.fb_like_box { -moz-border-radius:5px 5px 5px 5px; border-radius:10px; background:#f5f5f5; border:1px dotted #ddd; margin-bottom:10px; padding:10px; width:500px; height:20px; }

Entri Populer

Rabu, 04 Januari 2012

Saranghaeo...


“Mencintaimu adalah hal yang tak pernah terfikir olehku sebelumnya. Betapa indah meski menyakitkan. Entah mengapa bahkan aku bisa bertindak sebodoh itu. kau telah membuatku sadar betapa penting sebuah pengalaman bagi kareer seorang dokter sepertiku. bagiku tak ada yang lebih penting didunia ini bahkan jiwa ragaku sekalipun. Hanya melihat senyummu sepintas itu kebahagiaan bagiku, tak peduli kau tak pernah inginkan aku, tak peduli seberapa sering kau menyakitiku, ucapan menyakitkan dari mulutmu adalah bahagia untukku...
            Salahkah aku? Aku selalu merasa hal ini gila tapi membuatku bahagia. Kau tetap yang terindah meski wajahmu berubah menyeramkan, meski tubuhmu tak dililit daging dan hanya kulit yang kriput yang melapisi tulang-tulang di tubuhhmu, meski tak ada sehelai rambutpun dikepalamu kau tetap yang terindah di mata dan hatiku...
            Hiduplah dengan sehat! Bahagialah! Karena dengan kau bahagia aku tenang disini...”
            “junsu-Ssi...Junsu-Ssi...”Lee Seulbi memeluk erat kertas putih itu didadanya. Ia meratapi kesedihannya seorang diri di bawah sebuah pohon di belakang rumah sakit “ Seoul Hospital”. Cobaan bertubi-tubi datang. Ia sadar semua yang terjadi saat ini adalah kesalahannya. kepergian Kim Junsu yang tak ada kabar adalah murni keasalahannya. Sesekali ia menengadah keatas pohon itu dan melihat sekeliling tempat indah yang menjadi kenangan baginya dan Junsu. Tangan kirinya menggenggam erat roda kursi rodanya, menahan rasa sakit yang lebih sakit dari penyakit yang ia alami.
1 Tahun yang lalu...
“HIV?”tanya Lee Seulbi dengan senyum sinis dan tak ada ekspresi kaget sedikitpun dengan pernyataan dokter yang berusia sekitar 30 tahun itu. dokter muda yang menawan lulusan S2 di California. Dokter itu menatap heran Seulbi yang tampak biasa-biasa saja. Seulbi tersenyum. “akhirnya penyakit ini datang padaku. Aku tau hari ini pasti akan terjadi.”
Kim Junsu sebagai dokter yang telah mendiagnosanya duduk terpaku, terperangah. Bagaimana tidak selama 7 tahuh ia menjadi dokter baru kali ini ia melihat pasien yang difonis terkena penyakit paling mengerikan itu sangat tenang, ia tak mendapatkan bentakan, teriakan, bahkan pukulan.
“saya sangat kagum...anda bahkan tidak tampak depresi sehingga saya tidak perlu menenangkan anda.” Kata Junsu dengan kata-kata formalnya pada gadis berusia 27 tahun itu.
“Haruskah aku tampak depresi? Aku sudah terlalu dewasa melakukan hal itu.” jawabnya santai. “Haruskah aku mendapat pengobatan dan dikucilkan?”
“Dikucilkan? Tentu saja anda harus mendapatkan pengobatan. Saya akan merujuk anda pada dokter spesialis yang propesional. Namanya Park Taechun.” Junsu menulis diselembar notenya.
“Bisakah aku tetap ditangani olehmu?” goresan tinta hitam itupun terhenti. Dia menatap Seulbi heran lantas tersenyum.
“Dia Sunbaeku, saya hanya Maknae. Saya belum bisa dan belum pernah menangani penyakit sepertimu sendiri.” Jawabnya, Sunbae adalah sebutan bagi Senior di Korea Selatan sedangkan Maknae adalah sebutan bagi para Junior .
“Lantas jika kau belum mencoba, kapan kau akan bisa berdiri sendiri? Bukankah harusnya sebentar lagi akan ada yang memanggilmu sunbae? Lantas apa yang akan kau katakan kepada maknaemu, jika bahkan kau belum pernah mencobanya?” desak Seulbi. Junsu terdiam, Seulbi menatapnya seolah meyakinkan Junsu.
“Saya rasa belum saatnya...” jawabnya.
“Kapan saatnya tiba? Hatiku berkata kau mampu. Aku benar-benar mengizinkanmu menjadikanku kelinci percobaan. Karena aku benar-benar tahu kalau aku tak akan bertahan hidup lebih lama meski kau rujuk aku pada dokter yang propesional.” Timpas Seulbi.
“Minggu depan datanglah bersama walimu!”
“Kau akan menanganiku?”
“tidak.” Jawabnya singkat.
“Lihatlah nanti, tapi orang tuaku sudah tidak ada. Siapa yang harus ku bawa? Kau saja waliku, bagaimana?” Junsu tanpak kaget. “lupakan!!! Aku cukup tegar untuk mendengar segala kemungkinan yang akan terjadi. Jadi biarkan aku yang tangani sendiri.” Gadis itupun keluar setelah memberi salam dengan menganggukan kepala.
Ini pertama dalam hidupnya, pertama sejak ia dewasa dan mengenal para gadis ia menjumpai gadis yang aneh seperti Seulbi. Tapi entah mengapa hatinya ingin sekali mengikuti apa yang dikatakan gadis itu padanya. Ia sadar ia tak pernah memiliki kepercayadirian untuk menangani penyakit-penyakit dalam yang mengerikan seperti HIV.
1 minggu berlalu...
Seulbi memejamkan mata saat ia dibaringkan disebuah ranjang tepatnya di laboratorium. Entah mengapa ia sangat berharap ketika ia membuka mata Junsu ada dihadapannya.
“Bisakah aku memeriksamu sekarang?” mata Seulbi terbuka dan berbinar.
“Kau memahaminya dokter!” Seulbi girang. Junsu hanya menggeleng dan tersenyum.
Setelah pemeriksaan usai....
Selubi terbaring lemas di ruang rawat inap. Junsu memantaunya sekitar 4 jam sekali.
“Bagaimana keadaanku?”
“baik.” Jawabnya.
“Kau tak akan menjelaskannya dokter?” desak Seulbi. “bahkan aku tau kalau obat dan semua rangkaian pengobatan hanya akan membuat aku bertahan bukan menyembuhkan...”
“Bagaimana kau tahu?” Junsu tersenyum.
“Dari orang tuaku. Mereka meninggal karena HIV.” Junsu pun duduk, ia memahami sekali kalau Seulbi butuh teman bicara.
“Itulah sebabnya aku tak pernah kaget saat aku difonis HIV. Sejauh ini aku bekerja dan terus menabung karena aku tau akan ada hari ini di hidupku. Dulu saat aku lahir semua orang heran karena kedua orang tuaku pengidap HIV dan aku bisa lahir dengan normal tanpa penyakit apapun. Aku tak pernah tau apa itu HIV sampai orang tuaku meninggalkanku dan sejak saat itulah aku sadar. Bahkan karena aku takut aku tak pernah memikirkan pria dihidupku. Karena aku tahu aku adalah wanita yang tak pantas dicintai.”
Teg...hati Junsu tiba-tiba tergetar. Untuk pertama kalinya selama ia jadi dokter prasaan itu muncul. Kasihan, kagum, suka, bangga semua bercampur jadi satu. Semakin hari prasaan itu semakin berkembang dan tak terbendung. Kedekatan mereka semakin jelas terlihat sehingga memunculkan kabar heboh di rumah sakit yang menyatakan mereka menjalin kasih. Namun seberapapun gosip itu menyebar pesat tak mengurangi apapun bagi Junsu. Baginya keceriaan Seulbi memberi warna tersendiri bagi kehidupannya yang sangat membosankan.
8 bulan kemudian...
Keadaan fisik Seulbi semakin jelas terlihat berubah. Ia tak tampak seperti seorang gadis cantik yang pertama kali di temui Junsu.
“Kau melihat jelas perubahanku?” mulutnya dibalut masker sehingga kata-kata itu tak begitu jelas terdengar. sehingga membuat Junsu berlutut dihadapan Seulbi yang duduk dikursi roda agar suara Seulbi jelas terdengar. Kini Seulbi tampak tak bisa lagi membendung kesediahannya. Matanya jelas menunjukan ia sangat lelah.
“Haruskah aku mengakuinya? Bahwa kau tetap cantik dimataku...” air mata junsu perlahan jatuh. Seulbi terpaku yang tak pernah melihat Junsu sepolos hari itu. anginpun berhembus lembut menampar wajah Seulbi. Pohon dibelakang rumah sakit itu berubah menjadi amat panas ditengah musim dingin yang tengah melanda kota Seoul. Ketegangan yang memuncak itu segera ia alihkan dengan celotehan yang pernah ia dengar dari ibunya.
“Tidakkah kau merasa aku halmeoni diusia 27 tahun? Aigooo...kulitku sangat kriput!!!”Seulbi tertawa, halmeoni adalah panggilan nenek sedangkan Aigo berarti aduh. Junsu tetap serius dan menatapnya lebih dalam. “tentu saja aku cantik...aku bahkan lebih cantik dari personel SNSD, atau 2NE1.” Tapi suasana tak berubah.
“Saranghaeo...” kata saranghaeo yang berarti aku mencintaimu itu begitu jelas sehingga tak ada alasan baginya untuk meminta Junsu mengulang kalimat yang belum pernah ia dengar sebelumnya dari para lelaki itu.
“apa kau sudah gila? Kau fikir siapa diriku ini? berhentilah membual!”
“aku benar-benar mencintaimu...aku tak tahu mengapa tapi hatiku dipenuhi olehmu.” Junsu menggenggam tangan Seulbi erat.
“Lepaskan aku!”
Sejak saat itu hubungan mereka renggang. Meski Seulbi merasakan hal yang sama tapi ia sadar betul siapa dirinya. Seulbi selalu bersikap kasar sejak saat itu, tapi junsu semakin intens mendekatinya. Kabar tidak sedappun mencuat Junsu dikabarkan tertular HIV hingga ia harus mendapat pemeriksaan tapi kabar itu lenyap seiring berjalannya waktu.
“Berhentilah bersikap seolah-olah kau membenciku!” bentak Junsu yang melihat Seulbi mulai melepaskan impusan dan mogok makan. “Hanya tatap mataku dan katakan kau mencintaiku! Aku tahu kau pun merasakan hal yang sama denganku...” Junsu memeluk Seulbi yang terus berontak.
Untuk pertama kalinya Seulbi menangis dan ia pun menjatuhkan diri ke lantai. “tidakkah kau menyadarinya siapa aku ini??? Aku bahkan tak pantas untuk dicintai dan mencintai orang sepertimu! Wanita macam apa aku kau pun tahu itu...”teriaknya.
“Aku sadar...haruskah aku turut menyalahkan penyakitmu? Tapi semua ini bukan salah siapapun...Saranghae...”
“pergi! Aku ingin kau pergi dari hidupku...enyahlah dari pandanganku laki-laki bodoh!” Seulbi berteriak lebih keras dari sebelumnya.
“apa yang harus aku lakukan agar kau menyadari betapa aku sungguh-sungguh terhadapmu?” Junsu berlutut.
“Jika kau jadi aku kau akan menyadarinya, betapa kita berbeda...betapa aku tak pantas untuk mencintai orang sepertimu. Maut akan tiba-tiba menjemputku dan apakah yang kau harapkan dari seorang wanita tak berdaya sepertiku? Berhentilah bersikap seperti ini dan hiduplah seperti Kim junsu-ssi yang aku kenal sebelumnya!” Seulbi menatap Junsu penuh harap.
“Aku ingin bersamamu sampai ajal memisahkan kita.” Cetusnya, Seulbi menampar junsu.
“Bodoh...kenapa kau begitu keras kepala? Kau ingin aku menularimu seperti kabar yang beredar. Kau tidak tau betapa mengerikan penyakitku.”
“Aku tak peduli...haruskah aku menjadi sepertimu agar kau menyadari itu!”
“Lakukan sesukamu!” Seulbi meninggalkan junsu dikamar inapnya sendiri. Ia menangis dibalik pintu. Tapi ia sangat heran Junsu tak keluar. Perasaannya berubah tidak enak dan akhirnya ia putuskan untuk kembali masuk. Tubuhnya gemetar saat ia menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri junsu menyuntikan darah segar milik Seulbi ketubuhnya sendiri. Darah yang baru di ambil itu tadinya untuk kepentingan lab. Junsu menoleh ketika ia sadar Seulbe tengah ada diambang pintu. Mata Junsu berubah merah. Ia tersenyum pada Seulbi.
“kau tau...sekarang bagian mengerikan ditubuhmu telah bersatu denganku...” Junsu memejamkan mata merasakan aliran darah itu bersatu dengan darahnya. Seulbi perlahan melangkahkan kakinya yang gemetar menuju Junsu. Seulbi menangis tersedu. Ia mengambil jarum suntik itu dan memastikannya. Jelas semua darahnya telah lenyap.
“bagaimana ini...”ia menjatukan jarum suntik itu dan memukul-mukul kepalanya sendiri. Rasanya lebih sakit dari pada menerima dirinya terkena HIV. Junsu menghalangi Seulbi yang terus menyakiti dirinya sendiri. “lepas!!! Ayo kita periksa...aku mohon jangan sampai kau sepertiku...aku mohon!” Selubi menarik-narik baju  Junsu. Junsu memeluk Seulbi sambil menangis dipeluknya. Mereka akhirnya terperangkap oleh penyakit yang justru menyatukan mereka dengan paksa. “Maaf...maaf karena aku bukan wanita normal...”
“tidak...Sarangheo.”
Esoknya...
Kabar mengerikan muncul dari pihak rumah sakit. Mereka bilang Junsu koma dari semalam dan langsung dilarikan kerumah sakit di Amerika. Tidak ada yang tahu tepatnya Junsu di rawat di mana. Sejak saat itu Seulbi hanya bisa termenung setiap hari menanti kabar junsu yang tak pernah lagi terdengar. Pihak rumah sakitpun tak bisa menemukan jejaknya, bahkan ia seperti lenyap ditelan bumi, tak ada yang berusaha mecarinya bahkan mengenang kehidupannya. Mulut setiap orang seolah terkunci dan fikiran mereka seolah telah terhapus ketika dihadapkan dengan nama JUNSU bahkan keluarga KIM sekalipun.
Hanya surat itulah yang menjadi sisa-sisa kenangan tetang keberadaannya. Surat yang tiba-tiba muncul dibalik bantal.
‘Na do Saranghaeo...apa kau baik-baik saja? Apa kau bahagia? Apa kau masih hidup? Jika iya, hiduplah dengan baik. Kau begitu sempurna...maaf karena aku kau seperti ini...ku harap Tuhan akan menyampaikan kata hatiku ini sebagai balasan surat darimu. Saranghaeo kim Junsu-ssi...”



Selesai


Tidak ada komentar:

Posting Komentar