tua sekali. Kebetulan kemarin mama liat lukisan bagus jadi kita ganti.”jawabnya.
“gak bisa. Apa hak anda menggeser lukisan itu dengan yang baru.”bentakku lagi.
“saya hanya merasa itu sudah tua.”jawabnya.
“Lukisan itu belum setua usia anda. Jaga mulut anda! Sampai matipun lukisan ibu saya harus tetap di sana!”wanita itu terdiam sambil memegangi dadanya dan berlari kekamar, ia menangis. Ayah pun turun dan menamaprku, mendengar ribut-ribut Racka segera menghampiri kami.
“yang harusnya jaga mulut itu kamu Leandra!”teriaknya. “usia kamu sudah dewasa tapi sampai kapan kamu bersikap kekanak-kanakan seperti ini.”
“ayah nampar aku? Ini pertama kalinya ayah nampar aku. Setiap kali ayah menikah siri apa aku penah menentang ayah? Bahkan setiap kali ayah menyakiti ibu aku hanya bisa diam. Tapi kali ini ayah keterlaluan. Ayah bisa dengan mudah melupakan sosok orang yang sudah menemani ayah susah maupun senang. Semudah itu ayah bawa dia kemari dan mengganti lukisan ini. Dimana perasaan ayah? Dimana rasa kasih sayang ayah buat ibu...buat aku?”teriakku. ayah pun meninggalkan aku dan masuk kekamarnya. Racka tiba-tiba memelukku dan membelai-belai punggungku. Ia sangat memahami sekali saat itu yang aku butuhkan adalah orang yang menenangkan aku. Aku dengan segera melepasnya.
“apa-apaan kamu!!! Gak usah sok baik sama saya!”bentakku. Racka tersenyum, dia pun melap air mataku dengan tisu. “kamu tuh cuman bisa senyum yah!!! Aku benci sama senyum kamu itu!”
“kenapa? Senyum itukan ibadah? Apalagi senyum yang bisa angajak orang ikut senyum. Kakak pasti cantik deh kalau senyum! Ikut aku yuk!!!”sambil menggenggam tanganku dan menarik aku ke halaman depan. Kami duduk berdua di ayunan.
Beberapa menit berlalu, kami hanya diam di ayunan itu memandangi ikan-ikan di kolam yang lalu lalang.
“aku juga dulu gitu. Papa aku tuakang nikah, dia sangat kasar sama mama, sama aku juga. Aku pernah di lempar pas bunga.”dia memperlihatkan luka di balik telinganya. “sakit banget, bahkan sampe sekarang aku masih suka pusing-pusing gitu kak. Tapi bagi aku sekasar-kasarnya dia pada aku dan mama tak akan pernah merubah kodratku sebagai seorang anak baginya. Aku hanya bisa menghadapi semuanya dengan senyuman. Saat mama sedih aku juga hanya bisa hibur dia dengan senyuman dan menghapuskan air matanya. Hingga mereka pun bercerai dan mama mengenal ayahnya kak Lea, mama menjadi sangant senang dan kembali bersemangat. Jadi tersenyumlah, anggap semua baik-baik saja. Karena saat kita tersenyum kita seolah menemukan energi positif dan beban kakak akan berkurang. Setidaknya ketika senyum kita membuat orang lain senang kita juga dapat pahala.”dia tersenyum manis seolah ada magnet yang menarikku untuk tersenyum juga tapi ku tahan. Hatiku rasanya sedikit tenang. Tak ada yang menasehatiku selama ini. Aku tak punya banyak teman. Karena bagi mereka aku hanyalah wanita yang keras dan tak bisa di ajak ngobrol. Bahkan untuk sekedar menyapaku mereka berfikir beribu-ribu kali. Tak ada yang memperhatikanku bahakan hanya sekedar memelukku saat aku sedih. Kenapa harus adik tiriku yang memberi perhatian seperti ini.
Setiap hari aku selalu melihat senyum cerianya hingga terkadang aku tak bisa menahannya dan ikut tersenyum. Dia selalu memujiiku saat aku tersenyum, bahkan aku tak ragu lagi menjawab sapaannya yang terkadang menggelitik.
“kakak mau kemana?”dia mencegatku saat dia melihat aku memasukan koper ke dalam bagasi mobilku.
“aku ada kerjaan di Malang.”jawabku.
“emh...tadinya hari ini aku mau ajak kakak maen.”jawabnya. aku tersenyum meski sedikit-sedikit.
“mmmm...gimana kalau aku anter?”tanya dia.
“emang kamu bisa mobil?”tanyaku.
