.fb_like_box { -moz-border-radius:5px 5px 5px 5px; border-radius:10px; background:#f5f5f5; border:1px dotted #ddd; margin-bottom:10px; padding:10px; width:500px; height:20px; }

Entri Populer

Sabtu, 04 Februari 2012

Ikhlas Ku Untuk Suamiku


Ikhlas Ku Untuk Suamiku
‘”Mas Yusuf ini ke 30 hari kepergianmu Mas, entahlah hatiku masih sangat sakit.” Aku menaburi seluruh badan makam suamiku tercinta. 30 hari aku menjalani kehidupanku tanpa dia. Sosok suami yang sempurna. Ia sangat beriman, rupawan, dermawan, juga mapan. Semua orang selalu memujinya dan mengatakan aku adalah wanita paling beruntung telah mendapatkan pria seperti Mas Yusuf. Yah aku memang benar-benar beruntung. Ku telan ludah dalam-dalam mencoba menahan tangis menghadapi makam suami yang telah mendamping aku selama 3 tahun ini. “aku selalu ingin mencoba mengikhlaskanmu Mas, terlebih kita punya Fajar, anak tunggal kita, buah hati kita...aku selalu ingat saat-saat kau memanjakanku layaknya anak gadis yang haus akan kasih sayang. Kau berikan segalanya untukku, seluruh kasih sayangmu. Mas, aku juga ingat sekali rencana-rencana yang akan kita lakukan pada anak kita kelak. Apa yang sebaiknya aku lakukan saat ini? Sungguh aku merasa tersesat tanpa bimbinganmu mas...”kini aku benar-benar menjatuhkan air mataku. Sungguh aku tak bisa membendung semua ini, selalu aku coba tersenyum menghadapi semua orang yang datang menemuiku dan mengatakan bersabarlah, tapi malah luka yang aku rasa. Setiap kali putraku M. Fajar Khairul Yusuf menangis memanggil-manggil ayahnya yang selalu memanjakannya hatiku rasanya berkeping-keping, Mas Yusuf mempunyai segudang trik membuat Fajar kembali tertawa. Kehidupan kami sangat cukup, sangat bahagia dan tentram. Perjuangan cinta kami juga sangat berliku. Sebelumnya aku bukanlah seorang muslim, bahkan wajahku saja oriental. Ayahandaku asli Rusia dan ibuku pun masih keturunan Tionghoa, sungguh tak diduga justru kehadiran mas Yusuf membuatku mencintai Islam dan membawaku ke dunia yang sesungguhnya. Dimana aku harus mencintai Allah dan beriman pada-nya. Meski di awalnya bukanlah hal mudah saat aku menjelaskan pada mereka (orang tuaku).
4 tahun yang lalu....
Sesosok laki-laki rapi yang berbicara di depan podium saat seminar kampus, berbicara dengan lantang. Aku saat itu menjadi salah satu mahasiswa yang duduk mendengarkan dia begitu tegas membicarakan soal politik. Kata-katanya membuatku luluh, ketegasannya membuatku terkagum-kagum pada pria berusia 27 tahun saat itu. Tak sekalipun aku memalingkan mataku kemana-mana, hanya pada sosok pria tampan yang berada di depan para Mahasiswa.
“Gissela Anastasya...”seru teman di sebelahku  . Aku sungguh kaget dengannya.
“ikh...Alice, aku  kaget tau.”bisikku.
“lagian kamunya serius amat. Awas loh falling in love nanti.”cetusnya sambil tersenyum. Aku merasa malu saat Alice mengatakan itu, entah mengapa...atau mungkin Alice benar aku telah jatuh cinta. Saat itu rasanya ingin sekali bertanya ‘kamu siapa? Tinggal dimana? Sudah punya pacarkah? Apa mau denganku?’.
“namanya siapa?” tiba-tiba mulutku refleks mengatakan itu. Alice tertwa kecil melihat tingkahku. Aku segera menutupi mulutku dengan kedua telapak tanganku.
“sudah aku duga!”jawabnya. “namanya Yusuf Ahmad Saleh, ada keturunan arabnya. Dia seorang pengacara, selain itu jiwa sosialnya tinggi banget. Dia punya berbagai macam yayasan, selain itu dia juga pintar sekali, dia itu lulusan terbaik fakultas Hukum ternama di Bogor. Tapi sayang...”Alice berhenti sejenak dan menghela nafas membuatku penasaran. “dia seorang muslim.” Tambahnya. Yah aku sudah duga, tanpa Alice mengatakan itu wajahnya telah mengatakannya padaku. Aku hanya bisa menatapnya dari jauh, mengaguminya tanpa harus ia tahu.
“kenapa dia bisa jadi pembicara di kampus kita?”tanyaku betul-betul penasaran.
“jelas aku rasa dia adalah orang yang tepat untuk di jadikan tokoh Sosialis yang patut kita contoh mengingat kita adalah mahasiswa Sosiologi.”jawab Alice.

