.fb_like_box { -moz-border-radius:5px 5px 5px 5px; border-radius:10px; background:#f5f5f5; border:1px dotted #ddd; margin-bottom:10px; padding:10px; width:500px; height:20px; }

Entri Populer

Jumat, 13 April 2012

About HIM…






Selalu ada banyak cerita dibalik kisah SMA, selau ada banyak rahasia dibalik kehidupan seseorang. Tentangku, tentangnya, tentang siapapun yang hidup didunia ini. Selalu ada saja yang membuatku tersenyum dengan lepas, menangis dengan keras, berteriak dengan lantang. Bahwa haruskah semua menyalahkan takdir dan merasa tidak adil?
Ini tentangnya, tentang kehidupan keras seorang Rivano Siregar. Tak tampak memang, dia lebih bisa di sebut laki-laki periang yang tak pernah melampiaskan amarahnya kepada siapapun. Vano laki-laki yang amat sangat mengagumkan dimataku. Entahlah seberapa jerawat telah ku pecahkan hanya karena memendam rasa cinta ini semenjak SMP. Tak ada yang tahu, tak ada yang mencari tahu. Aku bisa bilang aku adalah gadis bodoh yang nekat. Aku mengejarnya sampai di SMA ini, sampai kita satu SMA. Bodohnya lagi baru 1 bulan belakang ini dia mengenalku. Tapi tanpa ia sadari aku sudah mengenalnya dari ujung rambut sampai ujung kaki. Mungkin sanagat menyeramkan mencintai seseorang sampai seperti ini, aku pun menyadari akan hal itu. Tapi toh yang kulakukan masih dalam tahap wajar, aku tak melabrak para gadis yang berusaha mendekatinya, aku tak menyempilkan surat-surat cinta tanpa nama di locker atau di tasnya, aku tak berteriak-teriak dan mengatakan pada dunia kalau aku mencintainya. Hanya cukup aku tau kabarnya setiap hari itu sudah membuatku amat sangat puas.
1 bulan yang lalu untuk pertama kalinya ia menyapaku dan kami berkenalan.
“hai…Kamu Alysa kan?”Tanya Vano ramah padaku. Aku mengangguk segera dengan tangan gemetar. Aku berusaha menyembunyikan kedua tanganku di belakang punggungku. “aku Vano, kata anak-anak kamu yang nemuin kamera aku ya?”Tanya dia. Tuhan…inikah kesempatan itu??? Tanpa sengaja sehari sebelum itu aku menemukan sebuah kamera mahal di kantin sekolah. Tanganku terasa beku dan menggigil karena gugup. Aku mengangguk dan segera mangembilnya dari tasku.
“i…iya, aku nemuin ini di kantin pas pulang sekolah…”jawabku terbata-bata. Ia tersenyum senang dan mengambilnya.
“makasih banyak ya! Oh iya…”ia memandangku serius.
“kamu udah liat isinya?”Tanya dia, aku merunduk merasa bersalah karena aku melihat semua foto yang ada di dalamnya…memang tak banyak foto Vano disana, kalau pun ada ia berfoto dengan banyak orang dan salah satu orang yang bisa aku kenali di foto itu hanyalah ibunya Vano. Meski aku juga mencuri beberapa fotonya.
“maaf…aku liat foto-fotonya, aku cuman mau pastiin kalau pemiliknya siapa.” Dia diam sejenak lantas tersenyum kembali.
“kamu pucet banget…aku emang agak kecewa kamu udah buka-buka fotonya tapi aku gak akan makan kamu lagi.” candanya. “jangan bilang-bilang ya isinya apaan…” Vano memastikan kalau foto-fotonya masih utuh.
Aku mengangguk dan membalas senyumnya. “fotonya diambil pas pesta ulang tahun ya?”tanyaku. ia terhenti dan menatapku heran.
“ko tau?”Tanya dia.
“hmhhh…soalnya aku liat ada kue ulang tahun…”aku berusaha mengelak. Padahal aku sangat tahu kalau itu adalah ulang tahunnya. Ia tersenyum dan mengangguk.
“aku berhutang sama kamu…sebagai gantinya aku teraktir deh…” dorrrrr…rasanya ada ribuan petasan, kembang api di telingaku mendengar ajakan yang istimewa itu, indah sekali, rasanya aku melayang lepas seperti balon gas. “ko bengong? Gak mau ya?” aku sigap.
“mau…”jawabku segera, ia tertawa geli.
“idih…biasa aja donk!” tawanya renyah seperti kenatang goring dengan lesung pipi yang mengagumkan. Aku menghela nafas panjang. “mau makan dimana terserah kamu. Pulang sekolah aku tunggu di depan gerbang.” Dia berlalu. Aku menjerit dalam hati dan lompat-lompat kegirangan merasa dunia telah kugenggam dengan telapak tanganku.
Detik-detik menuju pulang sekolah sangat-sangat lamban, detak jantungku seperti tak seirama dengan waktu. Gelisah, bosan, konsentrasi pudar semuanya sangat melelahkan. Tak ada satupun pelajaran yang membekas diotakku. Hanya Rivano…Rivano…Rivano yang melayang-layang dalam fikiran dan hatiku. Teng…teng…teng… bell berbunyi nyaring. Inilah waktunya, aku berlari dengan semangat membara menuju gerbang sekolah.
Aku melihatnya…melihat sosok laki-laki impianku selama ini, dia duduk diatas motor Ninjanya. Dia melambaikan tangan dan tersenyum.
ketika ku sampai di hadapannya. “udah mutusin mau makan dimana?”
“hmh…aku belum mutusin, tapi dimanapun kamu ngajak aku aku pasti suka.”jawabku.
“loh kenapa? Aku kan gak tau kamu sukanya makan apa…” katanya.
“aku suka makan apa aja ko…aku gak ada alergi.”jawabku.
“wah…kebetulan donk, aku lagi pengen makan siang SeaFood…kita kerestoran deket sini aja kali ya.” Aku mengangguk. Yah…memang tak masalah, ini kesempatan besar bagiku, meski harus makan di emperan, di kolong jembatan aku gak peduli. Yang penting ada Vano di hadapanku pasti rasanya luar biasa. “ya udah…ayo naik!” aku bahagia, aku gembira dan tak bisa di uangkapkan dengan kata-kata untuk pertama kalinya aku naik dimotornya. Ini terasa seperti mimpi, aku duduk di belakang punggungnya dan merasakan kehangatan tubuhnya.
Motorpun melaju cukup kencang hingga tak terasa restoran sudah ada di depan mata. Aku pun turun dan kami berjalan berdampingan memasukinya. Vano memilih tempat duduk di dekat jendela dan tiba-tiba hujan turun sehingga pemandangan siang yang diguyur hujan itu tampak begitu indah. Dia memesan kepiting asam manis dan nasi goring seafood, aku memesan udang goring yang renyah. Kami bersenda gurau sambil makan ditemani jus yang segar. Makanan habis dan kami menikmati minum sambil memandangi hujan.
“pas SMP aku pernah lihat kamu deh…kita satu sekolahkan dulu?”Tanya dia. Aku kaget, ternyata dia ingat aku…apa mungkin dia juga tahu aku memperhatikannya selama ini??? Aku bertanya-tanya dalam hati, merasa malu kalu memang itu terjadi.
“iya, kamu inget? Kita juga satu angkatan tapi selalu beda kelas.” Dia tertawa.
“iya, aku tahu…aku sempet suka loh sama kamu.” Aku tersedak jus ku. Dia kembali tertawa.
“kamu kenapa? Aku pecanda…” jantungku kembali berdetak, ugh…andai saja itu nyata. “tapi kamu emang manis…aku selalu ngerasa mencintai itu sesuatu hal yang subjektif.” Katanya, aku terdiam ingin mengetahui alasan ini sejak awal. Mengapa tak juga ku dengar ia memiliki pacar? Padahal banyak sekali yang ingin menjadi pacarnya.
“cinta itu subjektif…aku gak suka sesuatu hal yang gak biasa aku lihat. Aku lebih suka kenyataan. Dan kenyataan yang aku tahu kalau cinta itu menyakitkan. Aku gak berani untuk memulainya karena belum saja aku mulai aku udah tau akhirnya kaya apa…”jelasnya. “akhirnya seperti ibuku…mencintai papa seperti mencintai tuhan, rela berkorban, rela di sakiti, rela di hianati dan rela di porakporandakan. pada akhirnya cinta yang manis itu berubah menjadi kebencian dan dendam yang membara.”
Aku tahu keluarganya tak utuh, aku tahu tidak hanya ibunya yang disakiti oleh ayahnya yang juga memiliki wanita lain tapi Vano pun begitu. Ia jadi bulan-bulanan ayahnya saat berusaha melindungi ibunya. Kejadian itu masih berlangsung sampai detik ini. Aku terdiam, memandanginya yang nyaris mengeluarkan air mata.
“cinta itu memiliki berbagi versi, mencintai dan harus memiliki meski itu sulit, mencintai dan tak harus memiliki meski itu menyakitkan…butuh banyak keberanian disana, keberanian untuk mereguknya perlahan meski tak bisa didapatkan, keberanian kalau cinta tak bisa sejalan dengan apa yang kita harapkan. Jangan memandangnya dari apa yang kamu lihat tapi pandang cinta dari apa yang kamu alami…” cetusku. Ia memandangku dalam dan kemudian mereguk kembali jusnya.
“keberanian itu lenyap setiap kali aku melihat air mata mama, dia menangis terluka di pelukanku. Tak ingin rasanya menyakiti wanita seperti papa menyakiti mama aku. Cukup sulit aku melihatnya. Goresan luka yang gak cuman dari hati, tapi juga fisik dan mental. Sejak aku lahir, sejak aku ada yang aku lihat hanya kekerasan, penghianatan dan air mata. Tanpa aku menjalaninya aku pun mengerti kalau memang begitulah cinta.” Kadang sulit di terima, aku faham dengan luka-luka yang berbekas dihatinya. Suatu saat nanati kamu pasti mengerti Vano.
“dan aku yakin ingin mengakhirinya…akhirnya aku berhasil meyakinkan mama bahwa dia tak sendiri, dan sudah saatnya dia lepas dari bayang-bayang pria kejam itu. Mungkin aku tak pantas di sebut anak setelah aku berulang-ulang memaksa ibuku menggugat cerai orang yang paling dicintainya tapi…mama juga tak menginginkan aku terus jadi korban akhirnya keputusan itu dibuat, aku menang. Besok persidangan itu digelar dan besok akan jadi awal yang indah bagi mama dan aku.” Aku tersenyum bahagia melihat ia tampak bahagia dengan ucapannya yang begitu tegas.
Hujanpun berhenti, kami harus pulang. Ia mengantarku sampai depan rumah. Inginku ungkap semua yang mengganjal dalam hatiku selama ini. Tapi lagi-lagi ku urungkan. Aku harus menghormati keputusannya dan tanggapannya tentang cinta. Aku faham, ia takan punya waktu untuk sekedar memikirkan cinta. Ibunya jauh lebih membutuhkannya dari pada aku, biarkan perhatiannya terpusat hanya untuk ibunya sampai ia merasa ia siap untuk memulai cinta itu mekipun bukan aku orang yang ia cintai kelak.
Tak kusangka, ternyata itu menjadi pertemuan terakhir kami. Setelah persidangan itu selesai dan kedua orang tuanya resmi bercerai Vano pergi entah kemana. Aku tahu maksudnya. Ia ingin membuang jauh-jauh kenangan buruknya disini, ia ingin menciptakan kenangan indah yang baru, memulainya dari nol tanpa bayang-bayang kekerasan lagi. dan ini akhir dari pengamatan cinta yang kulakukan terhadap Vano. Akupun menata hatiku, menata fikiranku dan membuat Vano menjadi kenangan indah meski tak sekalipun aku memilikinya. Aku bahagia mendengar ia telah lepas dari bebannya dan aku juga telah melepas rasa cintaku bersama kebahgiaan yang ia miliki saat ini. Menata kembali cinta masa depan yang akan ku songsong tanpa menyerah.

Selesai

Createdby: Evi Andriyani

Tidak ada komentar:

Posting Komentar