“bisalah...”jawabnya.”itumah kecil. Kakak udah pamit sama ayah?”tanaya dia. Aku menggeleng. “pamit dulu donk kak, biar selamat...!”
“gak usah...ya uadah ayo masuk!”kami pun masuk. Sepanjang perjalan menuju bandara rasanya terasa singkat, dia selalu mengeluarkan lelucon yang menggelitikku. Tawaku mulai lepas dia tampak sangat sanang meliahat aku tertawa lepas.
“kakak cantik banget kalau ketawanya lepas gitu.”katanya. aku merasa malu ketika Racka mengatakan itu. Aku rasanya punya semangat baru aku dapat suntikan semangat dari Racka. kami pun tiba di bandara. Racka terus menuntunku, entah mengapa aku tak ingin pergi dan melepas tangan Racka. Racka mulai dekat denganku beberapa hari ini, bahkan dia mulai tak canggung lagi menggandengku seperti kakaknya sendiri. Saat aku hendak masuk dia menarik tanganku.
“hati-hati ya kak!!! Kalau kakak pulang nanti, kakak harus baikkan ya sama ayah...jaga mama aku juga...”katanya.
“apa-apaan sih kamu...kamu tuh yang harus hati-hati...awas mobil aku lecet ya...!”aku pun masuk dia melambai-lambaikan tangannya. Entah mengapa aku betul-betul tak merasa tenang waktu itu sepanjang jalan menuju Malang aku hanya melamun memikirkan perkataan Racka yang seperti pesan. Tapi aku berusaha menutupi perasaanku itu.
Aku pun tiba setelah beberapa jam di hotel. Aku segera mengaktifkan handponeku. Beberapa panggilan dari nomor ayah tak sempat ku terima dan beberapa sms ayah yang baru ku buka.
“kamu di mana Lea? Racka kecelakaan dia bawa mobil kamu,kita sekarang sedang menuju rumah sakit.”segera ku buka sms yang laiannya.”Lea, Racka meninggal. Kenapa handpone kamu tidak aktif.”aku terkejut sekali. Harus bagai mana aku. Sementara waktu itu sudah larut malam. Aku coba menelpon untuk memesan tiket penerbangan tapi semuanya tidak bisa. Aku pun berlari, aku memberanikan diri pulang dengan bus. Aku sungguh tidak ingin hanya menunggu dan menunggu sampai hari esok tiba. Aku segera keluar dari hotel dan mencari taksi untuk menuju terminal bus. Sepanjang perjalanan rasanya aku tak bisa berfikir jernih aku berusaha untuk menegaskan pada diriku bahwa semua baik-baik saja.
***
Hingga saat ini aku hanya bisa terdiam di samping batu nisan dan membelainya memejamkan mataku berharap batu nisan ini adalah Racka. “Racka jangan tinggalin aku...”bisikku. entah mengapa rasa sakit ini begitu sama saat ibu meninggalkan aku. Tiba-tiba ibu tiriku menyandarkan kepalanya di bahuku.
“dia menabrak sebuah bus...mobilnya hancur, Racka pun terjepit. Saat orang-orang berusaha menyelamatkannya dengan membawa Racka kerumah sakit, di perjalanan Racka sudah meninggal. Saya sudah tidak mempunyai siapa-siapa sekarang. Saya harus bagaimana?”jelasnya sambil menangis tersedu-sedu.
Aku pun tisak bisa mengatakan apapun. Hanya bisa menghela nafas panjangku dan menghapus air mataku. Mengapa secepat itu dia pergi. Bahkan baru kemarini dia begitu dekat denganku. Aku pun memeluk ibu Tiriku, dia menyusupkan kepalanya ke dadaku. Ku belai pundaknya. Aku melakukan hal yang pernah Racka lakukan saat ia memelukku. Ku buang jauh-jauh dendamku. Dan berusaha merasakan betapa sulitnya merasa di tinggalkan. Aku memeluk orang yang dulu ku benci tapi Racka meninggalkan pesan untukku agar selalu menjaga ibunya dan berdamai dengan ayah, dan Racka meninggalkan pelajaran yang berharga untukku, untuk selalu tersenyum dan membuat orang-oarang di sekelilingku bahagia. Sungguh, aku menyesal belum sempat ku ucapkan terimakasih padanya. Lagi-lagi aku harus menelan penyesalanku. Mulai saat ini aku berjanji, akan selalu mengembangkan senyumanku, untuk semua orang. Senyum yang di wariskan adikku.

Selesai

Created by Evi Andriyani

Sabtu, 04 Februari 2012

MY NAME is AMINAH....

My Name is Aminnah...

Namaku Aminah Gedoa, seperti namaku yang jadul perpaduan jawa dan Ambon...tingkahku pun tak jauh beda dengan namaku. Rambutku ikal sampai tampak terlihat kribo, aku tak begitu tinggi, tubuhku cukup melar, aku berkulit hitam karena ayahku asli ambon namanya Leo Gedoa dan ibuku 100% jawa namanya Asih. Aku sudah tinggal di ambon sejak aku lahir. Usiaku 15 tahun, ini tahun terakhirku di Smp Ambon, pada awal aku masuk sekolah tak ada yang sudi berteman denganku. Bagi mereka aku hanya gadis perparas jelek yang membosankan. Tapi sejak kecil aku tak pernah permasalahkan itu, karena bagiku untuk apa kita memiliki teman yang tak bisa menerima keadaan fisik temannya.  papa selalu mengatakan.”jauhkanlah fikiran jelek dari kamu punya fikiran, kamu harus punya ketulusan barulah kecantikan itu akan muncul dari dalam kamu punya diri.”kata-kata itu selalu membuatku semangat, meski di sekolah hanya ejekan yang ku dapat, bahkan  teman-temanku memanggilku “Minahhhhh...item.”aku hanya tersenyum dan mendengarkan mereka lantas menjawabnya dengan senyum meski hatiku teriris-iris.
6 bulan pertama sekolah di smp itu keadaannya masih sama, aku hanya sampah bagi mereka. Setiap aku berjalan di hadapan mereka selalu ada saja kaki yang menghalangi langkahku hingga aku tersandung. “ukhhhhh...”keluhku sambil membersihkan lututku yang tak jarang terluka. Hanya keluhan  itu yang beraniku keluarkan dari mulutku. Tapi sering kali aku mengeluh pada papa, dia hanya bilang.”saat kau mengeluh karena mereka mengejekmu, mereka tak akan mencabut ejekanmu dan bersimpatik padamu. Maka teruslah tanamkan ketulusan, dan mereka akan memujamu.”lagi-lagi dia tak membelaku, ku coba bicara pada mamaku, dia hanya berkata.”papamu bilang apa ndok? ketika ia berbicara, maka itulah jawaban mama untuk mu!” sejak saat itu aku hanya bisa menelannya sendiri. Hingga setelah hasil UTS keluar, dan nilaiku berada di peringkat terakhir mereka semakin mengejekku. “sebetulnya kau itu apa lebihnya...”sambil tertawa mereka mengejeku. Kali ini aku tak bisa tahan lagi dengan ucapan mereka.
“ kau fikir hatiku sekuat baja yang bisa tahan dengan ejekan-ejekan kalian itu...aku jelek memangnya kenapa? Kita di ciptakan oleh Tuhan yang sama. Aku rasa Tuhan tak pernah permasalahkan itu. Lantas mengapa kalian sebagai makhluknya berani sekali menilai seseorang dari fisiknya!!! Akan ku buktikan pada kalian, siapa Aminah Gedoa...”seruku sambil mengangkat tangan mereka hanya menyuraki aku.
Semangatku memuncak sejak saat itu, aku yang malas belajar setiap hari aku belajar. Meski malas dan sulit masuk ke otakku yang beku tapi aku paksakan. Ejekan dari sobat-sobatku mulai berkurang. Setip hari mereka melihatku sangat bersemangat dalam hal apapun, mulai dari selalu tiba di sekolah paling pagi, membersihkan kelas, membantu membersihkan kantor guru, pindah duduk di depan meski harus sendirian, aktif bertanya kepada bapak guru.
6 bualan setelah itu, aku naik ke kelas 8 smp dengan nilai yang lumayan meningkat meski baru masuk 10 besar tapi bagiku itu prestasi. Aku cukup sulit mendapatkan itu. Ejekaan itu mulai musnah, guru-guru mulai menyukaiku karena aku sangat rajin, bahkan sering sekali aku mendapat pembelaan dari guruku saat sesekali mereka mengejekku. Setidaknya meski teman-temanku tak menyukaiku tapi masih ada guru-guru yang menghargaiku.
Akhirnya Tuhan mengirimkan ku teman di 2 bulan pertama aku kelas 8 smp, namanya Margaret Airory, dia awalnya termasuk gadis yang selalu mengejekku sampai pada akhirnya ibunya meninggal. Ia tahu kabar itu saat sedang di sekolah. Tak ada yang mau menemaniny pulang, tak ada yang mau menghentikan tangisnya saat dia menjerit histeris dikelas.  Dia pun pulang berlari menuju rumahnya aku sengaja tak berkata apapun, aku hanya mengikutinya dari belakang. Dia tiba dirumahnya dan menangis sendiri di sudut kamarnya, karena pintu rumahnya terbuka dan banyak sekali pelayad aku pun masuk dan menghampiri Margaret ke kamarnya yang juga terbuka lebar. Ia membungkukan kepala, aku pun menegakan kepalanya dan menghapus air matanya.
“mama mu pasti sangat sedih melihat kau menangis seperti ini...maaf aku mengikuti kau kemari. Maka marilah kita mendoakan mamamu...!”aku berdiri dan menuntun tangannya keluar dari kamar, tangis Margaret mulai lenyap karena aku terus menjadi sandarannya. Kami mendoakan mama Margaret dengan khusyu. Dari situlah sikap Margaret berubah padaku. Ia menjadi sangat baik dan selalu mengajaku bergabung dengan teman-temannya yang lain. Bahkan sejak saat itu Margaret yang cerdas selalu mengajariku cara belajar yang asik seperti apa. Waktu berlalu persahabatan kami semakin kental hingga saat ini, Rasanya aku enggan sekali berpisah dengan mereka karena mereka yang dulu telah mengejekku kini mereka memujaku dan berbondong-bondong ingin berteman denganku. Benar sekali papa bilang apa. Aku menyadari betul kini ketulusan adalah kunci menuju kebahagiaan dan keadaan fisik yang bagus tak selamanya menjamin kebahagiaan yang abadi. Saat kita merasa tulus melakukan sesuatu maka kita akan mendapatkan sesuatu itu dengan sangat mulia meski harus di bayar dengan sakit hati, tapi bagiku teman bukanlah saat teman senang lantas kita ikut senang dan menilai semua dari fisik tapi saat mereka sedih kita ada untuk mereka dan temani mereka dengan ketulusan, maka itu akan abadi.


...Selesai...

Created by
Evi Andriyani





Ikhlas Ku Untuk Suamiku


Ikhlas Ku Untuk Suamiku
‘”Mas Yusuf ini ke 30 hari kepergianmu Mas, entahlah hatiku masih sangat sakit.” Aku menaburi seluruh badan makam suamiku tercinta. 30 hari aku menjalani kehidupanku tanpa dia. Sosok suami yang sempurna. Ia sangat beriman, rupawan, dermawan, juga mapan. Semua orang selalu memujinya dan mengatakan aku adalah wanita paling beruntung telah mendapatkan pria seperti Mas Yusuf. Yah aku memang benar-benar beruntung. Ku telan ludah dalam-dalam mencoba menahan tangis menghadapi makam suami yang telah mendamping aku selama 3 tahun ini. “aku selalu ingin mencoba mengikhlaskanmu Mas, terlebih kita punya Fajar, anak tunggal kita, buah hati kita...aku selalu ingat saat-saat kau memanjakanku layaknya anak gadis yang haus akan kasih sayang. Kau berikan segalanya untukku, seluruh kasih sayangmu. Mas, aku juga ingat sekali rencana-rencana yang akan kita lakukan pada anak kita kelak. Apa yang sebaiknya aku lakukan saat ini? Sungguh aku merasa tersesat tanpa bimbinganmu mas...”kini aku benar-benar menjatuhkan air mataku. Sungguh aku tak bisa membendung semua ini, selalu aku coba tersenyum menghadapi semua orang yang datang menemuiku dan mengatakan bersabarlah, tapi malah luka yang aku rasa. Setiap kali putraku M. Fajar Khairul Yusuf menangis memanggil-manggil ayahnya yang selalu memanjakannya hatiku rasanya berkeping-keping, Mas Yusuf mempunyai segudang trik membuat Fajar kembali tertawa. Kehidupan kami sangat cukup, sangat bahagia dan tentram. Perjuangan cinta kami juga sangat berliku. Sebelumnya aku bukanlah seorang muslim, bahkan wajahku saja oriental. Ayahandaku asli Rusia dan ibuku pun masih keturunan Tionghoa, sungguh tak diduga justru kehadiran mas Yusuf membuatku mencintai Islam dan membawaku ke dunia yang sesungguhnya. Dimana aku harus mencintai Allah dan beriman pada-nya. Meski di awalnya bukanlah hal mudah saat aku menjelaskan pada mereka (orang tuaku).
4 tahun yang lalu....
Sesosok laki-laki rapi yang berbicara di depan podium saat seminar kampus, berbicara dengan lantang. Aku saat itu menjadi salah satu mahasiswa yang duduk mendengarkan dia begitu tegas membicarakan soal politik. Kata-katanya membuatku luluh, ketegasannya membuatku terkagum-kagum pada pria berusia 27 tahun saat itu. Tak sekalipun aku memalingkan mataku kemana-mana, hanya pada sosok pria tampan yang berada di depan para Mahasiswa.
“Gissela Anastasya...”seru teman di sebelahku  . Aku sungguh kaget dengannya.
“ikh...Alice, aku  kaget tau.”bisikku.
“lagian kamunya serius amat. Awas loh falling in love nanti.”cetusnya sambil tersenyum. Aku merasa malu saat Alice mengatakan itu, entah mengapa...atau mungkin Alice benar aku telah jatuh cinta. Saat itu rasanya ingin sekali bertanya ‘kamu siapa? Tinggal dimana? Sudah punya pacarkah? Apa mau denganku?’.
“namanya siapa?” tiba-tiba mulutku refleks mengatakan itu. Alice tertwa kecil melihat tingkahku. Aku segera menutupi mulutku dengan kedua telapak tanganku.
“sudah aku duga!”jawabnya. “namanya Yusuf Ahmad Saleh, ada keturunan arabnya. Dia seorang pengacara, selain itu jiwa sosialnya tinggi banget. Dia punya berbagai macam yayasan, selain itu dia juga pintar sekali, dia itu lulusan terbaik fakultas Hukum ternama di Bogor. Tapi sayang...”Alice berhenti sejenak dan menghela nafas membuatku penasaran. “dia seorang muslim.” Tambahnya. Yah aku sudah duga, tanpa Alice mengatakan itu wajahnya telah mengatakannya padaku. Aku hanya bisa menatapnya dari jauh, mengaguminya tanpa harus ia tahu.
“kenapa dia bisa jadi pembicara di kampus kita?”tanyaku betul-betul penasaran.
“jelas aku rasa dia adalah orang yang tepat untuk di jadikan tokoh Sosialis yang patut kita contoh mengingat kita adalah mahasiswa Sosiologi.”jawab Alice.

2 hari kemudian....
Entahlah tapi aku tak bisa membohongi perasaanku kalau aku bena-benar jatuh hati pada pria itu tapi aku tak sedikitpun punya kesempatan untuk lebih dekat dengannya. Setiap malamku habiskan hanya tersenyum menatap kaca ketika aku ingat senyum manisnya yang menari-nari di hatiku.  Rasnya dadaku sesak setiap aku ingat tak mungkin lagi ku menemuinya.
“tok...tok...tok...”suara ketukan pintu dari balik kamarku.
“Gissel...”seru mama di balik pintu.
“iya ma...”aku segera membukakan pintu untuk ibuku. Ibuku menggeleng ketika melihatku masih mengenakan baju tidur.
“sekarang kan kita mau dinner sama lowyernya papamu. Bukankah mama sudah bilang tadi siang.”aku menepak kepalaku.
“Gissel lupa ma, Gissel gak ikut boleh gak ma?” Gissel yang sangat penurut tersenyum.
“jelas harus ikut. Dia hanya dua hari di Surabaya. Besok dia harus kemabali ke Bogor. Dia sangat berjasa untuk keluarga kita. Maka akan lebih baik jika kamu mau ikut serta.”jelas mamaku. Tiba-tiba sesosok pria tinggi putih abangku Ivanof mengehampiriku.
“kamu harus ikut, dia sahabat abang saat SMA. Dia sempat tinggal dengan neneknya dulu di Surabaya.”cetusnya. dengan sedikit malas akupun akhirnya mengganti bajuku. Aku betul-betul tak merasa penasaran dengan kehadiran pengacara ayahku, atau sahabat kakaku saat SMA. Akhirnya kami betul-betul harus menmuinya di sebuah restoran. Tibalah kami di restoran itu. Sesosok pria yang ku kenal duduk di meja yang sudah di booking papa. Aku sedikit kaget melihat sosok mas Yusuf. ‘apakah dia pengacara papa?’ . dia pun berdiri saat kami tiba di hadapannya, sosoknya yang santun membuat ku mati kutu di hadapannya.
“selamat malam om, tante, Van...”dan dia menatapku sekilas, mungkin ia ingin menyebut namaku namun ia tak tahu harus mengatakan apa. Pria itu menyalami papa dan Ivan. Hanya ia begitu menjauhkan tangannya ketika bersalaman dengan aku dan mama. Ia hanya tersenyum ramah ketika aku dan mama mulai merasa bingung dengan gaya salamannya. Kami pun duduk.
“oh iya, Suf...ini adikku Gissel. Dia masih kuliah smster akhir jurusan Sosiologi.”jelas Abang membanggakanku. Yusuf tak sedikitpun memandangku. Ia hanya tersenyum pada abangku.
 “mas Yusuf sempat jadi pembicara pada saat seminar di kampus.”kataku. dia kembali tersenyum, hanya memandangku sejenak. Aku mulai bosan dengan tingkahnya yang betul-betul tak mengharagaiku saat aku bicara, dia tak memandang wajahku sama sekali. Saat itu kekagumanku mulai berkurang padanya ku fikir ia ternyata tak sesantun itu. Malam itu kami cukup akrab dengan mas Yusuf. Kami pun lantas pulang setelah berbicang-bincang.

