.fb_like_box { -moz-border-radius:5px 5px 5px 5px; border-radius:10px; background:#f5f5f5; border:1px dotted #ddd; margin-bottom:10px; padding:10px; width:500px; height:20px; }

Entri Populer

Jumat, 13 April 2012

You’re my Miracle




“There can be miracles when you believe…” seorang gadis mungil melantunkan lagu yang ku kenal cukup baik, ia duduk disampingku dan menantapku dalam. Kurasa usianya sekitar 7 tahun, ia menggenggam erat tanganku ketika ia melihat aku duduk sendiri dengan selembar dokumen yang ada di genggamanku. Sulitku membalas senyum itu namun ia tetap tersenyum.
“ tell me your problem!” anak kecil berwajah 100% Indonesia ini membuatku bingung, bukan karena aku tak mengerti dengan bahasa yang ia gunakan tapi ia benar-benar berbicara percis bule dan sangat fasih.
“I’m afraid…” jawabku. “I’m Sick…”
“I know coz u here with me…me too. This is hospital. Everybody’s here because them sick. Don’t be afraid you’re not alone.” Sambil memasangkan gelang kecil berwarna pink ke tangan kananku dan dia tersenyum.
“what is?” tanyaku.
“for u…one present…” aku mulai tersenyum geli. “I like you. You’re very kind and…handsome, I think. Do u want to be my friend?” tawaku mulai keluar. Ia tampak bingung namun ia juga tertawa. “wow…you laughing!!! I’m excited…” aku membelai kepalanya dan menggosok-gosoknya tapi aku kaget ketika aku tahu rambutnya tiba-tiba jatuh. Ia memakai rambut palsu untuk menutupi kepalanya yang bahkan tak ada sehelai rambutpun yang tumbuh di kepala anak kecil yang lucu itu. Ia tersenyum, belum saja aku minta maaf tiba-tiba seorang ibu memanggilnya.
“Syakira…”
“aku disini ma!!!” serunya. Aku hanya diam, anak kecil yang nakal…ternyata dia bisa bahasa Indonesia. Dia kembali memakai wignya dan berlari memeluk ibu itu. Ibu itu menatapku sejenak, lalau ia tersenyum dan mengangguk. Ku balas senyumnya dengan anggukan pula menandakan aku juga menghormatinya. Aneh rasanya tapi sungguh bebanku sedikit terasa ringan. Padahal tak banyak yang dilakukan gadis itu. Ku pandangi gelang konyol itu tapi senyum mulai mengembang di bibirku.
Ku berjalan menjauh dari tempat dudukku tadi dan keluar dari rumah sakit, aku mulai mengingat lagi dengan fonis dokter yang aku dapatkan hari ini. Jantung…mereka bilang aku sakit jantung. Seorang Alvin yang baru berusia 19 tahun dan tak pernah sakit tiba-tiba memiliki penyakit jantung. Parahnya lagi aku tak bisa menunggu lama jantung ini harus segera dicangkok. Dan siapapun tahu bahwa mencari jantung yang cocok itu sesulit mencari jarum dalam jerami. Mungkin harapan kecil bagiku tapi gadis kecil tadi juga membesarkan hatiku bahwa mungkin masih ada jalan lain yang harus ku tempuh dan kucoba.

