.fb_like_box { -moz-border-radius:5px 5px 5px 5px; border-radius:10px; background:#f5f5f5; border:1px dotted #ddd; margin-bottom:10px; padding:10px; width:500px; height:20px; }

Entri Populer

Sabtu, 17 Desember 2011

Missing You


Missing you

            “gimana anak saya dok???”sentak Soraya ketika dr. Fajrina keluar dari ruang rawat inap VVIP. dr. Fajrina menghela nafas panjang.
            “seperti yang sudah saya katakan sebelumnya, kalau Jeremy mengalami trauma yang cukup serius.”jawabnya. “Saya bisa katakan keadaannya sangat kritis, dia bisa tiba-tiba histeris dan akan ada kemungkinan buruk lainnya, banyak-banyaklah berdoa karena keadaan fisiknya yang lemah membuatnya sulit bertahan.”
            “boleh saya masuk...?”tanya Soraya sembari menghapus air matanya.
            “enggak...aku gak pernah bisa bohongi diri aku kalau semua ini karna suami kamu yang bejad itu, dan hal ini karna kecerobohan kamu. jadi aku putusin buat gak biarin kamu ketemu dengan anakku.” Jelas Adam Khaliq mantan suami Soraya 9 Tahun yang lalu.
            “tapi Adam...Jem juga anak aku...aku yang lahirin dia.”
            “so far aku selalu menyadari akan hal itu, tapi kali ini aku gak bisa Ya...! maafin aku...” dr. Fajarina teridam, ia tak bisa terlalu jauh mengomentari selain kondisi Jeremy. Adam pun masuk dan mengunci pintu segera.
            “Adam...!!!”seru Soraya mengentuk pintu, dua orang seumuran yang pernah saling cinta itu selama 9 tahun terakhir ini selalu berseteru dan tak pernah saling menghargai. Mereka tak sadar bahwa keegoisan merekalah yang membuat Jeremy kesepian dan rapuh.
            Adam melangkahkan kakinya perlahan menuju ranjang buah hatinya. Untuk pertama kali dalam hidupnya bahkan ketika ayahnya meninggal ia tak menangis tapi kini menghadapi putra semata wayangnya tergeletak tak berdaya di hadapannya ia menangis. Adam pun duduk di kursi sebelah ranjang. Ia menggenggam tangan putranya yang sudah nyaris seukuran dengannya, tangan yang kini tak berdaya, tangan yang lebih kurus dari tangannya. Tersedu-sedu ia menatap puteranya yang terjaga, memar biru masih melingkar jelas di plipis matanya, sekitar bibirnya, tangan kanan puteranya masih di balut dengan perban berwarna kulit...sungguh ia merasa bodoh, selama ini ia fikir dirinyalah yang menjadi tumpuan dari segala masalah yang dialami puteranya. Tapi ternyata dibalik kejujuran Jeremy, Jeremy m enyimpan 1000 rahasia yang selama 9 tahun ia tanggung sendiri tanpa membaginya dengan siapapun. Kebringasan ayah tirinya menjadi rahasia besar yang ia tutup-tutupi selama ini. Aku bahkan tak bisa menyadari ketika dia datang kerumahku dengan memar biru ditubuhnya, aku hanya selalu berfikir itu adalah bagian dari kenakalan lelaki padahal itu adalah ulah ayah tirinya.
            “ma...maafin papa...papa lengah sayang, maaf nak...”perasaannya sungguh terasa dicabik-cabik, ia bahkan tak peranah mencubit puteranya tapi dengan beraninya Ayah tirinya melakukan hal sekeji itu. “papa berdosa...seharusnya papa yang dapet hukuman ini...” tiba-tiba Adam teringat saat 2 minggu lalu Jeremy keruamanhya...

“inikan hari ulang tahun Jeremy yang ke 19 tahun,,,tante Maya mau bilang sesuatu sama kamu...”cetus Maya kekasihku yang sudah ku pacari selama 5 tahun terakhir, ia seperti ibu kedua bagi Jem, tentu saja itu hanya perkiraanku saja. Maya dengan penuh senyum memberikan sepotong softcake pada Jem. Aku tersenyum melihat keakraban mereka. “tante Maya sama papa kamu bakalan nikah bulan ini...” Jem tersedak dan menatapku dengan wajah sedih dan tak pernah sekalipun aku melihat ekspresi itu selama dia dating ke rumahku. “minum dulu sayang...!” Maya memberinya secangkir teh. Makan malam itu terasa sangat canggung setelah ekspresi itu keluar dari wajah Jem. 
            Tatapan Jem membuatku tak bisa berkutik, aku merasa sangat bersalah mengatakan itu semua. “hmm...kalau kamu gak setuju, bisa diundur lagi kok Jem...” Maya menendang kakiku.
            Dia tak berkata apapun, hanya menggeser kursinya dan kembali menatapku dengan tatapan yang sama.
            “aku...mau rayain ulang tahun bareng sama temen-temen di cafe, mungkin mereka udah nunggu aku pa.”dia berdiri dan melempar sedikit senyum yang berat pada Maya. Maya pun merasakan keanehan itu.  Jem mengambil tasnya dan keluar, perasaanku langsung kacau, jem tak pernah ingin merayakan ulang tahunnya dengan siapapun kecuali denganku dirumahku, ia tak pernah nyaman dengan pesta, ia hanya menyukai keheningan. Ku kejar Jem yang sudah sampai teras depan.
            “Jem...!”seruku. ia pun berbalik. “ini udah malem...kitakan biasa rayain bareng-bareng...”bujukku. Jem tersenyum kecil.
            “aku udah janji sama temen-temen aku...”
            “Jeremy...” ku tarik tangannya. “kamu kenapa? Kamu gak suka tante Maya ngomong gitu? Kamu gak mau papa nikah?”tanyaku. lama sekali dia terdiam, sesekali menghela nafas.
            “kalau aku bilang iya apa itu adil buat papa? Kalau aku minta papa gak usah nikah lagi dan tetep jadi milik aku, apa itu mungkin? Aku gak mau jadi penghalang, tapi aku juga gak mau kehilangan papa kayak aku kehilangan mama saat ini.” Jem melepas tanganku perlahan. Ia berjalan menjauh dari kediamanku dengan motor yang ku hadiahkan untuknya 2 hari yang lalu.
            Sejak saat itu Jem tak pernah muncul lagi di hadapanku, ia tak pernah mengangkat telponku, membalas smsku, datang kerumah tiap akhir pekan. Tak ada lagi cerita lucu, curhat masalah Vennita gadis pujaannya lagi. Penyesalan silih berganti menghinggapiku tapi apa gunanya? Haruskan aku membatalkan pernikahanku dengan Maya yang hanya tinggal menghitung minggu? Bagaimana dengan perasaan Maya nanti? Tapi aku pun tak bisa membiarkan anakku terluka lagi dan lagi.

            “Jem...papa janji...papa janji, papa gak akan nikah lagi, papa akan selalu sama-sama kamu, papa janji papa Cuma buat kamu nak...” Adam kembali menangis. Jem terbangun, matanya terlihat sangat lelah, ekspresi yang Adam lihat saat itu kini sama persis dengan ekspresi wajah Jem yang sedang sakit. ‘Ya Tuhan aku bahkan tak menyadarinya, mungkin saat itupun jem tengah terluka, tengah sakit dan semua karena aku.’
            Jem menatap Adam sesaat, matanya tiba-tiba menggenang, seperti ia ingin mengatakan semua kesakitannya selama ini. Pertama-tama hanya cegukan yang Adam dengar, Adam  tahu betul ia menahannya selama ini.
            “papa…”bisiknya yang tampak lelah.
            “iya nak ni papa…” Adam menggenggam tangan Jem lebih kuat. “ada yang sakit nak?” Jem mengangguk dan tangannya menunjuk kedadanya.
            “Sakitnya di sini…” aku sungguh panik, yang ada difikiranku mungkin ada benturan didadanya saat pertengkaran antara Jem dan ayah tirinya.
            “Sebentar papa panggil dokter ya!” dia menarik tanganku dan menggeleng.
            “Dokter gak akan bisa nyembuhin luka aku…”jawabnya dan aku bisa memahami bahwa yang sakit itu hatinya. Betapa bodohnya aku sebagai ayah yang bahkan tak bisa memahami perasaan anakku sendiri. “Aku takut, aku sakit, aku kesepian…” ku peluk dia mencoba meyakinkannya bahwa aku ada untuknya.
            “ada papa nak disini.”air mataku terus mengalir.
            “aku hanya berharap, jika itu mungkin bisakah Tuhan mencabut nyawaku saat ini.” Ku lepas pelukanku dan menatapnya.
            “jangan pernah mengeluarkan kata-kata seperti itu!” Bentakku. “masih ada papa disini.” Dia menarik kembali tanganku dan menggenggamnya.
            “Jika aku mati, berjanjilah satu hal pa!” katanya.
            “Jem…!”
            “Jangan pernah bercerai lagi ketika papa menikahi tante Maya, itu akan sangat menyakitkan bagi anak papa kelak, dan jangan pernah berseteru dengan mama lagi. Sebenernya kebahagiaan yang nyata buat aku adalah saat mama dan papa bisa akur dan saling berbicara!” ku genggam tangannya lebih erat lagi sambil menangis tersedu-sedu.
            “papa mohon jangan pernah mengatakan itu lagi nak!” ku ciumi tangannya yang dingin.
            “Aku hanya ingin lepas dari beban ini, ikhlaskan aku pa! hanya dengan cara inilah kebahagiaan akan menghampiri kita semua.” Aku tak bisa berkata-kata lagi, “aku lelah pa, lelah sekali…”suaranya mulai samar-samar. Ku pejamkan mataku mencoba menahan air mata tapi saat ku buka mata Jem menutup matanya, tangannya yang ada digenggamanku terlepas begitu saja. Ya Tuhan dia sudah tidak bernafas lagi. Aku panik dan terus berteriak memohon bantuan. Dokter dan suster datang, mereka berlarian dan mencoba menyelamatkan Jem dengan alat-alat yang menyakitkan tapi tiba-tiba hatiku tergerak.
            “hentikan! Jangan lakukan itu!” dokter berhenti ketika aku berteriak. “dia sudah sangat menderita dan jangan pernah menyakiti dia di saat terakhir ini. Dia gak akan kembali!” Soraya yang sejak tadi menunggu di luar pun akhirnya masuk.
            “apa yang terjadi? Kenapa kalian diam???” teriaknya. “selamatkan anakku!”
            “hanya satu cara menyelamatkan jem yaitu dengan melepaskannya.”
            Soraya mulai menangis histeris di hadapanku, hal yang bisa ku lakukan hanya berusaha menenangkannya dengan memeluknya. Setidaknya mungkin Jem akan bahagia melihat aku menenangkan ibunya. Aku memang ayah yang tak berguna, andai bisa ku ulang waktu tak akan pernah ku ikuti egoku untuk bercerai tapi apa yang ku sesali saat ini tak akan pernah membuat Jem kembali padaku. Aku hanya berharap tak akan ada Jeremy-Jeremy yang lain yang akan terluka seperti Jeremy kami. Dunia memang bukan tempat yang indah untukmu nak, mungkin di sanalah tempat yang baik untukmu. Tunggu papa dikeabadian.

Selesai

Created by Evi Andriyani
           
           
           


Tidak ada komentar:

Posting Komentar