***
“kenapa harus aku?”tanyaku saat papa memintaku mengantar Yusuf. Papa yang tengah menikamati kopi hangat di hadapannya tersenyum.
“papa dan abangmu hari ini ada meeting penting tak enakkan kalau kita tak mengantarnya kebandara.”jelas papa.
“memangnya kenapa? Kamu merasa keberatan?”tanya mama mengasongkan sepiring roti panggang di hadapanku, akupun menggeleng. Aku segera mengambil satu lembar roti dan memakannya.
“jam berapa?”tanyaku sedikit malas. “ aku tak suka ketika dia tak mau bersentuhan denganku saat berjabatangan.”rengekku. tiba-tiba abang tertawa.
“jadi karna itu. Aku memang belum sempat jelaskan. Dalam ajaran muslim memang seperti itu, setidaknya kata Yusuf pada ku. Katanya haram bersentuhan dengan yang bikan mukhrimnya. Dia memang seperti itu. Dia sangat taat dengan agamanya. Katanya itu adalah bukti bahwa kepercayaannya itu mengajarkan untuk selalu menjaga kesucian wanita.”penjelasan bang Ivan membuatku kagum, ternyata aku salah memahaminya. Tak seharusnya aku bersikap seperti tadi tanpa tahu sebabnya.
“abang kok bisa faham gitu sih bang?”tanyaku.
“jelaslah 3 tahun aku berteman dengannya, saat aku bertanya dia selalu menjawab hal yang sama. Pantaslah aku sangat ingat.”jawabnya. “antar saja, dia tak akan pernah macam-macam denganmu.”