2 hari kemudian....
Entahlah tapi aku tak bisa membohongi perasaanku kalau aku bena-benar jatuh hati pada pria itu tapi aku tak sedikitpun punya kesempatan untuk lebih dekat dengannya. Setiap malamku habiskan hanya tersenyum menatap kaca ketika aku ingat senyum manisnya yang menari-nari di hatiku.  Rasnya dadaku sesak setiap aku ingat tak mungkin lagi ku menemuinya.
“tok...tok...tok...”suara ketukan pintu dari balik kamarku.
“Gissel...”seru mama di balik pintu.
“iya ma...”aku segera membukakan pintu untuk ibuku. Ibuku menggeleng ketika melihatku masih mengenakan baju tidur.
“sekarang kan kita mau dinner sama lowyernya papamu. Bukankah mama sudah bilang tadi siang.”aku menepak kepalaku.
“Gissel lupa ma, Gissel gak ikut boleh gak ma?” Gissel yang sangat penurut tersenyum.
“jelas harus ikut. Dia hanya dua hari di Surabaya. Besok dia harus kemabali ke Bogor. Dia sangat berjasa untuk keluarga kita. Maka akan lebih baik jika kamu mau ikut serta.”jelas mamaku. Tiba-tiba sesosok pria tinggi putih abangku Ivanof mengehampiriku.
“kamu harus ikut, dia sahabat abang saat SMA. Dia sempat tinggal dengan neneknya dulu di Surabaya.”cetusnya. dengan sedikit malas akupun akhirnya mengganti bajuku. Aku betul-betul tak merasa penasaran dengan kehadiran pengacara ayahku, atau sahabat kakaku saat SMA. Akhirnya kami betul-betul harus menmuinya di sebuah restoran. Tibalah kami di restoran itu. Sesosok pria yang ku kenal duduk di meja yang sudah di booking papa. Aku sedikit kaget melihat sosok mas Yusuf. ‘apakah dia pengacara papa?’ . dia pun berdiri saat kami tiba di hadapannya, sosoknya yang santun membuat ku mati kutu di hadapannya.
“selamat malam om, tante, Van...”dan dia menatapku sekilas, mungkin ia ingin menyebut namaku namun ia tak tahu harus mengatakan apa. Pria itu menyalami papa dan Ivan. Hanya ia begitu menjauhkan tangannya ketika bersalaman dengan aku dan mama. Ia hanya tersenyum ramah ketika aku dan mama mulai merasa bingung dengan gaya salamannya. Kami pun duduk.
“oh iya, Suf...ini adikku Gissel. Dia masih kuliah smster akhir jurusan Sosiologi.”jelas Abang membanggakanku. Yusuf tak sedikitpun memandangku. Ia hanya tersenyum pada abangku.
 “mas Yusuf sempat jadi pembicara pada saat seminar di kampus.”kataku. dia kembali tersenyum, hanya memandangku sejenak. Aku mulai bosan dengan tingkahnya yang betul-betul tak mengharagaiku saat aku bicara, dia tak memandang wajahku sama sekali. Saat itu kekagumanku mulai berkurang padanya ku fikir ia ternyata tak sesantun itu. Malam itu kami cukup akrab dengan mas Yusuf. Kami pun lantas pulang setelah berbicang-bincang.

