.fb_like_box { -moz-border-radius:5px 5px 5px 5px; border-radius:10px; background:#f5f5f5; border:1px dotted #ddd; margin-bottom:10px; padding:10px; width:500px; height:20px; }

Entri Populer

Selasa, 10 April 2012

Everlasting



“happy anniversary mywife…” Bisik laki-laki tua di hadapanku. Suami yang sudah hidup bersamaku selama 40 tahun. Rudolf… mencintaiku lebih dari mencintai dirinya sendiri. Semua terbukti, ia menunjukan itu semuanya selama ini. Aku tiba-tiba memejamkan mata dan air mataku terjatuh tiba-tiba. Ia mencium keningku mesra, rasanya masih sama seperti ciuman pertama kami. “ayo kita tiup lilinnya sebelum meleleh di kue dan kita takan bisa memakannya…” ledeknya. Aku tertawa dan kami meniupnya bersama-sama.
“Sayang, aku rasa ini berlebihan. Usia kita sudah hampir 65 tahun dan sudah cukup renta untuk merayakan hal seperti ini.” Dia menggenggam tanganku dan tersenyum.
“Aku merasa tak pernah tua selama bersamamu sayangku…” dia selalu bisa membuatku tersenyum. Setiap tahun selalu ada saja hal yang membuatku terharu diulang tahun pernikahan kami. Membooking Restoran, makanan yang istimewa dengan lilin-lilin di meja, berdansa layaknya remaja Eropa yang dimabuk asmara. 40 tahun rasanya waktu yang sangat cepat untuk merajut kasih dengannya. Dia adalah hidupku, hanya dia yang aku miliki. Tapi rasa sesak selalu menghampiriku setaip kali aku mengingat hal yang takan pernah bisa aku berikan padanya. Aku merasa tidak berguna, merasa tak pantas untuk dicintai oleh orang sesempurna Rudolf. Rudolf menyadari aku melamun.
“Aku yakin kau tengah memikirkan hal itu lagi Isabella…” cetusnya sambil menggenggam tanganku. “Sudahlah…kumohon! Ini sudah 40 tahun. Jangan pernah lagi menghakimi dirimu karena itu takan mengubah rasa cintaku padamu, sayangku!” kini ku cium punggung tangan suamiku.
“Aku tak pernah berhenti berterimakasih padamu dan aku takan pernah berhenti menyesalinya..” jawabku.
“oh…Bella aku sudah menjelaskan padamu berjuta kali…”sergahnya, “bahwa tak ada anak dalam kehidupan kita bukanlah hal besar. Hanya memilikimu saja itu sudah menjadi anugerah bagiku. kita sudah berusaha selama ini tapi Tuhan tak mengizinkannya. Maka aku terima. Asalkan kau dan aku tetap bersatu, itu cukup bagiku. asal bisa membuatmu bahagia itu bahagia untukku.” Jelasnya.
Setiap tahun memang inilah topic utama kami. Kami membahas kegagalanku melahirkan keturunan untuk Rudolf suamiku. Tentang seberapa keras kami mencoba dan ketika aku mengandung setelah 15 tahun pernikahan kami, janin itu harus gugur dan ditambah lagi dengan rahimku yang harus diangkat karena keguguran itu melukai rahimku. Tapi Rudolf tak pernah berhianat dan pergi, ia tetap disisiku, menjadi malaikat penjagaku yang siaga. Mungkin hidup kita sudah sempurna dengan sifat baik yang Rudolf punya, dengan harta yang kami miliki. Makannya Tuhan tak mengharuskan kita memiliki keturunan. Tapi sebenarnya jika Rudolf ingin ia bisa memilikinya dari wanita lain, namun tidak. Seberapa sering pun ia kusuruh mencari wanita lain ia tetap dengan pendiriannya serta menjaga janjinya agar tetap setia kepadaku bagaimanapun kondisiku.
“Maafkan aku sayang…seharusnya di usia kita ini kita bisa menggendong cucu…” aku menutup wajahku dengan kedua telapak tanganku. Ia menggeserkan tempat duduknya hingga kami bersebelahan. Ia memelukku erat.
“Aku sudah menegaskan sejak aku menikahimu bahwa apapun kondisimu, apapun yang akan terjadi dan sudah terjadi padamu, aku akan menerimanya. Karena itu adalah rasa cintaku padamu. Dengan atau tanpa anak di sisi kita…” aku melepas pelukannya dan menatapnya dalam.
“Kenapa rasa cinta itu tetap ada meski aku tak sempurna?” tanyaku.
“Karena kekuranganmu itulah aku jadi bisa melihat kelebihanmu…kau terlalu sempurna bagiku hingga aku tak berani menuntut lebih. Hanya cintamu yang aku butuhkan untuk menemani hari tuaku. Hanya kau yang aku tahu.” Aku memeluknya lebih erat, seolah menyampaikan rasa cintaku padanya.b “Bukankah kita tampak jauh romantic tanpa anak-anak yang mengganggu kita.” Candanya membuatku tetawa kembali.
Mungkin setiap orang sukses selalu berfikir tentang penerus yang akan mengelola harta mereka. Mempersiapkan anak laki-laki mereka menjadi seorang pemimpin, mempersiapkan anak perempuan mereka menikahi laki-laki mapan. Tapi aku dan suamiku berbeda. Kami memberikan sebagian pendapatan kami setiap bulan bagi orang yang membutuhkan dan tidak memusingkan kemana harta ini akan mengalir kelak seteh kami tiada. Karena pada dasarnya semua ini milik Tuhan, kami menikmatinya dan memanfaatkannya selagi itu positif.

Selesai

Created by: Evi Andriyani

1 komentar: