.fb_like_box { -moz-border-radius:5px 5px 5px 5px; border-radius:10px; background:#f5f5f5; border:1px dotted #ddd; margin-bottom:10px; padding:10px; width:500px; height:20px; }

Entri Populer

Minggu, 05 Februari 2012

Senyuman....



“Rackaaa...”teriakkanku yang histeris membuat para pelayad di makam itu menoleh kearahku yang baru saja datang. Air mataku tumpah ruah. Aku berlari menuju pemakaman itu. Tanahnya masih sangat basah saat ku sentuh karena baru saja beberapa menit yang lalu kuburan itu tertutup oleh tanah. Gerimis hujan dan mendungnya awan seolah mewakili kesedihanku. Penyesalan yang teramat dalam sungguh ku rasakan setelah dia pergi. Racka Ramadhan, adik tiriku. Anak berusia 17 tahun yang mengajariku arti sebuah senyuman.
Aku Leandra, wanita keras dan sangat jutek setidaknya itulah penilaian orang tentang aku. Aku seorang pengacara, usia ku sudah 27 tahun. Sejak kecil aku hidup dalam keadaan broken home. Ayahku Bramana Santoro sering sekali menikah siri. Bisnis yang melaju pesat merubah ayahku jadi seorang pria yang serakah dan kasar. Ia bahkan berani menikahi beberapa wanita dan berterus terang pada ibuku. Meski ibu satu-satunya istri syah dari ayah tapi sikap ayah tak sedikitpun memperlihatkan rasa kasih dan sayangnya pada ibuku yang telah menemaninya saat susah maupun senang. Sampai ibuku meninggal karna sakit hati yang tak berujung yang selalu di alaminya. Bertahun-tahun aku hidup dalam kebencian terhadap ayahku dan para istri-istri sirinya. Hingga usiaku yang ke 27 tahun pun ayah tak peduli padaku, bahkan untuk sekedar mencarikan ku seorang jodoh seperti yang di lakukan para ayah pada umumnya. apalagi di usiaku yang sudah matang ini, tak ada sedikitpun kekhawatirannya untukku . dia hanya memikirkan dirinya sendiri. Setiap malam saat aku pulang kerja, aku hanya bisa menangis sendiri di sudut kamarku merenungi nasibku ini. Tak pernah ada senyum di setiap hariku yang kelam ini. Bahkan aku lupa kapan terakhir aku tersenyum.
2 minggu yang lalu...
Hari dimana aku mengenal sosok Racka...
“akhirnya kamu keluar kamar juga...”kata ayah sambil menoleh kearahku yang baru membuka pintu kamar. Aku melihat dua orang asing berada di meja makan dengan ayah, ayah melambaikan tangan ingin aku menghampirinya. Lantas ku hampiri mereka. Dua orang itu berdiri, dan tersenyum padaku. “perkenalkan ini, Lestary istri syah ayah dan Racka anaknya...” perkataan itu sontak membuatku terkejut bukan main. Bukannya hanya ibulah istri syah ayah, meski ibu sudah meninggal tapi bisa semudah itukah ayah menggantikan posisi ibu??? Rasanya tenggorokanku tercekik karena menahan tangis. Kenapa tak sedikitpun ayah menghargaiku sebagai putri kandung satu-satunya peninggalan ibu. Aku berusaha melawan rasa sakit hatiku sehingga kadang-kadang membuat lidahku mati rasa.
“selamat pagi, kamu Lea kan? Kamu cantik sekali.”sapanya dengan senyuman hangat. Tapi rasanya tak ingin aku membalas senyuman yang mungkin palsu itu.
“akhirnya Racka punya kakak yang cantik juga...kak Lea mau berangkat keja ya? Racka pengen loh jadi pengacara...”tambah anak yang sok akarab itu. Namun tak ku gubris mereka aku hanya menatap sinis ayahku.
“aku ada kerjaan...aku sarapan di kantor aja!”kataku sambil membalikan badan dan meninggalkan mereka tanpa salam.
“Lea...!”seru ayah.
“gak papa kok mas, lagian Lea mungkin masih merasa kaget.”jawab wanita itu. Tak lama Racka mengejarku dengan sekotak tempat makanan.
“ini roti panggang buatan mama aku. Enak loh ka, sebaiknya kalau bekerja sarapan dulu!”katanya sambil mengembangkan senyum yang menjijikkan itu.
“gak usah terimakasih...”jawabku singkat sambil masuk ke mobil tapi dia ikut memasukan kotak itu lewat jendela mobil. “jangan lupa di makan ya kak!!!”dia kembali kedalam sambil tertawa.
“sok kenal banget sih...”
***
Malam pun tiba....
Hal yang paling aku benci dimana aku harus pulang untuk menemui ayahku dan sekarang dengan dua orang penghuni baru. Ketika sampai di depan pintu saja rasanya sudah sangat menyebalkan. Terdengar canda tawa dari dalam ruangan. Aku pun masuk, tak pernah ayah memperlakukan aku dan ibuku seperti itu. Bahkan ia tampak bahagia berbincang dengan Racka yang penuh humor.
“eh...kak Lea pulang...sini kak, ngobrol bareng kita papa lagi cerita soal masa SMA...!!!”Racka melambaikan tangan. Ayah tampak canggung mendengar Racka memanggilnya papa di depanku. Aku hanya menghela nafas dan memalingkan wajah dan pergi kedapur untuk sekedar minum air putih sepuasku untuk menghilangkan setres. Ku leguk satu botol air mineral yang ku ambil di dalam coolkas. Anak itu tiba-tiba ada lagi di hadapanku.
“mau aku pijit gak?”dia sungguh mengagetkanku. Lagi-lagi dengan senyumnya itu.
“ gak usah makasih.”jawabku.
“hmmm...mau coklat?”dia mengasongkanku sebuah coklat. Tapi aku melewati dia dan berjalan menjauh, tapi dia terus mengikutiku dan menyamakan langkah denganku. “coklat itu bisa bikin orang seneng loh!!!”aku pun menghentikan langkahku dan berbalik ke arahnya.
“kamu tahu apa yang bisa bikin saya seneng? itu saat di mana saya dan ibu saya adalah satu-satunya untuk ayah saya. Bukan coklat atau senyum kamu yang menjijikkan itu, ngerti kamu!!!”dia mengangguk dan segera melempar coklat itu ke tong sampah.
“aku hanya ingin liat kak Lea tersenyum...! senyum itu menyenangkan loh ka!”jawabnya. tapi aku tak tertarik untuk menggubrisnya, aku pun segera kekamarku.
***
Hari berganti begitu cepat sudah seminggu aku satu atap dengan mereka dan melihat senyum mereka yang membuatku jijik. Hari itu pertama kali aku sarapan dengan ibu dan adik tiriku. Suapan demi suapan terpaksaku masukan ke mulutku meski ingin sekali ku muntahkan di hadapannya. Sangat terlihat ibu tiriku itu berusaha berbuat baik padaku.
“enak gak masakannya? Mama berusaha cari tahu makanan kesukaan kamu dari bibi. Mama harap kamu suka.”cetusnya.
“sudah pasti enak donk mah...”ayah menjawabkannya untukku.”betulkan Lea?”
“rasanya agak hambar.”kataku sambil meminum air putih yang ada di hadapanku. Semuanya menatap kearahku.”kenapa? memang hambar kok...nanti biar tante bisa lebih enak lagi masaknya seperti ibu aku.”
“ehmmm...”Racka ikut minum air putih. “emang agak hambar mah, besok masak ini lagi aja bikin yang lebih enak.”
“gak usah aku udah gak selera.”kataku smabil memasuki kamar di hari minggu itu.
Tak lama berselang setelah sarapan...ada kegaduhan di ruang tamu, seperti ada yang di bongkar, aku pun keluar dan memastikan apa yang terjadi. Saat aku tiba, ibu tiriku sedang menunjuk-nunjuk ayah untuk memasang lukisan baru dan lukisan yang lama di gletakan begitu saja di lantai.
“apa-apaan ini?”bentakku.
“eh...Lea, ini mama nyuruh papa kamu ganti lukisan yang lama, karena sepertinya memang sudah lusuh dan tua sekali. Kebetulan kemarin mama liat lukisan bagus jadi kita ganti.”jawabnya.
“gak bisa. Apa hak anda menggeser lukisan itu dengan yang baru.”bentakku lagi.
“saya hanya merasa itu sudah tua.”jawabnya.
“Lukisan itu belum setua usia anda. Jaga mulut anda! Sampai matipun lukisan ibu saya harus tetap di sana!”wanita itu terdiam sambil memegangi dadanya dan berlari kekamar, ia menangis. Ayah pun turun dan menamaprku, mendengar ribut-ribut Racka segera menghampiri kami.
“yang harusnya jaga mulut itu kamu Leandra!”teriaknya. “usia kamu sudah dewasa tapi sampai kapan kamu bersikap kekanak-kanakan seperti ini.”
“ayah nampar aku? Ini pertama kalinya ayah nampar aku. Setiap kali ayah menikah siri apa aku penah menentang ayah? Bahkan setiap kali ayah menyakiti ibu aku hanya bisa diam. Tapi kali ini ayah keterlaluan. Ayah bisa dengan mudah melupakan sosok orang yang sudah menemani ayah susah maupun senang. Semudah itu ayah bawa dia kemari dan mengganti lukisan ini. Dimana perasaan ayah? Dimana rasa kasih sayang ayah buat ibu...buat aku?”teriakku. ayah pun meninggalkan aku dan masuk kekamarnya. Racka tiba-tiba memelukku dan membelai-belai punggungku. Ia sangat memahami sekali saat itu yang aku butuhkan adalah orang yang menenangkan aku. Aku dengan segera melepasnya.
“apa-apaan kamu!!! Gak usah sok baik sama saya!”bentakku. Racka tersenyum, dia pun melap air mataku dengan tisu. “kamu tuh cuman bisa senyum yah!!! Aku benci sama senyum kamu itu!”
“kenapa? Senyum itukan ibadah? Apalagi senyum yang bisa angajak orang ikut senyum. Kakak pasti cantik deh kalau senyum! Ikut aku yuk!!!”sambil menggenggam tanganku dan menarik aku ke halaman depan. Kami duduk berdua di ayunan.
Beberapa menit berlalu, kami hanya diam di ayunan itu memandangi ikan-ikan di kolam yang lalu lalang.
“aku juga dulu gitu. Papa aku tuakang nikah, dia sangat kasar sama mama, sama aku juga. Aku pernah di lempar pas bunga.”dia memperlihatkan luka di balik telinganya. “sakit banget, bahkan sampe sekarang aku masih suka pusing-pusing gitu kak. Tapi bagi aku sekasar-kasarnya dia pada aku dan mama tak akan pernah merubah kodratku sebagai seorang anak baginya. Aku hanya bisa menghadapi semuanya dengan senyuman. Saat mama sedih aku juga hanya bisa hibur dia dengan senyuman dan menghapuskan air matanya. Hingga mereka pun bercerai dan mama mengenal ayahnya kak Lea, mama menjadi sangant senang dan kembali bersemangat. Jadi tersenyumlah, anggap semua baik-baik saja. Karena saat kita tersenyum kita seolah menemukan energi positif dan beban kakak akan berkurang. Setidaknya ketika senyum kita membuat orang lain senang kita juga dapat pahala.”dia tersenyum manis seolah ada magnet yang menarikku untuk tersenyum juga tapi ku tahan. Hatiku rasanya sedikit tenang. Tak ada yang menasehatiku selama ini. Aku tak punya banyak teman. Karena bagi mereka aku hanyalah wanita yang keras dan tak bisa di ajak ngobrol. Bahkan untuk sekedar menyapaku mereka berfikir beribu-ribu kali. Tak ada yang memperhatikanku bahakan hanya sekedar memelukku saat aku sedih. Kenapa harus adik tiriku yang memberi perhatian seperti ini.
Setiap hari aku selalu melihat senyum cerianya hingga terkadang aku tak bisa menahannya dan ikut tersenyum. Dia selalu memujiiku saat aku tersenyum, bahkan aku tak ragu lagi menjawab sapaannya yang terkadang menggelitik.
“kakak mau kemana?”dia mencegatku saat dia melihat aku memasukan koper ke dalam bagasi mobilku.
“aku ada kerjaan di Malang.”jawabku.
“emh...tadinya hari ini aku mau ajak kakak maen.”jawabnya. aku tersenyum meski sedikit-sedikit.
“mmmm...gimana kalau aku anter?”tanya dia.
“emang kamu bisa mobil?”tanyaku.
“bisalah...”jawabnya.”itumah kecil. Kakak udah pamit sama ayah?”tanaya dia. Aku menggeleng. “pamit dulu donk kak, biar selamat...!”
“gak usah...ya uadah ayo masuk!”kami pun masuk. Sepanjang perjalan menuju bandara rasanya terasa singkat, dia selalu mengeluarkan lelucon yang menggelitikku. Tawaku mulai lepas dia tampak sangat sanang meliahat aku tertawa lepas.
“kakak cantik banget kalau ketawanya lepas gitu.”katanya. aku merasa malu ketika Racka mengatakan itu. Aku rasanya punya semangat baru aku dapat suntikan semangat dari Racka. kami pun tiba di bandara. Racka terus menuntunku, entah mengapa aku tak ingin pergi dan melepas tangan Racka. Racka mulai dekat denganku beberapa hari ini, bahkan dia mulai tak canggung lagi menggandengku seperti kakaknya sendiri. Saat aku hendak masuk dia menarik tanganku.
“hati-hati ya kak!!! Kalau kakak pulang nanti, kakak harus baikkan ya sama ayah...jaga mama aku juga...”katanya.
“apa-apaan sih kamu...kamu tuh yang harus hati-hati...awas mobil aku lecet ya...!”aku pun masuk dia melambai-lambaikan tangannya. Entah mengapa aku betul-betul tak merasa tenang waktu itu sepanjang jalan menuju Malang aku hanya melamun memikirkan perkataan Racka yang seperti pesan. Tapi aku berusaha menutupi perasaanku itu.
Aku pun tiba setelah beberapa jam di hotel. Aku segera mengaktifkan handponeku. Beberapa panggilan dari nomor ayah tak sempat ku terima dan beberapa sms ayah yang baru ku buka.
“kamu di mana Lea? Racka kecelakaan dia bawa mobil kamu,kita sekarang sedang menuju rumah sakit.”segera ku buka sms yang laiannya.”Lea, Racka meninggal. Kenapa handpone kamu tidak aktif.”aku terkejut sekali. Harus bagai mana aku. Sementara waktu itu sudah larut malam. Aku coba menelpon untuk memesan tiket penerbangan tapi semuanya tidak bisa. Aku pun berlari, aku memberanikan diri pulang dengan bus. Aku sungguh tidak ingin hanya menunggu dan menunggu sampai hari esok tiba. Aku segera keluar dari hotel dan mencari taksi untuk menuju terminal bus. Sepanjang perjalanan rasanya aku tak bisa berfikir jernih aku berusaha untuk menegaskan pada diriku bahwa semua baik-baik saja.
***
Hingga saat ini aku hanya bisa terdiam di samping batu nisan dan membelainya memejamkan mataku berharap batu nisan ini adalah Racka. “Racka jangan tinggalin aku...”bisikku. entah mengapa rasa sakit ini begitu sama saat ibu meninggalkan aku. Tiba-tiba ibu tiriku menyandarkan kepalanya di bahuku.
“dia menabrak sebuah bus...mobilnya hancur, Racka pun terjepit. Saat orang-orang berusaha menyelamatkannya dengan membawa Racka kerumah sakit, di perjalanan Racka sudah meninggal. Saya sudah tidak mempunyai siapa-siapa sekarang. Saya harus bagaimana?”jelasnya sambil menangis tersedu-sedu.
Aku pun tisak bisa mengatakan apapun. Hanya bisa menghela nafas panjangku dan menghapus air mataku. Mengapa secepat itu dia pergi. Bahkan baru kemarini dia begitu dekat denganku. Aku pun memeluk ibu Tiriku, dia menyusupkan kepalanya ke dadaku. Ku belai pundaknya. Aku melakukan hal yang pernah Racka lakukan saat ia memelukku. Ku buang jauh-jauh dendamku. Dan berusaha merasakan betapa sulitnya merasa di tinggalkan. Aku memeluk orang yang dulu ku benci tapi Racka meninggalkan pesan untukku agar selalu menjaga ibunya dan berdamai dengan ayah, dan Racka meninggalkan pelajaran yang berharga untukku, untuk selalu tersenyum dan membuat orang-oarang di sekelilingku bahagia. Sungguh, aku menyesal belum sempat ku ucapkan terimakasih padanya. Lagi-lagi aku harus menelan penyesalanku. Mulai saat ini aku berjanji, akan selalu mengembangkan senyumanku, untuk semua orang. Senyum yang di wariskan adikku.

Selesai

Created by Evi Andriyani

Tidak ada komentar:

Posting Komentar