***
“kenapa harus aku?”tanyaku saat papa memintaku mengantar Yusuf. Papa yang tengah menikamati kopi hangat di hadapannya tersenyum.
“papa dan abangmu hari ini ada meeting penting tak enakkan kalau kita tak mengantarnya kebandara.”jelas papa.
“memangnya kenapa? Kamu merasa keberatan?”tanya mama mengasongkan sepiring roti panggang di hadapanku, akupun menggeleng. Aku segera mengambil satu lembar roti dan memakannya.
“jam berapa?”tanyaku sedikit malas. “ aku tak suka ketika dia tak mau bersentuhan denganku saat berjabatangan.”rengekku. tiba-tiba abang tertawa.
“jadi karna itu. Aku memang belum sempat jelaskan. Dalam ajaran muslim memang seperti itu, setidaknya kata Yusuf pada ku. Katanya haram bersentuhan dengan yang bikan mukhrimnya. Dia memang seperti itu. Dia sangat taat dengan agamanya. Katanya itu adalah bukti bahwa kepercayaannya itu mengajarkan untuk selalu menjaga kesucian wanita.”penjelasan bang Ivan membuatku kagum, ternyata aku salah memahaminya. Tak seharusnya aku bersikap seperti tadi tanpa tahu sebabnya.
“abang kok bisa faham gitu sih bang?”tanyaku.
“jelaslah 3 tahun aku berteman dengannya, saat aku bertanya dia selalu menjawab hal yang sama. Pantaslah aku sangat ingat.”jawabnya. “antar saja, dia tak akan pernah macam-macam denganmu.”

***
Dia pun naik ke mobilku ketika aku menjemputnya dikediaman neneknya. Di mengangguk ramah padaku namun tak satu katapun yang terucap. dia lantas duduk di sebelahku tanpa melirik ke arahku. Dia tampak sangat risih saat duduk berdampingan denganku di dalam mobil. Beberapa menit kami terdiam bingung sekali harus ku awali dengan pembicaraan apa.
“mas Yusuf sudah lama mengenal papa?”tanyaku.
“tentu saja. Dia kan ayah sahabatku.”jawabnya sembari tersenyum. Entah mengapa rasanya mendengar kata-katanya aku sungguh merasa teduh.
“oh...saya sangat suka mendengar mas Yusuf berbicara saat di kampus.”kataku.
“oh ya?”dia tersenyum lebih hangat. “apa yang Gissel suka? Apa merasa termotivasi?” ia mulai asik. Aku segera mengangguk.
“rasanya enak sekali di dengarkan dan ingin ikut mencoba seperti mas Yusuf.”jawabku.
“insyaallah pasti bisa, asal Gissel mau berusaha dan semangat terus.”jawabnya. aku memandangnya sejenak.
“mas belum berkeluarga?”tiba-tiba mulutku mengatakan itu, saat aku menyadari ucapanku dan mas Yusuf tersenyum. “oh maaf mas, rasanya saya lancang menanyakan hal itu.”
“tak papa, saya memang belum berkeluarga. Bukan merasa tak puas dengan apa yang saya capai sampai saat ini, tapi memang masih banyak ke wajiban yang harus saya tempuh. Saya juga sadar betul dalam agama saya menikah adalah sebuah ibadah tapi untuk saat ini saya belum menemukan sesosok teman hidup sekaligus teman ibadah.”jelasnya. aku sungguh merasa melambung. Inilah jawaban yang paling aku harapkan. Rasanya kenyamanan timbul saat kata demi kata keluar lembut dari mulutnya.
“masa sih mas Yusuf tak punya pacar...”ledekku.
“pacar? Bahkan saya tak pernah berpacaran.” Jawabnya, aku tertawa geli.
“mas Yusuf bisa aja deh.”aku kembali konsentrasi dengan mobilku yang ku kemudikan.
“pacaran itu tidak ada dalam keyakinanku. Hanya menikah yang di haruskan. Maka jika ku menemukan jodohku kelak yang akan aku lakukan adalah menikahinya lalu memacarinya bukan memacarinya lalu menikahinya karena hanya dengan begitulah kita dapat menjaga kesucian perempuan.”jelasnya. lagi-lagi aku di buat tak bisa mengatakan apapun, sungguh aku merasa malu sekali, seumur hidupku baru dialah laki-laki terbaik yang aku kenal. Waktu betul-betul terasa cepat berlalu. Kami pun tiba di Bandara Surabaya, aku mengantarnya sampai dalam.  Dia mengucapkan banyak trimakasih padaku dan pergi. Aku tak sempat menanyakan berapa nomor telponnya atau bahkan di mana ia tinggal. Memang sangat di sayangkan, tapi apakah berguna jika aku mengetahi itu semua? Toh dia tak mungkin mau padaku, dia jelas-jelas sangat taat dengan keyakinannya dan aku? Siapa aku baginya, aku hanya bisa menghela nafas dan menyerahkan semuanya pada takdir yang mungkin akan jauh lebih indah.

***
“mau menungguiku sampai selesai shalat dzuhur?”tanya Sarah teman sekelasku yang beragama muslim. Aku mengangguk. dia sangat heran dengan tingkahku belakangan itu yang sering sekali mengikuti aktifitas gadis berjilabab itu.
“gak papa kan Sar?”tanyaku. di memandangku lekat-lekat.
“memang tidak papa. Tapi jangan sampai orang peranggapan lain karena kamu sering mengikutiku ke mushola.”jawabnya.
“aku hanya senang saat mendengar suara adzan dan orang-orang bersujud dengan balutan mukena.”kataku. Sarah tersenyum padaku.
“baikklah, aku shlat dulu...aku akan segera kembali.”dia pun masuk. Aku hanya bisa melihat mereka di balik jendela mushola. Entah mengapa belakangan itu muncul prasaan yang tak aku duga. Saat mendengar gema adzan, melihat gadis-gadis berbalutkan pakaian muslim dengan jilbab yang menutupi kepalanya, mendengar Sarah mengatakan ‘Subhanallah...Alhamdulillah...lailahaillallah...Allahuakbar...Astagfirullah...’ rasanya damai dan ingin ikut mengucapkannya. Mungkin bagiku ini sangat aneh entah karena ucapan-ucapan dari mas Yusuf atau kah memang ini adalah ilham. Berusaha ku tepis semua perasaan ini, tapi semakinku tepis rasanya aku semakin rindu dengan semu itu.
“sudah selesai?” tanyaku 20 menit kemudian setelah Sarah duduk di sampingku di depan mushola. Ia mengangguk. wajahnya tampak berseri-seri setiap ia selesai melaksanakan shalat.
“apa kamu tak merasa gerah dengan mengenakan jilbab dan baju yang besar?”tanyaku. dia tersenyum anggun.
“tentu tidak, memangnya kamu pernah mendengar aku mengeluh soal bajuku?”dia kembali bertanya. Aku segera menggeleng. “aku merasa kamu belakangan ini cukup aneh. Bolehkah aku tahu ada apa?”tanya dia menatapku. Aku ikut menatapnya, ingin sekali bercerita soal apa yang aku alami.
“Sarah...menurutmu, perasaan apa ini? Ketika aku mendengar gema Adzan aku sungguh merasa damai, aku selalu iri melihatmu menutupi tubuhmu dan di segani oleh kaum lelaki.”tiba-tiba air mataku jatuh, aku tidak sedih tapi entah mengapa hidupku terasa masih ada yang belum lengkap. Sarah terdiam, ia tampak bingung. “apa yang harus aku lakukan Sar? Entah mengapa hatiku sangat ingin menjadi gadis-gadis seperti kalian. Apa aku salah?”
“entahlah tapi bukankan kah ini salah bagi apa yang kamu yakini Sel?”dia bertanya balik padaku. Air mataku semakin deras mengucur.
“ya ini sebuah penghianatan. Tapi aku tak bisa apa-apa dan tak bisa bicara pada siapapun selain padamu.”jawabku. “maka tolonglah aku Sar, apa yang harus aku lakuakan?” Sarah memelukku.
“jangan pernah menuruti hawa nafsu yang sesaat, yakinkanlah dirimu Sel...saat kamu merasa yakin maka aku akan selalu menolongmu.”jawabnya.