***
Dia pun naik ke mobilku ketika aku menjemputnya dikediaman neneknya. Di mengangguk ramah padaku namun tak satu katapun yang terucap. dia lantas duduk di sebelahku tanpa melirik ke arahku. Dia tampak sangat risih saat duduk berdampingan denganku di dalam mobil. Beberapa menit kami terdiam bingung sekali harus ku awali dengan pembicaraan apa.
“mas Yusuf sudah lama mengenal papa?”tanyaku.
“tentu saja. Dia kan ayah sahabatku.”jawabnya sembari tersenyum. Entah mengapa rasanya mendengar kata-katanya aku sungguh merasa teduh.
“oh...saya sangat suka mendengar mas Yusuf berbicara saat di kampus.”kataku.
“oh ya?”dia tersenyum lebih hangat. “apa yang Gissel suka? Apa merasa termotivasi?” ia mulai asik. Aku segera mengangguk.
“rasanya enak sekali di dengarkan dan ingin ikut mencoba seperti mas Yusuf.”jawabku.
“insyaallah pasti bisa, asal Gissel mau berusaha dan semangat terus.”jawabnya. aku memandangnya sejenak.
“mas belum berkeluarga?”tiba-tiba mulutku mengatakan itu, saat aku menyadari ucapanku dan mas Yusuf tersenyum. “oh maaf mas, rasanya saya lancang menanyakan hal itu.”
“tak papa, saya memang belum berkeluarga. Bukan merasa tak puas dengan apa yang saya capai sampai saat ini, tapi memang masih banyak ke wajiban yang harus saya tempuh. Saya juga sadar betul dalam agama saya menikah adalah sebuah ibadah tapi untuk saat ini saya belum menemukan sesosok teman hidup sekaligus teman ibadah.”jelasnya. aku sungguh merasa melambung. Inilah jawaban yang paling aku harapkan. Rasanya kenyamanan timbul saat kata demi kata keluar lembut dari mulutnya.
“masa sih mas Yusuf tak punya pacar...”ledekku.
“pacar? Bahkan saya tak pernah berpacaran.” Jawabnya, aku tertawa geli.
“mas Yusuf bisa aja deh.”aku kembali konsentrasi dengan mobilku yang ku kemudikan.
“pacaran itu tidak ada dalam keyakinanku. Hanya menikah yang di haruskan. Maka jika ku menemukan jodohku kelak yang akan aku lakukan adalah menikahinya lalu memacarinya bukan memacarinya lalu menikahinya karena hanya dengan begitulah kita dapat menjaga kesucian perempuan.”jelasnya. lagi-lagi aku di buat tak bisa mengatakan apapun, sungguh aku merasa malu sekali, seumur hidupku baru dialah laki-laki terbaik yang aku kenal. Waktu betul-betul terasa cepat berlalu. Kami pun tiba di Bandara Surabaya, aku mengantarnya sampai dalam.  Dia mengucapkan banyak trimakasih padaku dan pergi. Aku tak sempat menanyakan berapa nomor telponnya atau bahkan di mana ia tinggal. Memang sangat di sayangkan, tapi apakah berguna jika aku mengetahi itu semua? Toh dia tak mungkin mau padaku, dia jelas-jelas sangat taat dengan keyakinannya dan aku? Siapa aku baginya, aku hanya bisa menghela nafas dan menyerahkan semuanya pada takdir yang mungkin akan jauh lebih indah.

***
“mau menungguiku sampai selesai shalat dzuhur?”tanya Sarah teman sekelasku yang beragama muslim. Aku mengangguk. dia sangat heran dengan tingkahku belakangan itu yang sering sekali mengikuti aktifitas gadis berjilabab itu.
“gak papa kan Sar?”tanyaku. di memandangku lekat-lekat.
“memang tidak papa. Tapi jangan sampai orang peranggapan lain karena kamu sering mengikutiku ke mushola.”jawabnya.
“aku hanya senang saat mendengar suara adzan dan orang-orang bersujud dengan balutan mukena.”kataku. Sarah tersenyum padaku.
“baikklah, aku shlat dulu...aku akan segera kembali.”dia pun masuk. Aku hanya bisa melihat mereka di balik jendela mushola. Entah mengapa belakangan itu muncul prasaan yang tak aku duga. Saat mendengar gema adzan, melihat gadis-gadis berbalutkan pakaian muslim dengan jilbab yang menutupi kepalanya, mendengar Sarah mengatakan ‘Subhanallah...Alhamdulillah...lailahaillallah...Allahuakbar...Astagfirullah...’ rasanya damai dan ingin ikut mengucapkannya. Mungkin bagiku ini sangat aneh entah karena ucapan-ucapan dari mas Yusuf atau kah memang ini adalah ilham. Berusaha ku tepis semua perasaan ini, tapi semakinku tepis rasanya aku semakin rindu dengan semu itu.
“sudah selesai?” tanyaku 20 menit kemudian setelah Sarah duduk di sampingku di depan mushola. Ia mengangguk. wajahnya tampak berseri-seri setiap ia selesai melaksanakan shalat.
“apa kamu tak merasa gerah dengan mengenakan jilbab dan baju yang besar?”tanyaku. dia tersenyum anggun.
“tentu tidak, memangnya kamu pernah mendengar aku mengeluh soal bajuku?”dia kembali bertanya. Aku segera menggeleng. “aku merasa kamu belakangan ini cukup aneh. Bolehkah aku tahu ada apa?”tanya dia menatapku. Aku ikut menatapnya, ingin sekali bercerita soal apa yang aku alami.
“Sarah...menurutmu, perasaan apa ini? Ketika aku mendengar gema Adzan aku sungguh merasa damai, aku selalu iri melihatmu menutupi tubuhmu dan di segani oleh kaum lelaki.”tiba-tiba air mataku jatuh, aku tidak sedih tapi entah mengapa hidupku terasa masih ada yang belum lengkap. Sarah terdiam, ia tampak bingung. “apa yang harus aku lakukan Sar? Entah mengapa hatiku sangat ingin menjadi gadis-gadis seperti kalian. Apa aku salah?”
“entahlah tapi bukankan kah ini salah bagi apa yang kamu yakini Sel?”dia bertanya balik padaku. Air mataku semakin deras mengucur.
“ya ini sebuah penghianatan. Tapi aku tak bisa apa-apa dan tak bisa bicara pada siapapun selain padamu.”jawabku. “maka tolonglah aku Sar, apa yang harus aku lakuakan?” Sarah memelukku.
“jangan pernah menuruti hawa nafsu yang sesaat, yakinkanlah dirimu Sel...saat kamu merasa yakin maka aku akan selalu menolongmu.”jawabnya.

1 bulan kemudian....
Perasaan itu malah semakin kuat di fikiranku, aku mulai sering sekali membaca buku-buku tentang Islam. Aku kembali menemui Sarah dan menceritakan tentang yang aku alami bahkan mimpi yang meyakinkanku untuk menjadi seorang mualaf. Aku memaksa Sarah untuk mengajariku shalat. Rasanya amat sangat damai sekali dengan balutan mukena bersujud menghadap kiblat. Hatiku rasanya di penuhi ketentaraman yang luar biasa. Setelah selesai shalat aku dan Sarah berhadapan, ia menatapku dengan senyum anggunnya.
“apa kamu sidah bicarakan soal niatmu ini pada orang tuamu Sel?”tanya Sarah. Aku menggeleng. “jangan mengambil keputusan sendiri, mintalah izin pada orang tua mu!”
“mamaku pasti akan sulit menerimanya karena ia adalah orang yang taat, tapi papa memang tak pernah permasalahkan semua ini krena ia kebalikan dari mamaku. Aku akan mengatakannya setelah aku menjadi mualaf.”jawabnya. Sarah menggeleng.
“Gissel mereka orang tuamu, mereka berhak atas kamu dan berhak memberikan pendapat tentang semua ini.”katanya membelai wajahku yang kembali harus mengucurkan air mata.
“aku tahu Sar, tapi akan sulit jika itu ku lakukan terlebih dahulu, terutama abangku dia tidak akan semudah itu menerimanya.”
“aku hanya tak ingin kamu menyesal Gissel.” Aku memeluk Sarah erat. Dan aku menggelengkan kepalaku.
“kamu tahu akukan? Sekali aku mengatakan ingin maka akan ku lakukan, apalagi aku sudah yakin, aku juga yakin kamu dan Allah akan membantuku menuju jalan lurus ini.”aku tersedu-sedu.
Akhirnya aku berani jujur setelah 2 hari aku tak pulang, orang tua dan kakakku sangat kaget dengan keputusanku saat itu. Keributanpun terjadi air mata berjatuhan, kejadian emosional itu terjadi cukup panjang. Sampai mama berani mengusirku dari rumah dan bersumpah untuk tak mengangggapku putrinya lagi. Tapi entah mengapa bahkan aku tak mempunyai rasa takut sedikitpun. Allah memberiku ketegaran dan keteguhan saat itu. Tak ada tempat yang bias ku datangi hanya kediaman Sarahlah yang bias ku datangi. Aku memohon untuk diberi tahu alamat pesantren milik ayahnya di Bogor, meski sulit membujuknya tapi akhirnya dia mau memberikan alamat itu padaku. Malam yang mengerikan itu bahkan tak kurasa keteguhanku untuk pergi memperdalam islam sangat kuat hingga mengantarku kepesantren itu.
Allah memang memiliki rencana indah dibalik setiap cobaan yang umatnya alami. Setelah 1 tahun aku di pesantren aku kembali berjumpa dengan mas Yusuf. Dia kaget bertemu denganku disana dan dengan penampilanku yang berbeda. Kami berbicara banyak dan kucurahkan semua hingga tanpa kami sadari itu adalah jalan bagi kami untuk bersatu. Orang tuaku mulai bias menerima dengan ikhlas keputusanku dan menerima mas Yusuf menjadi pendamping hidupku.
“Bantu aku untuk Ikhlas mas…sesungguhnya aku sadar semua takdir hidupku Allah telah mengaturnya dengan rapi.” Aku berdiri dan meninggalkan makam itu dengan menuntun Fajar. Fajar tersenyum padaku. Hanya senyum itulah yang membuatku sadar bahwa masih ada kehidupan dimasa depan yang harus ku jalani.

Selesai

Created by Evi Andriyani