1 minggu berlalu…
Tanpa satupun anggota keluargaku dan teman-teman kuliah yang tahu tentang penyakutku. Aku tetap menjalani rangkaian pengobatan rutin yang mulai aku jalanani minggu ini. Kini rumah sakit yang 1 minggu lalu ku datangi akan menjadi hunian baru bagiku.
Setelah menjalani rangkaian pemeriksaan, aku kembali mendatangi tempat sebelumnya ketika ku temui gadis kecil itu. Ku duduk menunggu, 15 menit, 30 menit, 60 menit, 90 menit, sampai aku mulai bosan menghitung seberapa lama aku menunggu tapi gadis itu tak juga muncul. Aku beranjak mencoba mencarinya tapi langkahku terhenti ketika ku lihat ibu yang kemarin memanggil anak itu tengah menangis tersedu-sedu di depan ruang ICU.
“tante…” Bisikku. Dia berdiri segera dan menghapus air matanya. Batinku tergerak dan ku peluk ibu itu. Merasakan kesedihan yang sama jika mamaku tahu tentang penyakitku. Ibu itu pun demikian aku yakin ia tengah menangisi anak lucu itu. Ia menangis dipelukanku.
Setelah itu kami berbincang diruang tunggu dengan segelas kopi dingin di genggaman kami.
“namanya Syakira…”ia memulai perbincangan. “umurnya baru saja 7 tahun.”ia berhenti sejenak dan meminum kopinya. Air matanya menetes lagi. ia menghapusnya dengan tisu yang ada di tangan kirinya. “tapi malangnya, gadis cantik yang aku lahirkan dengan susah payah mengalami penderitaan yang tiada henti sejak dia lahir.” Ku rangkul ibu itu dan menghapus air matanya untuk sekedar mengurangi bebannya. Disaat-saat seperti ini aku tak peduli akan pembicaraan orang melihatku memeluk seorang tante. yang ku fikirkan adalah mungkin mama akan merasakan hal yang sama. “dia adalah anak hasil bayi tabung…tanpa aku kira sebelumnya, ternyata dia memilik banyak kelainan kesehatan. Bahkan dokter bilang ini tak akan berhasil. Syakira tidak akan bisa hidup bertahan lebih dari 4 tahun, seberapa keraspun aku mencoba untuk membuatnya hidup lebih lama. Tapi tuhan berkehendak lain. Syakira bisa hidup sampai detik ini. Yang aku paling sesali adalah mengapa selama 7 tahun ini ia harus menetap di rumah sakit. Andaikan saja aku bisa membawanya lari dan jauh dari rumah sakit yang menjijikan ini tapi kenyataannya ia tak pernah bisa hidup berjauhan dengan rumah sakit. Hampir seluruh rumah sakit di Indonesia telah kami singgahi hanya untuk menyelamatkan satu nyawa saja. Bahkan kami sempat menetap di singapura selama 3 tahun belakangan ini tapi kenyataan tak pernah bisa sesuai dengan apa yang kita harapkan. Takdir tetaplah takdir. Dan itulah mengapa Syakira pandai berbahasa Inggris karena dia bilang saat kami tinggal di singapura ‘mungkinkah ini rumah terakhir bagiku? Jika iya, mungkin aku harus belajar bahasa inggris dengan benar mom…’ itu kata-kata yang paling menyakitkan bagiku.” ia menghela nafas panjang.
“tapi…bukankah Ayah Syakira seharusnya bersama kalian?”tanyaku.
Ia memandangku sejenak. “Tuhan…mungkinkah ini hukuman untukku?” ia menengadah. “aku tak pernah menikah dengannya (ayah Syakira). Aku hanya seorang dokter yang mencintai atasannya dan mencuri hal yang tak harus ku curi. Ia tak pernah tahu aku mengandung anaknya. Aku tak bisa memilikinya karena dia milik orang lain…tapi aku sangat ingin memilikinya. Karena keegoisanku, akhirnya aku memutuskan hal gila ini, ambisiku yang menggebu-gebu, aku berfikir mungkin aku tak bisa memilikinya tapi aku harus memiliki sebagian dari dirinya. Andai bisa ku perbaiki…” ia menutup wajahnya dengan kedua telapak tanagnnya.
“tidak ada yang harus tante sesali atas semua ini. Syakira tumbuh jadi anak yang kuat dan berani. Jangan tante tambah kesalahan tante dengan menyalahkan anugerah seperti Syakira.” Jawabku.
“kini…aku pasrah, aku tahu tak ada yang lebih baik selain melepasnya. Ia tak harus hidup dan menjalani hidup dengan teka-teki ini. Aku hanya ingin yang terbaik untuknya…terbaik…”dia menatapku dalam. Ia tersenyum sambil menyeka air matanya. “minggu lalu dia bilang, ‘mom…kamu harus memberikan kekuatanku untuk kakak yang sedih yang mengobrol denganku itu, dia bilang dia takut…sampaikan padanya bahwa tak ada yang harus di takuti…semuanya seperti menyusun pazzle, tampak membingungkan tapi saat kamu berhasil menyusnnya itu sangat menyenangkan.’ Aku masih sangat jelas mengingatnya. Dia sangat pandai dan tegar.”
Lalu seorang dokter keluar dengan keringat bercucuran dan muram. Mata wanita itu kosong seolah bisa menebak apa yang akan di katakana dokter itu. Wanita itu berdiri, aku pun begitu.
“aku tahu kamu pasti sudah ikhlas…ini yang terbaik untuknya Shella…” wanita yang kudengar bernama Shella itu tersenyum lega tapi terluka. Dokter itu pun memeluk Shella. “kamu wanita tegar…”
“Selamat jalan anakku…”desah wanita itu yang berusia sekitar 32 tahun itu.

Aku duduk termenung, bahagia, sedih, rindu dan bangga menusuk relung hatiku, didepan makam gadis cilik yang menyelamatkan hidupku. Ku belai nisannya dan ku sandarkan seikat bunga lili di sana. Aku tersenyum seolah ia ada di hadapanku.
“teriamakasih Syakira, karena kamu telah hidup untuk mengingatkanku, terimakasih karena detak jantungmu kini ada di dadaku…kamu akan selalu menjadi cahaya…bagiku, ibumu dan ayahmu yang akan menyadari kehadiranmu suatu saat nanti. Tersenyumlah…aku bangga padamu.”











Selesai…

Created by Evi Andriyani

About HIM…






Selalu ada banyak cerita dibalik kisah SMA, selau ada banyak rahasia dibalik kehidupan seseorang. Tentangku, tentangnya, tentang siapapun yang hidup didunia ini. Selalu ada saja yang membuatku tersenyum dengan lepas, menangis dengan keras, berteriak dengan lantang. Bahwa haruskah semua menyalahkan takdir dan merasa tidak adil?
Ini tentangnya, tentang kehidupan keras seorang Rivano Siregar. Tak tampak memang, dia lebih bisa di sebut laki-laki periang yang tak pernah melampiaskan amarahnya kepada siapapun. Vano laki-laki yang amat sangat mengagumkan dimataku. Entahlah seberapa jerawat telah ku pecahkan hanya karena memendam rasa cinta ini semenjak SMP. Tak ada yang tahu, tak ada yang mencari tahu. Aku bisa bilang aku adalah gadis bodoh yang nekat. Aku mengejarnya sampai di SMA ini, sampai kita satu SMA. Bodohnya lagi baru 1 bulan belakang ini dia mengenalku. Tapi tanpa ia sadari aku sudah mengenalnya dari ujung rambut sampai ujung kaki. Mungkin sanagat menyeramkan mencintai seseorang sampai seperti ini, aku pun menyadari akan hal itu. Tapi toh yang kulakukan masih dalam tahap wajar, aku tak melabrak para gadis yang berusaha mendekatinya, aku tak menyempilkan surat-surat cinta tanpa nama di locker atau di tasnya, aku tak berteriak-teriak dan mengatakan pada dunia kalau aku mencintainya. Hanya cukup aku tau kabarnya setiap hari itu sudah membuatku amat sangat puas.
1 bulan yang lalu untuk pertama kalinya ia menyapaku dan kami berkenalan.
“hai…Kamu Alysa kan?”Tanya Vano ramah padaku. Aku mengangguk segera dengan tangan gemetar. Aku berusaha menyembunyikan kedua tanganku di belakang punggungku. “aku Vano, kata anak-anak kamu yang nemuin kamera aku ya?”Tanya dia. Tuhan…inikah kesempatan itu??? Tanpa sengaja sehari sebelum itu aku menemukan sebuah kamera mahal di kantin sekolah. Tanganku terasa beku dan menggigil karena gugup. Aku mengangguk dan segera mangembilnya dari tasku.
“i…iya, aku nemuin ini di kantin pas pulang sekolah…”jawabku terbata-bata. Ia tersenyum senang dan mengambilnya.
“makasih banyak ya! Oh iya…”ia memandangku serius.
“kamu udah liat isinya?”Tanya dia, aku merunduk merasa bersalah karena aku melihat semua foto yang ada di dalamnya…memang tak banyak foto Vano disana, kalau pun ada ia berfoto dengan banyak orang dan salah satu orang yang bisa aku kenali di foto itu hanyalah ibunya Vano. Meski aku juga mencuri beberapa fotonya.
“maaf…aku liat foto-fotonya, aku cuman mau pastiin kalau pemiliknya siapa.” Dia diam sejenak lantas tersenyum kembali.
“kamu pucet banget…aku emang agak kecewa kamu udah buka-buka fotonya tapi aku gak akan makan kamu lagi.” candanya. “jangan bilang-bilang ya isinya apaan…” Vano memastikan kalau foto-fotonya masih utuh.
Aku mengangguk dan membalas senyumnya. “fotonya diambil pas pesta ulang tahun ya?”tanyaku. ia terhenti dan menatapku heran.
“ko tau?”Tanya dia.
“hmhhh…soalnya aku liat ada kue ulang tahun…”aku berusaha mengelak. Padahal aku sangat tahu kalau itu adalah ulang tahunnya. Ia tersenyum dan mengangguk.
“aku berhutang sama kamu…sebagai gantinya aku teraktir deh…” dorrrrr…rasanya ada ribuan petasan, kembang api di telingaku mendengar ajakan yang istimewa itu, indah sekali, rasanya aku melayang lepas seperti balon gas. “ko bengong? Gak mau ya?” aku sigap.
“mau…”jawabku segera, ia tertawa geli.
“idih…biasa aja donk!” tawanya renyah seperti kenatang goring dengan lesung pipi yang mengagumkan. Aku menghela nafas panjang. “mau makan dimana terserah kamu. Pulang sekolah aku tunggu di depan gerbang.” Dia berlalu. Aku menjerit dalam hati dan lompat-lompat kegirangan merasa dunia telah kugenggam dengan telapak tanganku.
Detik-detik menuju pulang sekolah sangat-sangat lamban, detak jantungku seperti tak seirama dengan waktu. Gelisah, bosan, konsentrasi pudar semuanya sangat melelahkan. Tak ada satupun pelajaran yang membekas diotakku. Hanya Rivano…Rivano…Rivano yang melayang-layang dalam fikiran dan hatiku. Teng…teng…teng… bell berbunyi nyaring. Inilah waktunya, aku berlari dengan semangat membara menuju gerbang sekolah.
Aku melihatnya…melihat sosok laki-laki impianku selama ini, dia duduk diatas motor Ninjanya. Dia melambaikan tangan dan tersenyum.
ketika ku sampai di hadapannya. “udah mutusin mau makan dimana?”
“hmh…aku belum mutusin, tapi dimanapun kamu ngajak aku aku pasti suka.”jawabku.
“loh kenapa? Aku kan gak tau kamu sukanya makan apa…” katanya.
“aku suka makan apa aja ko…aku gak ada alergi.”jawabku.
“wah…kebetulan donk, aku lagi pengen makan siang SeaFood…kita kerestoran deket sini aja kali ya.” Aku mengangguk. Yah…memang tak masalah, ini kesempatan besar bagiku, meski harus makan di emperan, di kolong jembatan aku gak peduli. Yang penting ada Vano di hadapanku pasti rasanya luar biasa. “ya udah…ayo naik!” aku bahagia, aku gembira dan tak bisa di uangkapkan dengan kata-kata untuk pertama kalinya aku naik dimotornya. Ini terasa seperti mimpi, aku duduk di belakang punggungnya dan merasakan kehangatan tubuhnya.
Motorpun melaju cukup kencang hingga tak terasa restoran sudah ada di depan mata. Aku pun turun dan kami berjalan berdampingan memasukinya. Vano memilih tempat duduk di dekat jendela dan tiba-tiba hujan turun sehingga pemandangan siang yang diguyur hujan itu tampak begitu indah. Dia memesan kepiting asam manis dan nasi goring seafood, aku memesan udang goring yang renyah. Kami bersenda gurau sambil makan ditemani jus yang segar. Makanan habis dan kami menikmati minum sambil memandangi hujan.
“pas SMP aku pernah lihat kamu deh…kita satu sekolahkan dulu?”Tanya dia. Aku kaget, ternyata dia ingat aku…apa mungkin dia juga tahu aku memperhatikannya selama ini??? Aku bertanya-tanya dalam hati, merasa malu kalu memang itu terjadi.
“iya, kamu inget? Kita juga satu angkatan tapi selalu beda kelas.” Dia tertawa.
“iya, aku tahu…aku sempet suka loh sama kamu.” Aku tersedak jus ku. Dia kembali tertawa.
“kamu kenapa? Aku pecanda…” jantungku kembali berdetak, ugh…andai saja itu nyata. “tapi kamu emang manis…aku selalu ngerasa mencintai itu sesuatu hal yang subjektif.” Katanya, aku terdiam ingin mengetahui alasan ini sejak awal. Mengapa tak juga ku dengar ia memiliki pacar? Padahal banyak sekali yang ingin menjadi pacarnya.
“cinta itu subjektif…aku gak suka sesuatu hal yang gak biasa aku lihat. Aku lebih suka kenyataan. Dan kenyataan yang aku tahu kalau cinta itu menyakitkan. Aku gak berani untuk memulainya karena belum saja aku mulai aku udah tau akhirnya kaya apa…”jelasnya. “akhirnya seperti ibuku…mencintai papa seperti mencintai tuhan, rela berkorban, rela di sakiti, rela di hianati dan rela di porakporandakan. pada akhirnya cinta yang manis itu berubah menjadi kebencian dan dendam yang membara.”
Aku tahu keluarganya tak utuh, aku tahu tidak hanya ibunya yang disakiti oleh ayahnya yang juga memiliki wanita lain tapi Vano pun begitu. Ia jadi bulan-bulanan ayahnya saat berusaha melindungi ibunya. Kejadian itu masih berlangsung sampai detik ini. Aku terdiam, memandanginya yang nyaris mengeluarkan air mata.
“cinta itu memiliki berbagi versi, mencintai dan harus memiliki meski itu sulit, mencintai dan tak harus memiliki meski itu menyakitkan…butuh banyak keberanian disana, keberanian untuk mereguknya perlahan meski tak bisa didapatkan, keberanian kalau cinta tak bisa sejalan dengan apa yang kita harapkan. Jangan memandangnya dari apa yang kamu lihat tapi pandang cinta dari apa yang kamu alami…” cetusku. Ia memandangku dalam dan kemudian mereguk kembali jusnya.
“keberanian itu lenyap setiap kali aku melihat air mata mama, dia menangis terluka di pelukanku. Tak ingin rasanya menyakiti wanita seperti papa menyakiti mama aku. Cukup sulit aku melihatnya. Goresan luka yang gak cuman dari hati, tapi juga fisik dan mental. Sejak aku lahir, sejak aku ada yang aku lihat hanya kekerasan, penghianatan dan air mata. Tanpa aku menjalaninya aku pun mengerti kalau memang begitulah cinta.” Kadang sulit di terima, aku faham dengan luka-luka yang berbekas dihatinya. Suatu saat nanati kamu pasti mengerti Vano.
“dan aku yakin ingin mengakhirinya…akhirnya aku berhasil meyakinkan mama bahwa dia tak sendiri, dan sudah saatnya dia lepas dari bayang-bayang pria kejam itu. Mungkin aku tak pantas di sebut anak setelah aku berulang-ulang memaksa ibuku menggugat cerai orang yang paling dicintainya tapi…mama juga tak menginginkan aku terus jadi korban akhirnya keputusan itu dibuat, aku menang. Besok persidangan itu digelar dan besok akan jadi awal yang indah bagi mama dan aku.” Aku tersenyum bahagia melihat ia tampak bahagia dengan ucapannya yang begitu tegas.
Hujanpun berhenti, kami harus pulang. Ia mengantarku sampai depan rumah. Inginku ungkap semua yang mengganjal dalam hatiku selama ini. Tapi lagi-lagi ku urungkan. Aku harus menghormati keputusannya dan tanggapannya tentang cinta. Aku faham, ia takan punya waktu untuk sekedar memikirkan cinta. Ibunya jauh lebih membutuhkannya dari pada aku, biarkan perhatiannya terpusat hanya untuk ibunya sampai ia merasa ia siap untuk memulai cinta itu mekipun bukan aku orang yang ia cintai kelak.
Tak kusangka, ternyata itu menjadi pertemuan terakhir kami. Setelah persidangan itu selesai dan kedua orang tuanya resmi bercerai Vano pergi entah kemana. Aku tahu maksudnya. Ia ingin membuang jauh-jauh kenangan buruknya disini, ia ingin menciptakan kenangan indah yang baru, memulainya dari nol tanpa bayang-bayang kekerasan lagi. dan ini akhir dari pengamatan cinta yang kulakukan terhadap Vano. Akupun menata hatiku, menata fikiranku dan membuat Vano menjadi kenangan indah meski tak sekalipun aku memilikinya. Aku bahagia mendengar ia telah lepas dari bebannya dan aku juga telah melepas rasa cintaku bersama kebahgiaan yang ia miliki saat ini. Menata kembali cinta masa depan yang akan ku songsong tanpa menyerah.

Selesai

Createdby: Evi Andriyani

Pantas di Cinta





Berjalan menyusuri jalan setapak menuju gedung resepsi. Pernikahan ini sangat melelahkan bagiku karena jantungku berdebar lebih cepat dari kedipan mataku. Tidak…ini bukan perasaan bahagia tapi perasaan sakit yang tida tara. Rasanya muncul banyak pori-pori di hatiku dan mulai membengkak mengikuti desahan nafas yang terasa akan terhenti. Betapa tidak, hari ini aku harus siap menyalami dan memberi selamat orang yang aku cintai menikah dengan wanita lain.

Flashback:
Kami berjalan menyusuri tepi pantai bergandengan tangan dengan eratnya, mengayun-ngayunkannya, tertawa melupakan beban. Tiba-tiba langkah Nanda terhenti, dia membalikan badanku dan memandangku serius.
“Chelsea aku…Aku cinta sama kamu…” aku tertawa, bahagia merasa akulah pemenangnya mendengar kata-kata itu. Tapi aku juga sadar setelah kata-kata manis itu pasti ada kata-kata lebih menyakitkan di baliknya. “Tapi aku gak bisa miliki kamu, aku gak bisa menjaga keabadian cinta kita.” Sambungnya. Aku terdiam, menyadari sekali bahwa hal ini akan terjadi padaku begitu saja. Aku berjinjit dan memeluknya. Ku tarik nafas berusaha tenang.
“Aku tahu ini akan terjadi, aku tahu hal ini akan terjadi pada hubungan kita. Aku bahagia meskipun aku hanya bisa memilikimu selama 2 bulan terakhir ini, aku bahagia meskipun aku hanya mencurimu dari dia sementara.” Jelasku. Ia melepas pelukanku.
“aku gak bisa mengakhirinya dan maafkan aku jika lagi-lagi kamu menjadi korban…”matanya berkaca-kaca.
“aku tak pernah menyalahkanmu karena ini adalah keinginanku…”jawabku pelan.
“Pernikahannya minggu depan…” dia menengadah menahan air matanya yang hampir menetes. “andai aku bisa lari sama kamu, melupakan semuanya…”ku hentikan semuanya dengan memeluknya kembali. Aku berusaha setenang mungkin meski hatiku hancur. Aku menyembunyikan air mataku dibalik dadanya yang bidang.
“Lari bersamamu bukan hal yang aku mau, memilikimu bukan ambisi terbesarku. Tapi dapat mencintaimu dan dapat melihatmu bahagia itu adalah ambisiku. Berhentiah bersikap seolah-olah kamu bisa mengatur waktu dengan telunjukmu. Hidup bahagialah dengannya dan hapuslah sisa-sisa cinta yang ada dihatimu untukku. Aku dan kamu bersalah selama ini, maka untuk menebusnya lupakan aku…tetap pandang aku sebagai teman masa kecilmu jangan pernah memandangku lagi sebagi seorang wanita yang kamu cintai. Luapkan seluruh cinta kamu buat aku hari ini sepuas kamu. Tapi saat esok tiba, hapus memori yang kita buat hari ini…” kata-kata itu keluar begitu saja dengan mudah tanpa dia tahu hatiku tersayat-sayat.
Dia mulai menangis, menangisi kata-kataku dan mungkin karena ia tak bisa berbuat banyak untukku.
“Andai aku kenal kamu lebih dulu Chels…” suaranya terdengar serak.
“itulah jodoh…Tuhan telah mengatur rapi semuanya…dan aku datang untuk mengotak-atik perasaanmu menjelang pernikahanmu…ini keterlaluan…aku menyadarinya, tapi aku juga menyadari seberapa besar cintaku untukmu…” desiran ombak terdengar seperti suara pedang yang siap mencincang hatiku menjadikannya rendang dan disantap monster-monster luar angkasa. Terdengar berlebihan memang tapi itulah yang aku rasa.

Keseimabangan langkahku mulai terganggu ketika tepat 100cm dari pandanganku Nanda tengah berdiri dengan wanita yang bernama Febi di pelaminan. Mereka tersenyum pada setiap tamu. Satu ketika mata kami bertemu dari jarak jauh. Matanya hanya mengisyaratkan penyesalan dan ketika ada tamu yang ingin bersalaman dengannya ia kembali lagi berpusat pada tamu dan mengabaikanku.
“kamu kenapa sih Chels?” Tanya Yoda temanku. “kamu pucet banget deh…” aku segera bangkit dan menutupi semua. Aku tahu dan menyadarinya bahwa aku terlihat aneh dan wajahku pucat seperti mayat. Kami berjalan, Yoda menuntunku karena aku memintanya. Aku mencoba menguatkan diriku dan melupakan semuanya. Tibalah aku di depan Nanda. Jantungku rasanya berhenti, tanganku terasa kaku untuk bersalaman dengan wanita itu. Tapi ku paksakan untuk memeluknya.
“se…selamt!!!”kataku. wanita itu tersenyum dengan lesung pipi yang indah. Kulepas pelukannya dan memandangnya jauh lebih lama. Dia sangat cantik, Nanda berhak mencintainya.
“teriamaksih ya sudah datang…”jawabnya. Aku mengangguk, aku melangkah menuju Nanda. Mata kami saling memandang. Air mataku jatuh tak tertahan lagi. tanganku gemetar dan ku terus memaksakannya hingga tangan kita menyatu. Nanda pun menjatuhkan air matanya.
“selamat…”kataku pelan. Tapi ia menarikku dan memelukku. Rasanya aku melayang dan semua berakhir gelap. Aku tak bisa lagi menahannya, tak bisa lagi membendungnya, terlalu sulit, terlalu sakit. Aku hanya tau aku berada dalam kegelapan yang tak diketahui siapapun dimana keberadaanku.
‘Jika cinta itu tak pantas untukku, maka jadikanlah cintaku ini kebahagiaan baginya dan berikanlah dia cinta yang pantas untuk bisa disebut cinta…’

Selesai

Createdby: Evi Andriyani

Selasa, 10 April 2012

Everlasting



“happy anniversary mywife…” Bisik laki-laki tua di hadapanku. Suami yang sudah hidup bersamaku selama 40 tahun. Rudolf… mencintaiku lebih dari mencintai dirinya sendiri. Semua terbukti, ia menunjukan itu semuanya selama ini. Aku tiba-tiba memejamkan mata dan air mataku terjatuh tiba-tiba. Ia mencium keningku mesra, rasanya masih sama seperti ciuman pertama kami. “ayo kita tiup lilinnya sebelum meleleh di kue dan kita takan bisa memakannya…” ledeknya. Aku tertawa dan kami meniupnya bersama-sama.
“Sayang, aku rasa ini berlebihan. Usia kita sudah hampir 65 tahun dan sudah cukup renta untuk merayakan hal seperti ini.” Dia menggenggam tanganku dan tersenyum.
“Aku merasa tak pernah tua selama bersamamu sayangku…” dia selalu bisa membuatku tersenyum. Setiap tahun selalu ada saja hal yang membuatku terharu diulang tahun pernikahan kami. Membooking Restoran, makanan yang istimewa dengan lilin-lilin di meja, berdansa layaknya remaja Eropa yang dimabuk asmara. 40 tahun rasanya waktu yang sangat cepat untuk merajut kasih dengannya. Dia adalah hidupku, hanya dia yang aku miliki. Tapi rasa sesak selalu menghampiriku setaip kali aku mengingat hal yang takan pernah bisa aku berikan padanya. Aku merasa tidak berguna, merasa tak pantas untuk dicintai oleh orang sesempurna Rudolf. Rudolf menyadari aku melamun.
“Aku yakin kau tengah memikirkan hal itu lagi Isabella…” cetusnya sambil menggenggam tanganku. “Sudahlah…kumohon! Ini sudah 40 tahun. Jangan pernah lagi menghakimi dirimu karena itu takan mengubah rasa cintaku padamu, sayangku!” kini ku cium punggung tangan suamiku.
“Aku tak pernah berhenti berterimakasih padamu dan aku takan pernah berhenti menyesalinya..” jawabku.
“oh…Bella aku sudah menjelaskan padamu berjuta kali…”sergahnya, “bahwa tak ada anak dalam kehidupan kita bukanlah hal besar. Hanya memilikimu saja itu sudah menjadi anugerah bagiku. kita sudah berusaha selama ini tapi Tuhan tak mengizinkannya. Maka aku terima. Asalkan kau dan aku tetap bersatu, itu cukup bagiku. asal bisa membuatmu bahagia itu bahagia untukku.” Jelasnya.
Setiap tahun memang inilah topic utama kami. Kami membahas kegagalanku melahirkan keturunan untuk Rudolf suamiku. Tentang seberapa keras kami mencoba dan ketika aku mengandung setelah 15 tahun pernikahan kami, janin itu harus gugur dan ditambah lagi dengan rahimku yang harus diangkat karena keguguran itu melukai rahimku. Tapi Rudolf tak pernah berhianat dan pergi, ia tetap disisiku, menjadi malaikat penjagaku yang siaga. Mungkin hidup kita sudah sempurna dengan sifat baik yang Rudolf punya, dengan harta yang kami miliki. Makannya Tuhan tak mengharuskan kita memiliki keturunan. Tapi sebenarnya jika Rudolf ingin ia bisa memilikinya dari wanita lain, namun tidak. Seberapa sering pun ia kusuruh mencari wanita lain ia tetap dengan pendiriannya serta menjaga janjinya agar tetap setia kepadaku bagaimanapun kondisiku.
“Maafkan aku sayang…seharusnya di usia kita ini kita bisa menggendong cucu…” aku menutup wajahku dengan kedua telapak tanganku. Ia menggeserkan tempat duduknya hingga kami bersebelahan. Ia memelukku erat.
“Aku sudah menegaskan sejak aku menikahimu bahwa apapun kondisimu, apapun yang akan terjadi dan sudah terjadi padamu, aku akan menerimanya. Karena itu adalah rasa cintaku padamu. Dengan atau tanpa anak di sisi kita…” aku melepas pelukannya dan menatapnya dalam.
“Kenapa rasa cinta itu tetap ada meski aku tak sempurna?” tanyaku.
“Karena kekuranganmu itulah aku jadi bisa melihat kelebihanmu…kau terlalu sempurna bagiku hingga aku tak berani menuntut lebih. Hanya cintamu yang aku butuhkan untuk menemani hari tuaku. Hanya kau yang aku tahu.” Aku memeluknya lebih erat, seolah menyampaikan rasa cintaku padanya.b “Bukankah kita tampak jauh romantic tanpa anak-anak yang mengganggu kita.” Candanya membuatku tetawa kembali.
Mungkin setiap orang sukses selalu berfikir tentang penerus yang akan mengelola harta mereka. Mempersiapkan anak laki-laki mereka menjadi seorang pemimpin, mempersiapkan anak perempuan mereka menikahi laki-laki mapan. Tapi aku dan suamiku berbeda. Kami memberikan sebagian pendapatan kami setiap bulan bagi orang yang membutuhkan dan tidak memusingkan kemana harta ini akan mengalir kelak seteh kami tiada. Karena pada dasarnya semua ini milik Tuhan, kami menikmatinya dan memanfaatkannya selagi itu positif.

Selesai

Created by: Evi Andriyani