1 bulan kemudian....
Perasaan itu malah semakin kuat di fikiranku, aku mulai sering sekali membaca buku-buku tentang Islam. Aku kembali menemui Sarah dan menceritakan tentang yang aku alami bahkan mimpi yang meyakinkanku untuk menjadi seorang mualaf. Aku memaksa Sarah untuk mengajariku shalat. Rasanya amat sangat damai sekali dengan balutan mukena bersujud menghadap kiblat. Hatiku rasanya di penuhi ketentaraman yang luar biasa. Setelah selesai shalat aku dan Sarah berhadapan, ia menatapku dengan senyum anggunnya.
“apa kamu sidah bicarakan soal niatmu ini pada orang tuamu Sel?”tanya Sarah. Aku menggeleng. “jangan mengambil keputusan sendiri, mintalah izin pada orang tua mu!”
“mamaku pasti akan sulit menerimanya karena ia adalah orang yang taat, tapi papa memang tak pernah permasalahkan semua ini krena ia kebalikan dari mamaku. Aku akan mengatakannya setelah aku menjadi mualaf.”jawabnya. Sarah menggeleng.
“Gissel mereka orang tuamu, mereka berhak atas kamu dan berhak memberikan pendapat tentang semua ini.”katanya membelai wajahku yang kembali harus mengucurkan air mata.
“aku tahu Sar, tapi akan sulit jika itu ku lakukan terlebih dahulu, terutama abangku dia tidak akan semudah itu menerimanya.”
“aku hanya tak ingin kamu menyesal Gissel.” Aku memeluk Sarah erat. Dan aku menggelengkan kepalaku.
“kamu tahu akukan? Sekali aku mengatakan ingin maka akan ku lakukan, apalagi aku sudah yakin, aku juga yakin kamu dan Allah akan membantuku menuju jalan lurus ini.”aku tersedu-sedu.
Akhirnya aku berani jujur setelah 2 hari aku tak pulang, orang tua dan kakakku sangat kaget dengan keputusanku saat itu. Keributanpun terjadi air mata berjatuhan, kejadian emosional itu terjadi cukup panjang. Sampai mama berani mengusirku dari rumah dan bersumpah untuk tak mengangggapku putrinya lagi. Tapi entah mengapa bahkan aku tak mempunyai rasa takut sedikitpun. Allah memberiku ketegaran dan keteguhan saat itu. Tak ada tempat yang bias ku datangi hanya kediaman Sarahlah yang bias ku datangi. Aku memohon untuk diberi tahu alamat pesantren milik ayahnya di Bogor, meski sulit membujuknya tapi akhirnya dia mau memberikan alamat itu padaku. Malam yang mengerikan itu bahkan tak kurasa keteguhanku untuk pergi memperdalam islam sangat kuat hingga mengantarku kepesantren itu.
Allah memang memiliki rencana indah dibalik setiap cobaan yang umatnya alami. Setelah 1 tahun aku di pesantren aku kembali berjumpa dengan mas Yusuf. Dia kaget bertemu denganku disana dan dengan penampilanku yang berbeda. Kami berbicara banyak dan kucurahkan semua hingga tanpa kami sadari itu adalah jalan bagi kami untuk bersatu. Orang tuaku mulai bias menerima dengan ikhlas keputusanku dan menerima mas Yusuf menjadi pendamping hidupku.
“Bantu aku untuk Ikhlas mas…sesungguhnya aku sadar semua takdir hidupku Allah telah mengaturnya dengan rapi.” Aku berdiri dan meninggalkan makam itu dengan menuntun Fajar. Fajar tersenyum padaku. Hanya senyum itulah yang membuatku sadar bahwa masih ada kehidupan dimasa depan yang harus ku jalani.

Selesai

Created by Evi Andriyani

1 komentar: