.fb_like_box { -moz-border-radius:5px 5px 5px 5px; border-radius:10px; background:#f5f5f5; border:1px dotted #ddd; margin-bottom:10px; padding:10px; width:500px; height:20px; }

Entri Populer

Rabu, 01 Februari 2012

Aku dan Kharissa


Aku dan Kharissa


“maaf pak istri anda tidak bisa kami tolong, tapi putri bapak berhasil kami selamatkan.”itulah kata-kata yang ku ingat sampai hari ini, setelah 5 tahun kematian istriku. Selama 5 tahun ini aku Vicky Haryanto, seorang polisi yang sudah sekitar 7 tahun mengabdi di kepolisian Bandung. Aku berusia 30 tahun. membesarkan Kharissa Nur Haryanto putriku sendirian. Selama ini aku tak penah bisa melupakan istriku, Siti Chairunnisa. Wanita yang bisa meluluhkan hatiku hanya dengan satu kata “Subhanallah...” entah mengapa dia bisa mengetuk pintu hatiku yang keras ini.
Selama ini aku berusaha jadi ayah sekaligus ibu bagi Khasrissa putriku. Menggantikan popoknya,memandikannya,mengeloni dia,memeluknya dengan segenap jiwa dan ragaku. Saat istriku pergi hanya Kharissa yang aku punya. Hanya putriku yang paling aku harapkan. Saat tak ada siapapun di sisiku. Tak ada yang ku cintai selain almarhumah istriku dan anakku. Meski sering sekali orang tuaku memaksaku untuk mau di jodohkan dengan anak temannya. Tapi tak ada niat di benakku sedikitpun. Bagiku Kharissalah yang utama. Punya Kharissa saja sudah cukup bagiku. Melihat Kharissa tumbuh dengan sehat adalah hal yang lebih menyenangkan bagiku dari pada aku memiliki wanita lain. Tapi Kharissa sering menanyakan dimana ibunya selalu saja aku bingung menjawabnya. Di usianya yang ke-4 dia bertanaya padaku yang sedang memandikannya di toilet.
“pah...teman-teman Kharis punya mama kok Kharis enggak? Terus selama ini kok kita di rumah cuman berdua? Mama Kharis kemana?”tanya putriku dengan cadelnya.
“suatu saat Kharis akan mengerti...tapi mama akan selalu di hati kita.”jawabku sambil memeluknya. Aku yang bersikap tegas di kantor selalu lemah saat menghadapi putriku. Dia seperti ibunya yang membuatku luluh.
***
Waktu terus berlalu, kini putriku berusia 5 tahun, dia semakin mengerti arti dari kematian. Aku selalu mengajaknya ziarah ke makam ibunya. Aku tahu betul ia amat ingin tahu dan merasakan kasih sayang dari ibunya. Sampai suatu hari, putriku mempertemukanku dengan seorang guru TK-nya yang masih single. Kharissa sangat berusaha mendekatkanku dengan guru yang bernama Sofia itu. Saat kami jalan-jalan Kharissa selalu ingin mengajaknya, aku pun melihat kedekatan itu tapi bagiku sedekat-dekatnya Kharissa dan Sofia tak akan pernah sama dengan kasih syang seorang ibu kandung. Dan aku tak ingin Kharissa terabaikan jika kelak aku punya anak dari istriku yang baru.
Sofia sangat memperhatikan kami belakangan itu. Ia bahkan sering sekali mengirim sarapan ke rumah. Sofia juga sering mengantar putriku pulang. Hinggal hal yang sudah ku duga terjadi. Dia datang kerumahku dengan makanan yang banyak sekitar kam 7 malam.
“saya khawatir, Kharissa dan pak Vicky belum makan malam.”katanya, Kharissa yang baru saja keluar dari kamarnya segera berlari menuju lahunan Sofie dan duduk manis di sana.
“bu Sofia kapan datang??? Wah makanannya banyak sekali bu...”dia tampak girang bu Sofi ikut tersenyum melihat tingkah manis Kharis.
“gak papa bu. Lagian saya sudah sangat terbiasa memasak sendiri.”jawabku.
“hmmm, kalau bu Sofia tinggal di rumah pasti seru, iya kan pah? Ada yang masakin tiap hari...”tanya Kharissa. Aku hanya tersenyum dan menggelengkan kepala mendengar kepolosan putriku.
“Kharis mau ibu di sini? Tapi papanya Kharis mau gak ya? Sindir guru yang masuh gadis dan berusia 23 tahun itu. Aku sedikit kaget, namun tak ku jawab karena bagiku rasanya tak pantas membicarakan itu di hadapan anak-anak.“pak Vicky tidakkah anda ingin menikah lagi?”tanya dia menatapku, aku hanya menelan ludah dan tampak terlihat grogi.
“Kharis masuk kamar sebentar ya, papa mau bicara dengan bu Sofia dulu!”kataku.
“tapi aku mau sama bu Sofia di sini...”jawab Kharissa maja. Tapi aku menggeleng. Kharisapun berjalan menuju kamarnya meski aku tahu Kharissa menguping dari belakang  ruang tamu.
“sebaiknya kita tidak membicarakan ini di depan anak-anak.”kataku pelan. Bu sofia yang anggun itu tersenyum.
“saya hanya merasa, saya sudah cukup dekat dengan Kharissa dan pak Vicky...”wanita itu merunduk.”dan saya rasa saya butuh kepastian agar saya bisa mengurus pak Vicky dan Kharissa sepenuhnya, dengan menjdikan saya sebagai seorang istri.”tambahnya lantas mentapku dengan penuh harapan.
“saya tahu memang belakangan ini ibu sofia sering sekali berbuat baik pada kami. Tapi maaf sebelumnyasaya tidak pernah memikirkan pernikahan. Setidaknya sampai Kharissa bisa mengurus dirinya sendiri nanti. Saya tidak mempunyai waktu untuk memikirkan diri saya sendiri. Hanya Kharissa yang menjadi mayoritas utama saya saat ini. Saya tidak mau sedikitpun membagi atau coba membagi kasih sayang dengan yang lain selain putriku. Saya harus konsentarsi memberikan kasih sayang dan pendidkan pada Kharissa. Dia harta saya yang paling berharga. Dia peninggalan orang yang paling saya cinta. Saya juga tidak mau menyakiti hati kamu jika kelak kamu terabaikan.”jelasku. jelas saja wajahnya ampak sangat sedih.
“maafkan saya karena saya terlalu berharap pada pak Vicky.”jawabnya sambil melap air matanya yang nyaris saja jatuh. “saya permisi dulu...salam sayang untuk Kharis!”katanya sambila berlari keluar dari rumah. Aku tahu dia pasti sangat kecewa tapi inilah keputusanku bahkan ketika Kharissa hadir di hidupku.
Tiba-tiba Kharissa ada di hadapanku sambil menangis.”apa itu artinya Kharis gak akan punya mama kayak temen-temen Kharis?”tanya dia dengan polosnya. Aku tersenyum sambil melap air matanya dan menggendongnya. Dia menangis membuatku turut sedih. Rasanya ingin sekali melakukan apapun asal putriku bahagia dan tak menangis lagi.
“memangnya Kharis gak mau berdua aja sama papa? Kharis kan punya mama di hati Kharis, Kharis juga punya oma,opa,nenek,kakek yang sayang...sekali pada Kharis.”jelasku, di pangkuanku dia membelai wajahku dan menciumi pipiku.
“Kharis gak papa ko berdua doang sama papah...tapi Kharis pengen banget papah punya temennya jadi papah gak masak sendiri.”ku ciumi anak itu, sungguh aku tak berfikir sejauh itu. Aku tak ingin sedikitpun mengabaikan putriku.
“iya, papa janji, nanti saat Kharis dewasa  papa pasti cari mama untuk Kharis. Sekarang kita berdua dulu ya nak?”ia mengangguk dan melingkatkan tangannya di leherku.
“kita bobo yuk, besok kan Kharis sekolah.”bujuk ku. Ia kembali mengangguk aku pun membawanya ke kamar kami di mana aku tak pernah memisahkan kamar aku dan putriku. Kami selalu tidur berdua. Setidaknya untuk saat ini keputusanku sudah tepat. Aku tak ingin menyesali segalanya. Kharissa adalah titipan yang harus aku jaga sebaik mungkin, setotal mungkin sampai ia dewasa dan menyadari betul arti dari seorang ibu tiri yang tak mungkin sesayang ibu kandungmeski ia terlihat tulus. Aku akan selalu menjaga janjiku pada putriku, janji seorang pria, janji seorang ayah akan menjaga dan mencintai Kharissa sepenuh hati. hanya ada aku dan Kharissa putriku...
Selesai
Created by: Evi Andriyani
           








Tidak ada komentar:

Posting Komentar